A Song of the Angels' Souls

Ikatan



Ikatan

0"Kamu benar-benar mau ikut mereka, Ur?" tanya Yohan yang sedang digendong bidadarinya itu. "Kamu nggak ngerasa curiga, gitu? Mungkin mereka punya maksud buruk?"     
0

Ursa yang tengah melompat dari rumah ke rumah pun tertawa kecil. "Tentu saja aku tetap waspada, Yohan. Tapi, biasanya instingku mengenai seseorang itu selalu benar. Paling tidak, bidadari bernama Ione itu jelas orang baik."     

"Sebegitu yakinnya kamu?"     

"Kamu tahu sendiri, kan? Sebelumnya, aku bilang Medora itu orang baik, kan? Ternyata dia benar-benar baik. Dia sama sekali tidak pernah berbuat jahat!"     

"Iya, sih. Medora itu memang orang baik." Yohan lalu terdiam. Bibirnya sedikit bergerak-gerak.     

"Ada yang ingin kamu tanyakan lagi, Yohan?"     

Yohan menelan ludah. "N-nggak ada, kok."     

Tawa kecil kembali keluar dari mulut Ursa. "Nada bicaramu barusan menunjukkan kalau kamu menyembunyikan sesuatu. Degup jantungmu juga agak naik. Aku bisa merasakannya lewat punggungku. Ayolah, kita kan sudah bersama cukup lama. Kamu bebas curhat ke aku."     

"Lama apanya? Baru sebulanan, juga," gerutu Yohan, menggaruk rambutnya, lantas menelan ludah kembali. "Apa kamu yakin aku bener-bener bisa jadi percaya diri?"     

"Tentu saja!" seru Ursa, terdengar begitu antusias. "Kamu pintar, tidak kekurangan materi, punya orangtua penyayang .... Yah, barangkali mereka terlalu menyayangimu, sih .... Maksudku adalah, kamu bisa fokus menaikkan rasa percaya dirimu itu, tanpa mengkhawatirkan hal lainnya!"     

"Daridulu aku sudah berusaha, tapi nggak pernah berhasil. Aku nggak bisa membuka obrolan dengan orang lain. Kalau mereka yang ngajak ngobrol, aku malah jawabnya pendek-pendek, takut nggak nyambung atau gimana-gimana. Itu baru satu contoh, belum lagi ngomong di depan umum, belum lagi di masa depan aku harus menghadapi wawancara kerja .... Intinya, rasa kurang percaya diri ini benar-benar menghambat aku untuk menjadi anak yang normal, Ursa."     

Ursa mendarat di halaman sebuah rumah, yang walaupun mungil, tetapi penampilannya elegan, dengan desain minimalis, dan halaman sempitnya dipenuhi pot-pot yang diisi bunga-bunga cantik. Begitu Yohan turun dari punggungnya, bidadari itu mengubah busananya menjadi lebih normal, seperti yang biasa dipakai manusia bumi: kaus lengan pendek biasa dan celana panjang jeans.     

"Kamu dulu berusaha sendiri, tapi sekarang kan ada aku!" Ursa merentangkan senyum begitu lebar, sampai menunjukkan semua gigi-giginya yang putih. "Aah, mami kamu masak apa, ya? Aku sudah tidak sabar! Masakan mami kamu selalu enak!"     

Yohan menyentuh dada kirinya, tempat jantungnya bersemayam. Ia bersyukur Ursa sudah tidak menggendongnya. Bisa-bisa Ursa merasakan irama degup jantungnya yang kini meningkat berkali-kali lipat.     

Dari dulu, Yohan memang merasa kalau keberadaan Ursa membuat hidupnya lebih berwarna. Pertemuan awal mereka memang kacau. Yohan histeris ada perempuan cantik yang tiba-tiba muncul di kamarnya. Namun, lama-kelamaan, dia malah ingin Ursa selalu ada di sisinya. Melihat senyuman penuh semangat Ursa saja, Yohan jadi ikutan bersemangat. Dia juga tidak mempermasalahkan perlakuan Ursa kepadanya. Dia justru suka kalau rambutnya diacak-acak atau tubuhnya dirangkul seperti tadi.     

Dan sekarang, entah mengapa semua perasaan itu makin bergejolak di hatinya.     

"Kok, malah bengong? Ayo masuk, aku sudah bisa mencium masakan mami kamu, loh." Ursa yang sudah membuka pintu pun mengernyitkan dahi.     

Yohan merentangkan senyumnya, mulai berjalan mendekati bidadarinya. "Makan malamnya kan masih lama, Ursa."     

Plak!     

Begitu punggungnya ditepuk keras oleh Ursa, Yohan meringis kesakitan, sekaligus memajang wajah penuh tanya kepada bidadarinya itu.     

"Senyum yang bagus! Biasanya senyummu itu tanggung sekali! Ini adalah langkah awal untuk meningkatkan rasa percaya dirimu!"     

"Apa hubungannya ...." Yohan tidak sempat merampungkan kalimatnya karena Ursa keburu merangkulnya erat dan membawanya masuk.     

***     

Menguap begitu lebar, Rava mengecek jam dinding di ruang tamu rumah kontrakan. Sudah pukul satu dini hari lebih dan Lyra belum juga pulang. Ia pun mengempaskan dirinya ke sofa panjang. Tubuhnya sudah mulai letih karena dirinya sedari tadi terus mondar-mandir.     

Kelopak mata Rava begitu berat. Ia ingin segera melemparkan tubuhnya ke kasur yang empuk. Dia sudah setengah tertidur ketika mendengar bunyi kenop pintu yang diputar, dilanjut dengan suara derit pintu yang dibuka.     

"Selamat datang, Lyra," sapa Rava dengan nada penuh kelegaan. Ia mengucek matanya dan kembali menguap.     

Lyra pun masuk dan mengunci pintu dari dalam. "Kamu belum tidur?"     

Lidah Rava kelu. Dia tak kuasa menyampaikan tujuannya menunggu Lyra. Rava tidak berniat mendebat pandangan Lyra. Tidak. Rava tahu, berdebat tidak akan mengubah apa pun.     

Sedari tadi, hati Rava merasa tak nyaman. Ya, Lyra pasti bisa menjaga diri bila bertemu lelaki hidung belang di jalan. Namun, bukan berarti Lyra bisa benar-benar terlepas dari ancaman. Masih segar di pikiran Rava sewaktu Lyra terluka parah gara-gara bertemu bidadari lain tanpa dirinya.     

Sedikit menarik napas, Lyra duduk di sebelah Rava. Keheningan langsung menyelimuti keduanya.     

"Ngomong-ngomong, kemampuan kamu udah kebuka satu lagi, loh." Akhirnya, Rava berusaha memecah keheningan.     

"Barangkali, nanti kita akan berada di sisi yang berseberangan, Rava," ucap Lyra tiba-tiba.     

Rava merasa jantungnya seperti dihantam keras.     

"Pandangan kita terlalu berbeda. Jalan yang ingin kita ambil sangat berbeda .... Yah, sebenarnya aku sangat mengagumimu, Rava. Bukannya tergoda dengan iming-iming untuk mengabulkan keinginan terbesarmu, kamu malah mengorbankan satu yang paling berharga dari dirimu. Aku tahu, itu sangat tidak mudah. Kamu itu pemuda yang hebat, bisa melakukan hal seperti itu, Rava." Lyra memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam. "Tapi, sekali lagi, cara kita melihat sesuatu itu berbeda ...."     

"Kalau ada kesempatan, kamu ingin mencari tuan yang baru?" Akhirnya, Rava bisa menyimpulkan maksud ucapan Lyra. Rava ingin membantah hal itu, tetapi lagi-lagi lidahnya kelu.     

"Kamu tahu, kan? Satu-satunya cara agar aku bisa membunuh lagi adalah dengan mencari tuan yang baru. Namun, sekarang aku belum bisa lepas dari dirimu. Sampai aku menemukan tuan yang baru, aku masih akan mengikuti kamu. Aku akan ikut membasmi monster bersama kamu. Tapi, jangan harap aku akan membantu kamu dan teman-temanmu itu untuk mengajak bidadari lain bergabung."     

Seharusnya, Rava tahu hal seperti ini akan terjadi. Namun, Rava tak mengerti, mengapa hatinya kini terasa bak dirajami ribuan jarum? Karena Lyra akan membunuh lagi? Karena Lyra akan menjadi lawannya?     

Karena Lyra akan meninggalkannya?     

Rava ingin mencegah, meminta Lyra untuk tetap berada di sisinya.     

"Begitu, ya?" Rava memajang senyum tipis di wajahnya. Pada akhirnya, dia cuma bisa berkata seperti itu. "Yah, semoga nantinya kamu akan mendapatkan tuan yang baik."     

"Maaf, kalau kita dipertemukan dalam kondisi lain, dalam kondisi yang lebih baik ...."     

Lyra tercekat. Kepala Rava tiba-tiba jatuh ke pangkuannya. Tuannya itu sudah memejamkan mata dengan ekspresi wajah yang begitu damai.     

Lyra pun menyunggingkan senyum samar. "Kalau sudah sangat mengantuk, kamu itu tidak tahu tempat, ya. Apa saja bisa dijadikan bantal."     

Perlahan, Lyra mulai mengusap rambut Rava dengan lembut. Senyumannya masih bertahan di wajah.     

Mendadak, Lyra menghentikan kegiatannya itu. Mulutnya sedikit menganga. Apa ini tidak salah? Dia bisa tersenyum? Dirinya? Seseorang yang dipanggil si muka batu di desanya? Seseorang yang tidak tahu otot mana yang harus digunakan untuk tersenyum?     

"Kamu bisa mendatangkan keajaiban ya, Rava?" Melebarkan senyumnya, Lyra kembali mengusapi kepala tuannya itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.