NITYASA : THE SPECIAL GIFT

85. Keputusan Kilat



85. Keputusan Kilat

0"Hendak kemana kamu, Saga?" tanya Nyai Rangkih yang sedang terduduk pada kursi goyang ketika melihat Saga gelagapan karena buru-buru mengemas beberapa keperluan untuk perjalanan jauh.     
0

"Aku harus pergi," jawabnya.     

"Iya, pergi kemana?" tanya Nyai Rangkih bersikeras.     

"Menemui guru ku."     

"Guru mu?" Nyai Rangkih bangkit berdiri dari kursi goyangnya. "Mau apa?"     

"Memperjuangkan kebebasan ku." Saga Winata mengenakan caping rotan di kepala ditambah cadar hitam menutupi mulut dan hidungnya.     

"Kami bisa membantu mu, Saga. Sementara kamu aman di sini," bujuk Nyai Rangkih.     

"Tetapi aku tidak bisa menunggu terlalu lama. Mereka mulai menyandera orang yang ku cintai." Saga langsung mengikatkan perbekalannya pada leher kuda kemudian ia menaikinya. "Kalau urusan ku sudah selesai, aku pasti akan kembali kemari, Nyai."     

Tanpa mau mendengar lagi, Saga langsung melajukan kudanya cepat-cepat menyeberangi aliran sungai dangkal di bawah air terjun Sangkol. Kemudian melewati jalan setapak yang pada tiap sisi kanan dan kirinya dipenuhi semak belukar. Nyai Rangkih hanya bisa menyaksikan kepergiannya tanpa mau menahannya lagi. Kali ini ia cukup paham dengan kepentingan Saga Winata yang begitu mendesak.     

Orang yang akan ditemui Saga adalah Ki Banyak Winata. Gurunya yang pernah mendidiknya sebagai pimpinan perampok andal yang menguasai sebagian besar jalur perdagangan di wilayah tanah Galuh Raya. Beliau tinggal di kota yang terletak agak jauh ke selatan dari Kota Saunggalah. Namanya adalah Kota Majinang. Kota yang terkenal dengan kanal-kanal luas berfungsi sebagai pengairan utama di wilayah pemukiman selatan Galuh.     

Jarak Kota Majinang sangat jauh dari Pakembangan, sehingga membuatnya harus melewati beberapa pegunungan dan perbukitan. Hampir ia tidak beristirahat dalam perjalanan tersebut. Yang dipikirkannya kini hanyalah bagaimana caranya sesegera mungkin bisa menyelamatkan Nirmala yang kini menjadi tameng hidup bagi pihak Istana Galuh. Namun, ia tidak berdaya menyelamatkan Nirmala seorang diri, gadis itu kini berada di lingkungan Istana dengan benteng-benteng kokoh dan disertai penjagaan banyak perwira terbaik Galuh.     

Maka dari itu, ia hanya memiliki satu jalan. Yaitu dengan menemui gurunya untuk meminta bantuan. Diketahui bahwa Gurunya itu mempunyai banyak sekali hubungan baik dengan orang-orang dalam istana secara gelap. Barangkali dengan cara itu bisa saja dengan mudah memengaruhi Jayendra untuk melepaskan Nirmala dari sana.     

***     

Sementara itu, Di dalam lingkungan istana sendiri, sedang digelar pertemuan rutin setiap satu pekan sekali antara Sang Raja dengan para pejabat besar istana. Namun, pada kali ini Sang Maharaja Prabu Darmasiksa tidak bisa menghadiri pertemuan tersebut karena sedang jatuh sakit. Maka Pangeran Mahkota lah yang memimpin pertemuan. Pangeran Ragasuci yang kini duduk di kursi Singgahsana milik Ayahnya.     

Akan ada banyak hal yang mereka bahas di sana.     

"Paman Patih, aku tidak melihat Senopati Jayendra di sini."     

"Ampun Gusti, biasanya memang seorang senopati tidak dilibatkan dalam pertemuan rutinan ini. Hanya pejabat besar seperti Tumenggung dan Para Rakryan saja yang diperkenankan hadir."     

"Tetapi ini adalah pekan pertemuan pertama semenjak pelantikannya sebagai seorang senopati. Paling tidak kan dia bisa memahami tentang berbagai permasalahan negara yang sedang terjadi melalui pertemuan besar semacam ini."     

"Baik, Gusti. Hamba mengaku salah."     

Beberapa saat kemudian datang seorang prajurit utusan memasuki aula pertemuan, ia berjalan membungkuk, kaki telanjangnya menginjak karpet merah secara perlahan.     

"Ada apa?" tanya Pangeran Ragasuci.     

"Hamba membawa surat dari Gusti Senopati Jayendra," kata seorang utusan. Ia kemudian bertekuk lutut menyerahkan gulungan surat itu. Lalu menghatur hormat, ia melenggang pergi setelah suratnya diterima. Pangeran Ragasuci membuka gulungan suratnya lalu membacanya dengan lantang.     

"Salam hormat hamba, Gusti Prabu Dharmasiksa. Hamba ingin melaporkan sebuah peristiwa yang terjadi di Kota Majinang dimana kanal-kanal telah membusuk, wabah penyakit menular tersebar dan menjangkit beberapa orang. Rakyat menjadi terancam. Hamba selaku seorang yang merasa perlu menangani ini sekarang sedang dalam perjalanan menuju Kota Majinang setelah membawa serta adik seperguruan hamba seorang tabib muda yang bernama Ruwah untuk memberikan pertolongan kesehatan kepada mereka. Hamba ingin meminta bantuan kepada Gusti Prabu untuk mengurus tabib-tabib terbaik istana untuk segera datang ke Majinang. Bantuan mereka sangat diperlukan dalam keadaan yang terancam oleh wabah ini. Salam hormat hamba, Senopati Ing Kutagaluh, Jayendra."     

Usai membaca itu, seorang pejabat yang bernama Empu Handaya mengangkat tangannya untuk berbicara. Pangeran Ragasuci pun berdiri mempersilakannya. Namun Empu Handaya ini tidak berdiri, ia memilih berbicara sembari duduk.     

"Maaf, Gusti. Jika menimbang-nimbang isi dari surat itu, bukankah seharusnya itu bukan wewenang Jayendra, kenapa dia bisa mengambil alih soal mengurusi wabah penyakit? Bukankah seharusnya ia hanya mengurusi perihal keamanan negara saja, Gusti."     

Sebelum Pangeran Ragasuci menjawab, seorang pejabat lain pun mengangkat tangannya meminta izin untuk bicara juga. Yang ini adalah Empu Sanggul. Seseorang yang bertugas sebagai kepala urusan pangan negara. Kemudian Pangeran kembali mengizinkannya bicara.     

"Ampun, Gusti. Hamba ingin menanggapi pernyataan Empu Handaya. Memang seharusnya itu bukan wewenang Jayendra sebagai seorang senopati, tetapi bukankah setiap cara kita mengatasi permasalahan itu harus mengedepankan unsur sigap siaga. Kita harus tahu seberapa kadar daruratnya masalah itu, sehingga Jayendra merasa harus segera mengatasinya. Karena jika dia harus menunggu kewenangan dari pihak yang paling bertanggungjawab, dalam hal ini Empu Handaya sendiri lah yang paling bertanggung jawab. Maka akan memakan waktu terlalu lama karena jarak menyampaikan informasi dari Majinang ke Istana itu jauh dan butuh waktu lama, belum lagi jika setelah ini Empu Handaya harus mempersiapkan segala sesuatunya."     

Pangeran Ragasuci pun mengangguk setuju, namun kembali Empu Handaya mengangkat tangannya lagi. Pangeran masih mengizinkan dia uncuk berbicara.     

"Pendapat Empu Sanggul ada benarnya," kata Empu Handaya yang kini duduknya berhadapan dengan Empu Sanggul. "Aku bukannya merasa dilangkahi atau bagaimana, Empu Sanggul. Aku hanya merasa kasihan dengan Jayendra. Dia masih baru, masih muda pula. Kasihan jika harus menanggung banyak tanggung jawab. Belum lagi dia harus memegang kendali sepenuhnya perihal urusan keamanan negara. Sebab, saat ini kita tidak memiliki seorang Tumenggung. Karena Tumenggung Aria Laksam entah di mana keberadaannya saat ini."     

"Jangan panggil Tumenggung lagi untuk orang yang bernama Aria Laksam itu," celetuk Pangeran Ragasuci. "Dia sudah lancang membuat keributan di depan Ayahanda Prabu Darmasiksa. Maka sejak saat dia pergi dari istana, saat itu pula ia menanggalkan jabatannya sendiri."     

Empu Sanggul kemudian meminta izin untuk bicara kembali. Pangeran Ragasuci pun mengizinkan lagi. Kali ini Empu Sanggul bicara menghadap Empu Handaya.     

"Maaf, Empu. Apakah selama ini tidak ada yang melapor perihal kanal-kanal yang membusuk itu? Bukankah seharusnya orang-orang yang menjadi bawahan Empu rutin melaporkan peristiwa setiap pekan. Jika menurut keterangan dari surat Jayendra yang menyebut bahwa kanal-kanal airnya membusuk, berarti itu sudah cukup lama," kata Empu Sanggul.     

"Aku tidak tahu. Selama ini tidak ada yang melapor. Jika soal wabah penyakit, dalam sekejap pun bisa menjangkit banyak orang, tergantung dari tingkat penularannya. Namun kalau soal kanal yang membusuk, itu tidak mungkin. Karena aku selalu rutin mengirim orang untuk membersihkan kanal setiap tiga hari sekali. Mungkin saja Jayendra hanya menggunakan kata-kata yang melebih-lebihkan saja di surat itu," kata Empu Handaya merasa dirinya benar. Semua yang hadir memandang Empu Handaya sinis karena mulai menyalahkan orang lain dalam pendapatnya. Namun Empu Handaya memang orang yang cuek. Ia tidak peduli jika orang-orang tidak setuju dengannya.     

Kemudian Empu Handaya kembali bicara. "Maaf, Gusti. Hamba ingin bertanya kepada Gusti Patih."     

"Silakan." Patih Adimukti mengizinkan.     

"Apa pertimbangan Jayendra membebaskan seorang pidana bernama Ki Menyawak? Bukankah dia seorang pemimpin rampok?" tanya Empu Handaya.     

"Maaf," kata Patih. "Jayendra mempunyai alasan kuat soal itu, dan untuk pertimbangannya sendiri biarlah menjadi rahasianya."     

"Apakah hamba tidak boleh tahu, Gusti Patih?" tanya Handaya lagi.     

"Urusan keamanan negara tidak boleh diketahui oleh pihak lain kecuali hanya oleh para perwira saja."     

"Sebaiknya Empu setelah pertemuan ini langsung menuju ke Kota Majinang dengan membawa beberapa tabib terbaik kita. Laporkan perkembangannya," titah Pangeran kepada Empu Handaya.     

"Baik, Gusti. Hamba laksanakan."     

Kemudian Sang patih menghaturkan izin untuk bicara, Pangeran Ragasuci kembali mengizinkan.     

"Terus terang, jika ada yang merasa tidak nyaman atau tidak adil kenapa Jayendra diangkat menjadi seorang Senopati, maka aku perlu menjelaskan ini." Ucapan Sang Patih itu ditunggu oleh semua yang hadir di pertemuan itu. "Ketika Mendiang Citra Wayang dalam keadaan sekarat, ia pernah menitipkan mandatnya kepada ku untuk diteruskan kepada Jayendra yang telah turut berjasa dalam penumpasan kelompok Saga Winata. Meski begitu, aku tidak serta merta mau menuruti mandat itu. Aku pernah menguji pemuda itu beberapa hal yang sekiranya meyakinkanku untuk menyerahkan mandatnya. Ternyata memang Jayendra lebih pantas mendapatkan itu dari perwira manapun. Kalau ada keputusan yang dianggapnya keliru, maka mungkin hanya karena ia belum terlalu percaya diri dalam memegang tanggung jawab ini."     

Semua yang hadir di situ mengangguk setuju. Kecuali Empu Handaya yang masih meragukannya. Ia seolah tidak suka dengan pengangkatan Jayendra yang secara tiba-tiba tanpa melalui proses sayembara terlebih dahulu. Ia mulai merasa tidak nyaman berada di pertemuan itu karena hampir seluruh pejabat mendukung Jayendra. Maka ia pun memutuskan untuk meninggalkan ruangan. Namun tentu saja dengan alasan yang tidak membuat Pangeran Ragasuci curiga.     

"Ampun, Gusti Pangeran Ragasuci. Sebaiknya hamba segera menuju Kota Majinang sekarang juga. Karena hamba khawatir kalau nanti terlalu malam, bisa saja para tabib itu mengantuk dan akan lebih lama lagi untuk sampai di sana. Maka lebih baik sekarang saja hamba bersiap langsung ke sana."     

"Baiklah. Silakan Empu Handaya. Selamat bertugas."     

(Bersambung...)     

***     

NITYASA : THE SPECIAL GIFT     

Adalah Novel karya SIGIT IRAWAN dengan latar KERAJAAN GALUH pada masa abad 13 masehi. Novel ini telah menjadi Novel digital dengan genre fiksi sejarah pertama di Webnovel.     

Tentu author sangat bangga atas penobatan sebagai novel fiksi sejarah pertama. author berharap NITYASA : THE SPECIAL GIFT akan mampu menjadi pelopor bagi novel sejenis yang lainnya. Semoga semakin banyak genre FIKSI SEJARAH di webnovel ini.     

Sebab, pengetahuan akan sejarah bangsa sendiri sangatlah penting di era milenium seperti sekarang. Meskipun ada embel-embel fiksi, sejatinya genre sejarah mempunyai ruh sendiri dalam membawa kisah-kisah klasik yang sesuai dengan kondisi pada zaman yang diceritakan tersebut. Paling tidak dengan mengkombinasikan sejarah nyata dengan fiksi, mampu membuat sejarah tidak terasa membosankan, justru akan terlihat menyenangkan.     

SALAM WINATA... SALAM KEBEBASAN     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.