NITYASA : THE SPECIAL GIFT

50. Terdesak 2



50. Terdesak 2

0Senopati bersiap mengeluarkan ajian andalannya. Dilepaskannya sabuk kain dari pinggangnya dan dijadikan semacam cambuk. "CETAAAARRR" Dicambukkanlah sabuk kain itu ke permukaan tanah sebanyak tiga kali. Seketika guncangan itu berhenti.     
0

"Sabuk Nagapaksa?" gumam Jayendra merasa mengenal ajian yang digunakan Senopati. Diputar-putarlah sabuk itu ke udara sehingga membuat embusan angin pun berhenti. Kini tersisa hujan deras berpetir yang belum reda serta kobaran api yang belum padam. Senopati tengah bersiap hendak mencambukkan Sabuk Nagapaksa ke arah Saga. Namun hal itu disadari oleh Saga yang membuka matanya. Dia berdiri menyambut serangan dari Senopati. Cambukan sabuknya tak bisa melukai Saga bahkan tak mampu mendorongnya mundur. Direbutnya sabuk itu dengan mudah dan Saga balik mencambukkan ke arah Senopati.     

"Senopati...!!! Awas...!!!" teriak Jayendra memperingatkan. Namun sabuk Nagapaksa sudah terlanjur mengenai bagian dada Sang Senopati hingga terpental jauh ke belakang dan jatuh.     

"Jika kalian tidak pergi, bukit ini akan aku runtuhkan...!!!" teriak Saga sambil mengembalikan sabuk itu dengan cara dilempar ke arah Senopati.     

Jayendra mulai berpikir untuk meninggalkan tempat itu, bukanlah sikap pengecut yang dia tanamkan, hanya saja dia pantang untuk gegabah. Tidak mungkin Ajian Kalawasana bisa dia kalahkan. Kekuatan sedahsyat itu mungkin tidak sebanding dengan kekuatannya. Bahkan tak sebanding bagi seluruh ilmu yang dia miliki. Apalagi sudah ada dua orang rekannya yang tumbang. Maka dipilihlah keputusan untuk mundur dan kembali ke Kotaraja.     

Mereka pun menjauh dari bukit dan kembali pulang, Utkarsa dan Senopati yang dalam kondisi pingsan, terpaksa harus ditandu, begitu pula pasukan patroli yang terluka. Sisa-sisa pasukan pun turut mengiringi sambil beberapa membantu mengangkatkan tandunya.     

Ketika semua orang telah pergi meninggalkan Saga, dia pun berhenti mengucapkan mantra ajian. Api telah padam hanya menyisakan batang-batang pepohonan yang menghitam karena bekas terbakar serta beberapa bagiannya masih mengeluarkan sisa-sisa asap. Tanah kembali stabil, hujan telah reda, embusan angin telah berhenti. Kini tubuhnya justru terkulai lemas tak berdaya. Ajian itu memiliki dampak kekuatan yang besar, maka dibutuhkan serapan tenaga dalam yang juga besar pula. Ada perasaan letih yang amat sangat, rasa lapar dan haus bercampur sedih dan amarah menggulung seluruh bagian terdalam dirinya. Hatinya begitu hancur dan hampir putus asa. Terlebih ketika dia memandang ke arah jazad rekannya yang telah gugur. Dan juga mayat-mayat anak buahnya yang berserakan.     

Seseorang tiba-tiba melompat dari atas pohon danendarat tepat di depannya. Dia adalah seorang nenek tua yang tak dikenal. Nenek tua itu memandangi sekitar, terdapatlah banyak bergelimpangan tubuh orang mati serta beberapa pepohonan yang hangus terbakar. Didekatinya Saga yang tengah terkulai tergeletak itu. Matanya melotot seperti hendak menghardik dan mencaci.     

"Hei...! kamu ya yang melakukan ini...!?" bentak si nenek tua.     

"Cukup, aku lelah, aku..." Saga tergeletak pingsan sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya.     

***     

Desa Majaparia masih diselimuti embun pagi. Kesunyian pagi telah dipecah oleh derap kaki kuda yang ditunggangi dua orang ksatria muda dari Galunggung itu. Sesampainya di pura besar yang terletak di persimpangan jalan, seharusnya mereka membelok ke kanan. Tetapi karena hari masih terlalu pagi, diputuskannya untuk menghangati perutnya dengan menikmati secangkir kopi lebih dulu di kedai yang tak jauh dari persimpangan. Padahal hari masih pagi sekali, tetapi kedai itu telah ramai pengunjung. Mereka berdua duduk di tempat yang masih lowong sementara pemilik kedai melayaninya.     

"Ada kopi, Ki?" tanya seorang pemuda yang lebih tua.     

"Ada, Den."     

"Minta dua ya ki!"     

"Baik, Den"     

"Sekalian sarapannya ya, Ki!" celetuk pemuda yang satunya lagi.     

"Mau bayar sendiri, Saksana?" tanya rekannya memastikan.     

"Eleh, Jangan meledek begitu, Kakang Lingga. Dipikir aku tidak punya uang?"     

"Sarapannya mau apa, Den?" tanya si pemilik warung.     

"Nasi bakar sama pepes jamur," ujar Saksana.     

"Mau berapa, den?"     

"Dua, Ki," celetuk Lingga menyerobot.     

"Mau bayar sendiri, Kang?" tanya Saksana membalas.     

"Jelas tidak, kan kamu yang punya uang," jawab Lingga meledek sambil tertawa renyah. Saksana cemberut setelahnya.     

"Baik den, sebentar ya saya siapkan dulu."     

Si pemilik kedai kembali ke dapur hendak menyiapkan pesanan Lingga dan Saksana. Beberapa tamu kedai memandangi mereka berdua sejenak kemudian melanjutkan menyantap kue-kue atau menyeruput minumannya. Beberapa dari tamu itu meneruskan percakapan yang tadi berhenti karena kedatangan pengunjung baru ini.     

"Beberapa hari belakangan ini kenapa Desa Majaparia jadi sering sekali kedatangan pendatang dari luar ya?" kata seorang pria berkumis melengkung.     

"Ya wajar saja, desa ini kan dilalui jalan penghubung antar daerah," ujar pria satunya lagi yang berambut gondrong keriting dengan ikat kepala menyerupai seorang dukun.     

"Oh iya, Bagaimana soal gadis cantik yang kamu bicarakan kemarin? Katanya kamu melihatnya menginap di rumah Ki lurah?"     

"Iya dia juga pendatang mungkin."     

"Pendatang masa menginap di rumah seorang duda? Lurah lagi."     

"Jangan-jangan istri mudanya Ki Lurah?"     

"Tidak mungkin, dia masih remaja. Aku malah berpikir kalau dia anak Ki Lurah dari hasil hubungan gelap."     

Percakapan itu terdengar sangat nyaring hingga sampai di telinga Lingga dan Saksana yang tengah siap menyantap hidangan.     

"Mereka berisik sekali, menggosip kok keras-keras!" keluh Saksana.     

"Sudah jangan dihiraukan. Sudah biasa hal seperti itu terjadi di warung makan. Karena selain tempat makan dan minum, kedai juga tempatnya orang-orang saling mengobrol. Ya seperti kita ini."     

"Tapi kan bisa bicara pelan saja tidak perlu teriak-teriak cekakakan seperti orang hutan," keluh Saksana lagi.     

Lingga menghela nafas panjang. " Huh, Ku bilang juga apa, harusnya kamu jangan ikut. Karena kamu tidak akan suka dengan segala peristiwa yang terjadi di sepanjang perjalanan."     

"Memangnya cuma Kakang Jayendra dan Kakang Lingga yang bisa berbakti kepada Kakek Guru? Aku juga ingin."     

"Kalau ingin berbakti ya temani saja Kakek Guru."     

"Terserah lah, aku lapar." Saksana mulai menyantap makanannya dengan lahap. Lingga tertawa kecil sambil tangannya mengusap keras rambut Saksana.     

***     

Seorang wanita paruh baya sedang bertamu di rumah Ki Lurah Majaparia. Secangkir teh hangat dan kue kering disuguhkannya.     

"Nyai, lebih baik Nyai segera bawa kembali gadis itu, gosipnya sudah tidak mengenakan di sini, kupingku panas, Nyai," keluh Ki Lurah seraya menuangkan teh hangat dari ceretnya.     

"Dimana anak itu?" tanya si wanita paruh baya.     

"Sedang ada di kebun."     

"Mau bagaimana lagi? Ini semua salahku. Kalau saja aku tak bicara jujur tentang asal usul orang tua kandungnya, mungkin dia tidak akan senekat ini."     

"Sebenarnya apa yang terjadi, Nyai? Siapa Si Mawang Reksa yang dia cari-cari itu? Padahal sudah ku katakan kalau dia bukanlah warga desa Majaparia, tetapi anak itu masih ngotot."     

"Berjanjilah Ki Lurah, ini hanya antara kita saja,"     

"Baiklah, Nyai."     

"Dara kemeling hanya anak berumur lima tahun yang biasa bermain-main di pelataran rumah layaknya teman sebayanya. Suatu malam dia menangis meraung-raung. Hingga membangunkan semua tetangganya yang sedang terlelap dalam tidur, termasuk aku. Rupanya dia sedang menangisi tubuh ayahnya yang tengah tergantung pada tali yang dikaitkan di langit-langit rumah. Kemudian anak itu aku asuh karena ibunya juga minggat entah kemana.     

Beberapa bulan kemudian aku melihat seorang pejabat istana sedang duduk di atas kereta kuda melewati jalanan pasar, disampingnya duduk seorang wanita, ternyata dia adalah ibu dari Dara Kemeling yang minggat itu. Maka terjawablah penyebab Ayahnya gantung diri adalah karena sakit hati istrinya berselingkuh dengan pejabat istana."     

"Seperti tidak asing dengan cerita itu," gumam Ki Lurah mengawang-awang.     

"Jelas tidak asing, Orang tua Dara Kemeling dulunya adalah warga desa ini. Itulah kenapa anak itu mencari Mawang Reksa di sini."     

"Tetapi aku tidak kenal siapa Mawang Reksa."     

"Dia adalah nama seorang pejabat itu," ungkap si wanita paruh baya.     

Ki Lurah manggut-manggut setelah mengetahui cerita yang sebenarnya.     

"Kalau begitu aku pergi dulu, Ki Lurah. Kalau Dara Kemeling sudah kembali, katakan bahwa aku Nyai Senandung Wulan menyuruhnya pulang ke Pakembangan."     

"Kenapa Nyai tidak kembali menjadi warga sini saja?" tanya Ki Lurah.     

"Aku punya keluarga di Palembangan, dan sudah tidak mungkin kalau memboyong mereka ke sini. Aku akan hidup dan menua di sana," ujar Nyai Senandung Wulan. Setelah berkata begitu, dia pun melangkahkan kaki keluar dan menaiki kudanya yang kemudian berlalu pergi sesaat setelahnya.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.