A Song of the Angels' Souls

Rekan



Rekan

0"Kan, sudah berapa kali dibilangin. Menyiapkan buku itu harusnya malam sebelumnya, jangan pas mau berangkat sekolah begini. Kalau telat, nanti dimarahi gurunya, kan?" desah seorang wanita dengan rambut ikal berwarna hitam yang sedang memegang piring berisi nasi dengan lauk kecap dan tempe goreng. Meski menasihati, nada bicaranya terdengar begitu lembut.     
0

Seorang anak laki-laki berseragam merah putih menerima suapan nasi dari si wanita dengan mulutnya. Sambil mengunyah, bocah yang umurnya tak lebih dari delapan tahun itu terus memasukkan buku-bukunya ke tas. "Soalnya, kalau nyiapin buku pagi-pagi, aku jadi disuapin Bu Dor! Aku suka kalau disuapin Bu Dor!"     

"Husss .... Kamu kan sudah besar, harusnya udah bisa bertanggung-jawab, udah bisa makan sendiri. Masa umur segini masih pengen disuapin?" Wanita itu tersenyum, menyolek ujung hidung bocah berkulit sawo matang itu dengan jarinya. "Ibu juga sudah bilang berkali-kali, nama Ibu itu Medora. Me-do-ra. Kalau Dor, itu bunyi tembakan, dong."     

"Kepanjangan. Gilang sukanya manggil Bu Dor aja!"     

"Dasar kamu, ya." Memberikan tatapan meneduhkan, Medora kembali menyolek hidung bocah bernama Gilang itu. "Pokoknya, kalau besok masih begini, Ibu nggak mau masakin kamu ayam goreng lagi."     

"Yaaah, tapi Gilang suka banget ayam goreng bikinan Bu Dor." Gilang memberengut, tetapi Medora tetap tersenyum dan menyuapi bocah itu.     

Meski isi piring telah tandas, Medora tetap menemani Gilang memakai sepatu.     

"Kalau Gilang besok malemnya udah nyiapin Buku, bu Dor tetap bakal masakin ayam goreng, kan?" Suara Gilang terdengar penuh permohonan.     

Medora terkekeh pelan. "Jelas, dong. Asal kamu nepatin janji."     

"Udah siap, Lang?" tanya ayah Gilang yang baru muncul. Pria berkumis tipis dengan rambut sedikit mengembang itu sudah mengenakan jaket berwarna hijau.     

"Bentar, Pak! Pipis dulu!" Melepaskan sepatunya lagi, Gilang berlari ke bagian belakang rumah sempit yang dindingnya sudah mengelupas di sana-sini itu.     

Masih saja tersenyum lembut, Medora sedikit menarik napas, lalu menoleh kepada si pria berjaket hijau. "Pak Dirga udah makan?"     

"Kamu nggak usah sok peduli sama aku," desis pria itu tajam, tak menatap Medora sama sekali. "Mungkin Gilang suka sama kamu, tapi kamu nggak bisa jadi pengganti ibunya. Ingat, kamu di sini itu karena aku memikirkan Gilang. Aku nggak bisa ngusir kamu karena itu bakal menyakiti perasaan Gilang. Kamu itu orang asing. Aku nggak tahu tujuan kamu datang ke keluarga kami."     

Medora tak membalas dan hanya melebarkan senyumnya Itu adalah serangan pertama dari pria bernama DIrga itu. Biasanya, Dirga hanya diam saja dan hanya memberikan pandangan sinis.     

"Yuk!" Gilang kembali, buru-buru mencangklong tas yang ditaruh di lantai semen, kemudian memakai sepatunya lagi.     

Medora mengusap pipi bocah itu. "Sekolah yang bener ya .... E-eh!"     

Gilang tiba-tiba memeluk perut Medora. "Aku sayang, Bu Dor!"     

Lagi-lagi tersenyum, Medora mengusap kepala Gilang. Wanita itu memberikan pandangan teduh penuh arti kepada Dirga, yang cuma bisa mengusap wajah.     

"Ayo, nanti kamu terlambat." Dirga menepuk pundak Gilang.     

Bocah itu pun melepaskan pelukannya, memberikan senyum sumringah kepada Medora, lantas keluar dari rumah sambil melambaikan tangannya. Medora balas melambaikan tangan.     

"Mau berangkat, Lang?" sapa Ursa yang baru datang.     

"Iya, Kak Ursa!" Gilang pun naik ke motor ayahnya. "Dadah!"     

Ursa mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan melambaikan dengan gerakan penuh semangat. Mulutnya pun menyunggingkan senyum penuh semangat.     

"Bapaknya masih tidak ramah dengan kita-kita ini, ya?" desah Ursa, terus memandang motor itu menjauh. "Padahal, kita tidak punya salah apa-apa sama dia."     

"Ada perlu apa Ursa pagi-pagi begini?" tanya Medora ramah. "Nggak sama Yohan?"     

"Yohan kan sekolah." Ursa menyodorkan satu tas plastik berisi empat kotak makanan sterefoam kepada Medora. "Ini, tadinya buat sarapan kalian bertiga, tapi aku datang kesiangan. Kamu makan saja sendiri, kalau terlalu lama disimpan nanti tidak enak."     

"Ah, terimakasih, tapi aku tidak bisa makan semua ini sendirian."     

Tawa keras meluncur dari mulut Ursa. "Kalau begitu makanlah denganku. Aku tiga kamu satu!"     

Medora hanya terkekeh kecil. "Aku masih tidak mengerti. Bagaimana bisa kamu kamu banyak makan, tapi perutmu masih selangsing itu .... Ah, masuk, yuk."     

"Iya, aku mau membicarakan sesuatu yang penting Medora. Aku kemarin bertemu beberapa bidadari lain saat melawan monster."     

"Ah, kamu pasti menjemputku kemarin." Medora membukakan pintu. "Maaf, waktu itu aku sedang ada urusan. Mungkin akan lebih mudah menghubungi kalau aku punya handphone, tapi kamu tahu sendiri, ayahnya Gilang jelas tak mungkin membelikanku."     

Ursa mengangkat bahu, mulai mengikuti Medora memasuki rumah. "Tidak usah dipikirkan, bidadari-bidadari itu tidak menyerangku, kok. Mereka malah mengajakku bekerjasama."     

"Oh, ya?" Medora menaruh tas plastik pemberian Ursa ke meja pendek di ruang tengah. Tak ada ruang makan di rumah itu, jadi kegiatan bersantap dilakukan ruang tengah. "Lalu, apa kamu menerima ajakan mereka? Apa mereka mengajukan syarat?"     

Ursa menunggu Medora mengambil sendok, ceret plastik berisi air, dan gelas.     

"Aku belum menerima ajakan mereka. Mereka tidak mengajukan syarat apa-apa dan penawaran mereka itu sangat menarik, Dora." Mengambil satu kotak makanan, Ursa melebarkan senyumnya.     

Kening Medora sedikit mengerut. "Penawaran menarik? Maksudnya?"     

***     

Rava tidak bisa menentukan mana yang lebih baik di antara 'bantal' yang sekarang digunakannya atau 'bantal' yang terdahulu. Memang, bantal terdahulu lebih kenyal dan empuk, tetapi bantal yang sedang ditidurinya sekarang permukaannya lebih hangat dan halus.     

Bahkan saat meraba permukaan bantal itu, Rava bisa merasakan sensasi menyenangkan yang begitu membuai, membuatnya enggan bangun dari sana.     

Dan itu seperti sensasi dari kulit manusia, tapi bukan sembarang manusia. Rava membayangkan kalau manusia yang punya kulit seperti itu pasti sangatlah cantik, barangkali seksi.     

Menyadari kejanggalan di jalan pikirannya itu, Rava membuka matanya dan segera bangkit dari 'bantal' yang ditidurinya. Meski masih sempoyongan karena kantuk, tak perlu waktu lama sampai dirinya sadar kalau bantal yang ditidurinya adalah paha mulus Lyra.     

Dengan wajah mulai merona merah, Lyra bangkit dari duduknya, sedikit membenarkan hot pants pendeknya, kemudian melenggang pergi begitu saja, tanpa melihat Rava sama sekali.     

Rava meraba ujung bibirnya, yang terasa agak kaku. Ya, ada bekas liur di sana. Apa ini berarti dirinya baru saja ngiler di paha bidadarinya?     

Pemuda itu pun meremas kepalanya. Dan tentu saja, wajahnya terasa panas seperti baru dipanggang. Bagaimana bisa? Kenapa hal seperti ini bisa terjadi lagi? Kenapa Lyra tak memindahkannya saja?     

"Selamat pagi, Rava," sapa Kacia, baru muncul dari ruang tengah. "Tadi malam tidur nyenyak?"     

Meski Kacia tersenyum, Rava bisa merasakan nada dan aura mengancam dari sang bidadari. Itu dipertegas dengan pembuluh darah di leher Kacia terlihat mulai menonjol, tanda gadis itu sedang memendam sesuatu.     

Rava merasa sangat sial. Ia tahu, dirinya telah memberikan impresi buruk kepada Kacia.     

"Dipanggil ibu kamu, tuh," ujar Kacia, pergi dari sana dengan senyum masih terpajang.     

Tiba-tiba Ione menghadang bidadari bertubuh mungil itu.     

"Tenang saja. Kamu masih menang, kok." Ione mengacungkan jempol dan menepuk pundak Kacia. "Lyra cuma kasih paha, tapi kamu kasih pantat."     

Seketika saja, wajah Kacia memerah bak kepiting rebus. Mulutnya membuka dan menutup bak ikan koi di dalam air. Sementara itu, Rava cuma bisa meremas kepalanya lagi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.