A Song of the Angels' Souls

Rencana



Rencana

0Berusaha tak memedulikan rasa kantuknya yang luar biasa, Rava mengetuk pintu kamar Stefan pagi itu. "Mas Stefan, aku boleh masuk?"     
0

"Oh, masuk aja, Rav," jawab Stefan dari dalam.     

Begitu masuk, Rava melihat Stefan tengah mengerjakan sesuatu di sebuah laptop yang menampilkan semacam grafik naik turun. Firasat Rava langsung berkata: Stefan tidak sedang libur kuliah seperti pengakuannya.     

Stefan membenarkan kacamatanya, memberikan senyum ramah. "Bentar ya, Rav."     

Sementara Stefan kembali berkutat ke laptop di meja kerjanya, Rava mendekati satu rak kaca besar di sudut kamar mewah itu. Rava tak menduga kalau orang seperti Stefan mengoleksi banyak sekali action figure anime perempuan. Kebanyakan berpakaian seksi pula.     

Padahal, wajah Stefan cukup tampan. Punya banyak uang pula. Seharusnya, dia tidak sulit mendapatkan pacar.     

"Yang di bawah semuanya bisa dilepas Rav. Buka aja raknya," tutur Stefan.     

Perlu waktu beberapa saat sampai Rava mengerti maksud Stefan: semua baju action figure bagian bawah bisa dilepas. Dan mereka jauh lebih aman dari yang nyata, tak akan membuat jantung Rava berolahraga. Meski tergelitik untuk mengeceknya, Rava memilih bergeser dari rak itu. Bisa susah kalau ada yang rusak di tangannya.     

Sekarang, Rava berada di sudut kamar yang lain. Ada satu lagi rak kaca di sana, lebih kecil dan berisi berbagai macam action figure superhero amerika dengan pose gagah. Rava langsung tahu persamaan dari para superhero itu: semuanya mempunyai sumpah untuk tidak membunuh.     

Rava jadi penasaran. Apa ini yang membuat Stefan mengutuk pemilihan ratu bidadari itu? Memangnya, tokoh-tokoh fiksi seperti ini bisa memberi pengaruh besar kepada pemikiran seseorang?     

"Duduk Rav," ucap Stefan, sudah menutup laptopnya dan berjalan mendatangi sofa di kamar itu.     

Sebenarnya, tadi Rava sudah melihat dua sofa mewah dan meja tamu di kamar itu. Namun, dia baru kepikiran. Orang normal mana yang punya perabot untuk menerima tamu seperti itu di kamarnya?     

"Jadi, gimana, Rav?" tanya Stefan, sudah duduk di sofa.     

"Ah." Rava hampir tak bisa berkata-kata begitu merasakan kenyamanan luar biasa saat menduduki sofa itu. Busa perabot tersebut mengikuti bentuk pantat dan punggung Stefan dnegan sangat pas.     

"Tadi malam kamu bisa tidur?" Stefan sedikit menelengkan kepala, memandang mata Rava yang agak sayu, serta wajahnya yang tak bergairah.     

"Iya ...." Rava sedikit membuang muka. Senyaman apa pun kamar tamu Stefan, Rava tidak bisa membawa dirinya terlelap. Begitu banyak hal yang dipikirkan otaknya.     

"Sori, kamu mau bilang apa tadi?"     

"Jadi gini, Mas .... Ehm .... Langsung aja, aku pengen menyelamatkan bidadari bernama Kacia itu dari tuannya. Dan aku ngerasa kalau aku butuh bantuan Mas Stefan sama Ione."     

Stefan manggut-manggut. "Aku sama Ione sebenarnya juga memikirkan hal itu. Tapi, kalau misalnya kita bisa maksa tuan Kacia ngelepasin kontrak, berarti Kacia nggak punya tuan lagi. Dia bakal jadi sasaran empuk sama yang lain."     

"Itu ...." Rava beredehem lag. "Sebenarnya, Piv berkata kalau energi kehidupanku melimpah. Jadi, aku bisa bikin kontrak lebih dari satu ....."     

"Jadi, intinya kamu mau bikin harem?" potong Stefan dengan intonasi luar biasa cepat.     

"Haaaah?" Mulut Rava menganga begitu lebar. Matanya sedikit melotot. "Bu-bukan gitu, Mas. A-aku benar-benar cuma mau bantu dia."     

Rava heran sendiri. Mengapa dia gugup dengan pertanyaan yang jelas-jelas becanda itu?     

Stefan bangkit, menepuk pundak Rava, mengacungkan jempol, dan memajang wajah serius. "Kalau kamu bikin harem bidadari, artinya bidadari-bidadari itu bakal ada di pihak kita. Aku dukung kamu seratus persen."     

Kali ini Rava tak yakin kalau Stefan sedang becanda. Apalagi saat pemuda itu memunggungi Rava, memasukkan kedua tangan di saku celana, sedikit mendongak, lalu berkata dengan nada haru, "Kamu beruntung, Rav. Aku iri sama kamu. Harem adalah puncak dari impian para lelaki."     

Rava melongo kembali, tak mengerti maksud ucapan terakhir Stefan.     

"Kamu percaya dengan Piv, Rav?" tanya Lyra, entah sejak kapan bersandar di kusen pintu, masih dengan tubuh yang dibaluti perban. "Ingat, dia yang menjerumuskan kamu ke pertarungan ini."     

Serta-merta, Rava memegangi jidatnya, tak mau memandang bidadarinya itu. "Lyra, pakai celana atau rok dulu sana."     

Kalau Rava enggan melihat, Stefan justru terpaku ke celana dalam jingga yang dikenakan Lyra.     

"Sekarang bukan saatnya membahas hal remeh seperti itu," cerocos Lyra, berjalan mendekat     

Stefan terus mengikuti ke mana kaki Lyra melangkah, dan krek! Kepalanya digerakkan ke arah yang berlawanan oleh Ione yang tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya.     

"Menurutku, tidak masalah walaupun Piv bohong juga," ucap Ione, duduk di sandaran tangan sofa Stefan, tak memedulikan tuannya yang tengah memegangi leher kesakitan. "Toh, kalau ternyata energi kehidupan Rava biasa saja, nanti dia bakal merasa kalau energi kehidupannya diserap berlebihan. Rava tinggal meminta Kacia putus kontrak kalau itu terjadi. Yang terpenting kan tujuannya. Kita ingin menyelamatkan Kacia."     

Begitu Lyra yang duduk di sandaran tangan sofanya, Rava menoleh ke arah lain. Ia tak kuat ditodong pantat indah bidadarinya itu.     

"Bagaimana kalau itu cuma akal-akalan Kacia saja untuk mengelabui kita." Lyra bersedekap. Seperti biasa, dia memajang ekspresi tajam.     

"Mengelabui? Sampai dia menyiksa diri seperti itu? Luka sabetan dan bengkak di muka Kacia kelihatan nyata sekali, loh." balas Ione, memberikan sedikit tersenyum. "Maaf, tapi dugaanmu itu terlalu berlebihan, Lyra."     

"Tapi, kita tidak bisa mengabaikan kemungkinan itu begitu saja ...."     

"Intinya, aku ingin menolong seseorang yang kesusahan Lyra. Masalah cuma bohongan atau tidak, itu urusan nanti," potong Rava tegas. "Dan maaf kalau aku bilang begini. Nggak ada yang memintamu untuk ikut."     

Lyra dan Rava saling bertukar pandang tajam. Rava tak mengerti. Setelah melihat luka Kacia yang seperti itu, apakah hati Lyra tidak terketuk?     

"Aku tidak bilang kalau aku tidak akan ikut." Akhirnya, Lyra menghela napas. "Aku cuma mau mengingatkan, bidadari bernama Kacia ini sudah memiliki tiga kekuatan yang aktif. Berarti dia sudah banyak melawan monster atau bidadari lain. Kemampuan bertarungnya juga sangat handal. Ada kemungkinan kalau Ione akan kalah kalau melawannya sendirian. Aku mau membantu, tapi maaf saja, aku harus realistis. Aku tidak mau bertindak bodoh. Luka-lukaku masih belum sembuh benar. Aku tidak dalam kondisi bisa bertarung."     

"Bisakah kita hanya membujuknya saja dan nggak usah bertarung dengannya?" tanya Stefan.     

Ione memajang senyum getir. "Itu rencana pertama. Tapi, orang yang disiksa keras bisa berubah pikiran, Stefan. Lama-lama dia akan mengikuti keinginan tuannya karena takut mendapat hukuman lagi. Mungkin saja, setelah ini, dia bakal lebih agresif. Jadi, rencana kedua adalah melumpuhkannya, sekaligus memaksa tuannya melepas kontrak."     

Rava mengusap wajahnya gusar. Ia tak bisa membantah. Dia tak boleh egois lagi. Kondisi Lyra harus diperhatikan.     

"Sebenarnya, aku benci bertanya seperti ini," ucap Stefan, masih memijati leher bagian belakangnya. "Tapi, apakah Kacia akan mati kalau terus dihukum seperti itu?"     

Ione menggeleng lemah. "Tidak, sih. Asal tuannya tidak melakukan sesuatu yang ekstrim ke bagian vitalnya.     

Tangan Rava tergenggam erat. Ia tak bisa membayangkan penderitaan Kacia selama beberapa hari ke depan, sampai Lyra benar-benar sembuh.     

Lyra beranjak dari sofa tanpa mengatakan apa pun. Yang lain pun cuma memandanginya dalam diam.     

Ponsel Rava berdering. Ia sedikit meringis saat mengeceknya. Sang ibunda baru saja mengiriminya pesan yang berisi tautan berita. Foto gerobak roti bakar sang ibunda terpajang jelas di berita itu, lengkap dengan sosok Lyra yang sibuk melayani pembeli, tampak tak menyadari sedang difoto.     

"Jualan ibuku viral ...." Ucapan itu tercetus saja dari mulut Rava.     

"Bagus, dong," ceplos Ione.     

"Nggak, ini buruk." Stefan memajang tampang serius. "Wajah Lyra jelas kelihatan beda banget. Bidadari lain mungkin ada yang curiga kalau Lyra juga bidadari. Mereka akan mengecek .... Ibu Rava mungkin bisa dibilangin biar jangan cerita tentang Lyra, tapi orang di sekitarnya yang susah. Bidadari yang mengincar Lyra tinggal tanya ke orang di mana rumah ibu penjual roti bakar itu."     

Rava mematung sejenak, lagi-lagi mengusap wajahnya. "Dan mereka bisa melakukan sesuatu ke rumah aku. Bisa juga nyulik ibuku buat sandera."     

"Kalau tidak ada yang tahu rumah ibu Sinta sih tidak jadi masalah, ya. Viralnya Lyra bisa menarik perhatian bidadari lain untuk kuajak diskusi."     

Rava merasa kepalanya mulai pening. Masalah yang menyelimutinya semakin ruwet saja.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.