A Song of the Angels' Souls

Permintaan



Permintaan

0Aura permusuhan itu sudah Rava rasakan sejak masih di rumah kontrakan. Dari mulai membungkus lemper sampai membentuk adonan combro, Kacia dan Lyra kelihatan berkompetisi melakukan sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya. Ibu Rava sampai takjub sekaligus heran pekerjaan membuat jajanan itu bisa selesai lebih cepat dari seharusnya.     
0

Rava benar-benar tak mengerti mengapa mereka berlaku seperti itu. Ini bukan kompetisi, tidak ada hadiah yang diperebutkan.     

"Padahal, di sini tidak ada bu Sinta, tapi mereka masih aja berlomba seperti itu." Ione terkekeh, tak ikut membantu dan hanya mengamati Kacia dan Lyra yang menata jajanan—baik yang buatan ibu Rava maupun titipan orang lain—ke meja dagangan.     

"Atmosfer tempat ini luar biasa sekali," ujar Stefan yang tengah membantu Rava memasang spanduk bertuliskan 'Jajanan Bu Nta' di meja itu.     

Kening Rava berkerut. Ia memandang berkeliling. Hanya ada meja-meja dan kursi-kursi panjang, serta kios-kios dagangan sederhana yang menjual berbagai makanan dan minuman. Orang yang lalu-lalang juga tidak terlalu banyak karena sekarang masih belum terlalu sore. Apanya yang luar biasa dari pasar kuliner yang belum lama diresmikan itu?     

"Yah, aku nggak pernah ke tempat kayak gini sih, Rav. Rasanya beda aja gitu buatku," imbuh Stefan, seolah bisa membaca pikiran Rava.     

"Selamat datang, Tante." Ione tersenyum ramah kepada seorang ibu paruh baya berkacamata.     

Bukannya memilih jajanan, ibu itu malah menggenggam kedua tangan Kacia. "Mbaknya cantik banget! Mau ya sama anak saya!? Dia itu udah mapan, loh! Udah jadi pimpinan perusahaan! Tolong kasih nomor mbaknya, ya?"     

"Eeeeh!?" Kacia langsung mendelik, wajahnya memerah dan mulutnya seperti megap-megap. "S-saya tidak punya h-handphone, Bu."     

Ibu itu buru-buru mengeluarkan pulpen dari tas tangannya. "Punya kertas?"     

Dengan gerakan cepat nan halus seperti sedang bertarung dengan pedangnya, Lyra menyerahkan selembar kartu nama untuk lapak jualan mereka. Ibu itu pun menulis sesuatu di belakang kartu nama tersebut, kemudian menggenggamkannya ke tangan Kacia.     

"Hubungi nomor ini, nanti ibu belikan handphone biar bisa chat sama anak saya. Dia agak pemalu, nggak berani ngomong langsung. Pelan-pelan dulu aja."     

"Eeeeehhhhh!?"     

Ione menghadap ke arah lain sambil menutupi mulutnya untuk menahan tawa, Lyra malah melayani pembeli yang datang, sementara Rava dan Stefan cuma berdiri sambil bengong. Rava ingin sekali meremas dan membuang kartu nama bertuliskan nomor asing di tangan Kacia itu.     

"Sebenarnya, nggak ada gunanya kita di sini, Rav. Biar bidadari-bidadari kita yang jualan. Lihat tuh, pesona mereka udah narik pembeli," ujar Stefan, menunjuk orang-orang yang mulai berdatangan.     

Rava menggaruk rambut saat orang-orang merekam wajah Lyra dengan ponsel. Ione menarik kedua bibir Lyra agar tersenyum. Namun, Lyra tak peduli dan tetap saja melayani pembeli. Orang-orang pun jadi tertawa saat melihat adegan yang mirip komedi slapstik itu.     

"Hmmm .... Kita bertemu seorang teman nih, Rav." Stefan menengok ke parkiran yang berjarak hanya beberapa meter di belakang lapak mereka.     

Ketika menoleh ke arah yang sama, Rava menemukan Janu yang baru turun dari motor. Mantan tuan Alsie itu mengenakan rompi berwarna oranye terang dan mengalungkan peluit di leher. Menyadari keberadaan Rava dan kawan-kawan, pemuda berkulit sawo matang itu mengangkat kedua tangan.     

"Eeh, Mas Stefan mau ke mana?" Rava tersentak saat Stefan mendatangi pemuda itu.     

"Tenang saja, dia manusia kok, bukan monster."     

"Aku nggak bakal macem-macem, kok. Aku cuma mau markirin di sini," ujar Janu dengan nada tenang.     

Stefan berhenti beberapa meter dari pemuda itu. "Mana bidadari kamu?"     

Begitu Janu menggeleng pelan, Rava merasakan jantungnya bagai disundut sesuatu yang panas. "D-dia udah nggak ada?"     

Sekarang Janu mengangguk. Rava merasa isi perutnya seperti dibetot keluar.     

"Pengorbanan kamu nggak sia-sia, Rav. Kalau kamu nggak melakukan hal itu, mungkin Lyra sudah membunuh bidadari yang lain," hibur Stefan.     

"I-iya, Mas." Kenyataannya, Rava sulit sekali menghalau hal seperti itu dari pikirannya.     

Tiba-tiba, Lyra berjalan melewati Rava dan Stefan begitu saja. Ia lalu berhenti sangat dekat dengan Janu, yang cuma bisa melongo kebingungan.     

"Pergilah denganku," pinta Lyra datar, memandang tajam mata Janu.     

Suasana hening. Seekor kucing oranye datang, melirik mereka satu persatu, lantas kembali melanjutkan langkahnya.     

"Anu, maksudnya? Kamu mau ngajak aku pergi?" Janu menunjuk mukanya sendiri yang berekspresi bak orang dungu.     

Degup jantung Rava mulai melonjak naik. Ia sudah ingin berteriak agar Lyra menarik ucapannya. Namun, lidahnya seolah membeku. Ya, dia tak berhak melarang-larang Lyra pergi dengan orang lain. Pada akhirnya, dia dan Lyra tetaplah orang asing yang terikat dengan kontrak absurd.     

Lyra memejamkan mata, sedikit menarik napas. "Iya, aku mengajakmu pergi. Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu."     

"Tunggu, Lyra. Ngapain kamu ngelakuin ini?" tanya Stefan penuh selidik. "Kamu ..."     

Rava memegang pundak Stefan, mendesah lirih, "Biarkan saja, Mas. Ini bukan urusan kita."     

"Bukan urusanelu?" Janu tercengang hebat. Dia lalu menunjuk Rava. "Cewek ini kan bidadari elu ...."     

"Cuma sebentar saja." Lyra mencengkram bahu Janu. "Kamu sudah bukan tuan lagi, kan? Kamu tahu apa yang bisa aku lakukan kepadamu, kan?"     

"Iya, iya! Lepasin! Sakit, tauk!" Janu berontak dan Lyra melepaskan cengkraman itu.     

"Anu .... Lyra nggak bakal ngapa-ngapain kok, Mas. Dia ini cuma membutuhkan Mas Janu," tutur Rava. "Jadi .... Lyra, kamu mau ngapain!?"     

Ketiga pria itu terhenyak luar biasa. Bahkan beberapa orang di sekitar situ sampai menghentikan kegiatannya gara-gara Lyra menanggalkan rok selututnya. Namun, karena ternyata Lyra masih memakai hot pants, Rava menarik napas lega.     

"Pegang dulu." Lyra melempar roknya kepada Rava yang langsung menangkapnya.     

"Hei, siapa nyuruh elu duduk di motor gue!?" gerutu Janu saat Lyra sudah menaiki jok belakang motor bebeknya.     

Rava berjalan mendekat. "Nggak apa-apa kok, Mas. Beneran. Dia cuma mau ngomong bentar."     

Janu memberikan pandangan putus asa kepada Rava, kemudian sedikit mendengus. "Oke, tapi awas kalau ada apa-apa."     

Akhirnya, Janu menaiki dan menghidupkan motornya. Degup jantung Rava semakin mengencang. Dia bahkan ingin segera menarik Lyra. Namun, sekali lagi, Rava merasa tak punya hak mencegah.     

"Woi! Elu ngapain!" Janu gelagapan saat Lyra memeluknya dari belakang. Motornya sampai oleng.     

Gigi Rava sedikit bergemeretak. Hati kecilnya seolah berteriak: seharusnya dirinya yang memboncengkan Lyra.     

"What the ...." Stefan celingukan, memandang Lyra yang makin menjauh dan Rava yang sudah berjalan pergi.     

Rava berhenti di dekat Kacia dan Ione, menaruh rok Lyra di sebuah kursi plastik. "Aku mau cari angin sebentar."     

Karena tengah melayani pembeli yang semakin banyak, dua bidadari itu tak menanggapi. Sempat mematung bak orang linglung, Rava akhirnya ngeloyor begitu saja.     

Stefan pun menangkap pundak Rava.     

"Kamu kenapa sih, Rav? Kalau seperti ini, kamu bakal membiarkan Lyra membunuh ...."     

"Aku tahu, Mas." Rava menghindari tatapan Stefan. "Tapi, kalau terus bersamaku, dia tak bisa menggapai tujuannya .... Aku sendiri bingung kenapa aku ngebiarin dia pergi, Mas .... Ah, aku lagi pengen sendiri dulu."     

Rava melanjutkan langkahnya, meninggalkan Stefan yang kehilangan kata-kata.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.