A Song of the Angels' Souls

Pagi Hari



Pagi Hari

0Selama hidupnya, itu adalah bantal ternyaman yang pernah Rava gunakan. Benar-benar berbeda jauh dengan bantal tipis dan lusuh yang biasa dipakainya. Bantal yang digunakannya sekarang empuknya sempurna. Tak hanya empuk bahkan, tetapi ada sensasi agak kenyal dan lembut yang membuat kepalanya makin enak bertengger di bantal itu.     
0

Tangan Rava pun mulai bergerak. Ia ingin merasakan sensasi nyaman itu dengan jari-jemarinya. Ia lantas meremas pelan bantal itu. Makin sempurna. Hasratnya untuk meremas pun makin menguat.     

"Huuuh?" Rava meracau. Apa dia tidak salah? Bantal itu sedikit bergerak?     

Ia pun kembali meremas bantal itu, kali ini lebih keras. Bantal itu berjengit. Seraya mengucek-ngucek matanya, Rava mengangkat kepalanya dari bantal itu.     

Bantal yang aneh. Seperti memiliki dua tonjolan. Rava kembali mengucek-ngucek matanya. Apa dia salah lihat.     

Tiba-tiba, Kacia melompat dari dipan, langsung menyambar kimono tidur dari gantungan. Rava pun berjengit ketika melihat 'bantal' itu ikut 'bergerak' bersama Kacia.     

"Maaf, aku sudah tidak tahan! Aku mau ke belakang dulu!" seru Kacia, memakaikan kimono tidur itu ke tubuhnya sambil berlari.     

Dengan nyawa yang belum terkumpul seluruhnya karena baru bangun tidur, Rava cuma bisa melongo seraya menggaruki rambutnya yang luar biasa berantakan. Perlu beberapa saat sampai dia mulai tersadar.     

Yang tadi ditidurinya itu bukanlah bantal.     

Perlahan, matanya membuka semakin lebar. Darah terpompa ke wajahnya, memunculkan warna merah yang kentara. Dia meremas kepalanya dengan kedua tangan.     

"What the f*ck!!!" Rava mulai gelagapan, apalagi saat Kacia kembali. Ia langsung membelakangi bidadarinya itu, tak berani bertukar pandang.     

Rava tak habis pikir. Apa susahnya sih membangunkan dirinya dari pantat Kacia?     

Rava sedikit melirik Kacia, hanya untuk mengalihkan pandangannya lagi. Bidadari dengan rambut cherry tua itu sedang menanggalkan kimononya. Wajahnya juga merona merah. Rava mau meminta maaf, tetapi kerongkongannya seolah tersumbat.     

"Sebentar, Rava." Kacia naik ke tempat tidur, kembali mengambil posisi tengkurap, lantas menutupi bagian pantatnya dengan kain. "Sudah, Rava. Kalau mau tidur lagi di pan ...."     

"Eeeeh!?" Rava tercengang, tak percaya atas apa yang baru didengarnya.     

Menyadari kesalahan kalimatnya barusan, kini giliran Kacia yang meremas kepalanya. Wajahnya semakin memerah. "Aku tidak bermaksud seperti itu! Jadi .... Tadi aku cuma keceplosan!"     

Rava tak bisa menghapus ingatan tentang bagaimana nyamannya 'bantal' yang tadi ditidurinya. Itu semakin membuat degup jantungnya tak karuan. Pikirannya kembali menggaungkan kalimat: aku masih punya moral!     

"M-maaf, aku nggak sengaja tidur di ...." Rava berdehem hebat. "Pokoknya aku minta maaf!"     

"Aku tahu, kok. Kamu cuma kelelahan saja," jawab Kacia, masih terdengar malu-malu. Beberapa menit berlalu dalam sepi yang begitu canggung, akhirnya Kacia bertanya, "Jadi, kalau boleh tahu. Apa keinginan kamu, Rava?"     

"Keinginanku cuma satu. Aku ingin semua ini cepat berakhir, supaya nggak ada yang mati lagi," desah Rava, yang masih membelakangi bidadarinya itu. "Kalau kamu gimana? Apa yang ingin kamu lakukan kalau misalkan jadi ratu nantinya?"     

Kacia menggeleng pelan. "Aku tidak ingin menjadi ratu. Aku tidak ingin ikut dalam pertarungan ini. Aku cuma ingin sayapku kembali. Aku sudah sudah sangat rindu terbang kembali ke langit ...."     

Terdengar isakan sekilas dari Kacia. Rava merasa dadanya baru dihantam sesuatu yang keras. Dia tentu jadi teringat dengan sesuatu miliknya yang sangat berharga itu. Sesuatu yang terenggut, membuatnya merasa tidak utuh lagi.     

Dirinya dan Kacia juga sama-sama dipaksa terjun ke lingkaran pertempuran ini.     

"Aku sama sekali tidak tahu mengapa mereka memilihku." Kacia menghapusi air matanya. Suaranya mulai serak. "Aku sedang bersama keluargaku saat mereka memberitahuku .... Hanya dalam waktu singkat, aku sudah ada di sini, disuruh untuk membunuh. Aku tidak mau membunuh ...."     

Kacia tak kuasa lagi menahan tangisnya.     

"Aku nggak bisa menjanjikan apa pun, tetapi aku akan berusaha membantumu kembali ke tempatmu, Kacia," ucap Rava pelan. Di dalam hati, sebenarnya dia ingin bisa mengatakan lebih dari itu. Namun, dirinya bukanlah tipikal protagonis lelaki di anime atau manga yang biasanya selalu optimis.     

Dan Rava membenci dirinya yang seperti itu.     

***     

Hari sudah menjelang siang ketika Zita melangkah sendirian di salah satu sudut kota. Sambil menikmati permen lolipopnya, bidadari itu mengedarkan pandangan. Rautnya tampak tidak menunjukkan gairah sedikit pun. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.     

Tadi malam, dia belum puas bermain.     

Tangannya sudah gatal menyakiti semua orang yang ditemuinya di jalanan. Dia perlu pelampiasan yang memuaskan. Namun, kalau dirinya melakukan hal itu di tempat umum seperti ini, Piv pasti akan membekukan lingkungan. Zita tak menyukainya. Itu tak ada bedanya dengan merusak patung atau boneka.     

Karena itulah, dia sedang mencari korban yang tepat.     

"Eeh, mbak bule mau ke mana, nih!?" Suara lelaki itu diiringi beberapa siulan.     

Zita menghentikan langkahnya, menoleh ke asal suara itu, sebuah pos siskamling di mulut gang. Beberapa pemuda tanggung tengah duduk-duduk di sana.     

"Sendirian aja, nih!?" celetuk salah satu dari mereka, seorang pemuda dekil dengan rambut kemerahan. "Mau kita temenin nggak?"     

Mereka pun tertawa keras. Bukannya menjauh seperti yang dilakukan perempuan pada umumnya, Zita malah mendekati mereka.     

"Aku mau," desahnya menggoda. Ia memasukkan lolipopnya ke mulut. Gerakannya begitu pelan dan sensual.     

Para pemuda itu langsung berhenti tertawa. Mereka jadi melongo dan saling pandang satu sama lain. Tentu saja mereka tak pernah mendapat respon seperti itu dari setiap perempuan yang mereka ledek di jalanan.     

Zita menggenggam tangan si pemuda dekil. "Siapa namamu?"     

"D-Don," jawab si dekil gelagapan.     

Teman-teman pria itu langsung heboh sendiri. Beberapa tertawa saat melihat ekspresi Don yang jadi sangat kaku.     

"Jangan!" Seorang pria lain berteriak dari sisi jalan. "Kalian jangan ngikutin dia!"     

Zita langsung tahu identitas pemuda itu.     

"Janu, elu ngapain, sih? Dateng-dateng kok langsung ngegas?" gerutu Don.     

Zita menarik tangan Don untuk merangkul pinggangnya. Kemudian, sang bidadari menoleh kepada Janu dan menempelkan jari telunjuknya ke mulut.     

Janu langsung tak bisa berkutik. Zita jelas memberi isyarat agar dirinya tak turut campur.     

"Aku ingin ke tempat yang sepi," desah Zita, sengaja menarik tubuh Don untuk lebih merapat ke tubuhnya.     

Don membelalak lebar. Dia bisa merasakan kehangatan tubuh Zita.     

"Kenapa kamu diam, Don?"     

"Oke! Aku tahu tempat yang cocok!" Don terdengar bersemangat. Ia lalu menggiring Zita mengikutinya. Pemuda yang lain pun membuntut di belakangnya, masih heboh dengan apa yang terjadi.     

Janu benar-benar tak bisa melakukan apa pun. Dia cuma berdiri dengan tubuh bergetar, memandangi teman-temannya dibawa iblis itu. Ia teringat akan kejadian beberapa hari yang lalu, saat bidadarinya mati mengenaskan.     

Dia sendiri tak mau mati.     

***     

"Nggak apa-apa, nih?" tanya Dini kepada suaminya yang baru saja menerima kiriman sekotak kue. Istri Bagas itu terdengar begitu cemas.     

"Palingan dia bakal lama perginya." Meski berkata seperti itu, Bagas buru-buru menaruh kotak kue itu ke meja makan dan membukanya.     

Erin langsung tertawa-tawa ceria melihat kue kecil yang dilapisi cokelat itu. "Uyang taun! Uyang taun!"     

Dini pun mengelus rambut putrinya tersebut. Mulut Dini memang mengembangkan senyum, tetapi matanya berkaca-kaca. "Andai keadaan nggak begini. Mama sama papa bakal ngadain pesta ulang tahun yang lebih meriah."     

"Nggak ada gunanya mengeluh," ucap Bagas, menata beberapa lilin kecil di atas kue itu, dan buru-buru menyalakannya dengan korek. "Nah, sekarang kita nyanyi."     

"Hmmmm .... Sepertinya enak."     

Bagas sekeluarga langsung mematung. Muka Zita sudah begitu dekat dengan kue tersebut. Entah sejak kapan sang bidadari masuk ke dalam rumah.     

"Aku dengar, ini tradisi manusia bumi untuk merayakan hari kelahiran, ya?" ucapnya Zita dengan senyum menjulang, membungkuk dan meniup lilin-lilin di kue itu. Ia lalu mengusap kepala Erin dan berkata ceria, "Selamat ulang tahun, Erin!"     

Zita pun pergi sambil membawa kue tersebut. Serta-merta Dini memeluk tubuh putrinya, menggendongnya, lantas membawanya pergi. Air mata Erin sudah menetes. Bibir bagian bawahnya sudah ditekuk ke dalam, tanda dirinya sangat kecewa. Meskipun demikian, balita itu tak bersuara sama sekali.     

Bagas memijati keningnya. Matanya terpejam erat. Dia juga ingin menangis.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.