A Song of the Angels' Souls

84. Alasan



84. Alasan

0Gilang duduk di ruang makan rumahnya dengan mulut yang mengunyah pelan. Medora duduk di sampingnya, tengah memegang piring plastik berisi nasi dan telur dadar.     
0

"Kenapa, Lang? Makanan Ibu nggak enak, ya?" tanya Medora yang sudah tidak sabar karena Gilang makan terlalu lama. Namun, dia tetap memaksakan senyum di bibirnya. Suaranya juga dia jaga agar tetap lembut.     

"K-kenapa Ibu tadi nggak mau ngelawan monster, padahal Piv udah ngasih tahu?" tanya si bocah cilik takut-takut.     

Medora mendesah pelan. "Ibu kan sudah bilang, kamu nggak usah tanya ini-itu dan nurut aja apa kata Ibu. Tapi, kalau kamu ingin tahu alasannya, lihat aja kondisi tubuh Ibu sekarang. Luka-luka ibu kan belum sembuh benar. Nanti kalau luka Ibu tambah parah bagaimana?"     

"T-tapi ...." Bocah cilik itu tercekat, kemudian menunduk dalam-dalam.     

"Tenang saja, bidadari lain pasti akan menghadapinya, kok." Medora benar-benar ingin memarahi Gilang yang menurutnya tidak bisa berlogika itu.     

"Aku bisa makan sendiri, Bu," lirih Gilang saat Medora menyodorkan satu sendok nasi ke mulutnya.     

"Ah, kalau begitu Ibu mau cuci baju dulu." Medora pun menaruh piring itu ke hadapan Gilang, lantas pergi begitu saja.     

Gilang masih saja terdiam. Mulutnya begitu merapat. Kedua matanya mulai basah. Sebuah pertanyaan muncul di kepalanya: apakah Medora itu adalah benar-benar superhero seperti yang ia bayangkan selama ini?     

***     

Di bawah langit malam yang mendung, Lyra mengayunkan tongkat bambu, membuat gerakan gemulai nan mematikan yang biasa digunakannya dalam pertarungan.     

Krak! Tongkat itu patah ketika dia memukulkannya ke hamparan rumput di pelataran belakang rumah kontrakan. Dengan napas naik-turun, ia mengamati benda itu sejenak, kemudian membuangnya ke sudut. Tongkat itu sudah terlalu lama dipakai. Entah sudah berapa jam dirinya berlatih seperti ini.     

"Aah, celana ini jauh lebih nyaman. Banyak udara yang masuk. Tapi, akan lebih bagus kalau bisa lebih pendek lagi." Lois muncul dari pintu belakang, memakai salah satu hot pants milik Lyra, sedikit menggaruk-garuk sela-sela paha mulusnya yang terbuka. "Sayangnya, tuanku tidak pernah setuju aku memakai celana pendek seperti ini. Dia juga melarangku memakai rok, bahkan yang panjang sekalipun. Kalau mau pakai rok, aku harus pakai dalaman panjang. Kan, jatuhnya sama saja."     

"Lois, seorang putri bangsawan kurang akhlak, kerjanya mengeluh panjang lebar dan suka memakai pakaian milik orang lain tanpa izin," ujar Lyra, menyeka keringatnya dengan handuk, kemudian meminum air banyak-banyak dari botol plastik.     

Lois mencibir, menunjuk ke tank top putih yang dipakai saudari angkatnya. "Kalau tuanmu melihat kamu yang seperti itu, bagaimana reaksinya, ya? Melihat aku tidak pakai celana saja ekspresinya jadi begitu."     

Lyra memeriksa baju tipisnya yang kini begitu melekat ke tubuhnya karena keringat. Baju itu jadi transparan, memperlihatkan sebagian dari yang seharusnya tidak ditunjukkan.     

"Aku kurang suka pakai bra," jawab Lyra lugas, kembali menyeka keringat di wajahnya. "Aku tadi dengar, Etria diserang monster, kan? Bagaimana keadaannya?"     

"Dia ada di rumah persembunyian bu Dini, istri tuan Zita. Rumah itu lebih dekat dengan tempat kejadian," jawab Lois, duduk di undakan pintu belakang. "Ngomong-ngomong, aku masih tidak percaya Zita dihidupkan kembali. Pemerintah mikir apa, sih? Masa mereka mau orang sinting itu jadi ratu?"     

"Aku tidak tahu. Mungkin mereka masih ingin ada wakil dari kaum bermata iblis selain aku," jawab Lyra, duduk di rerumputan begitu saja, mengatur napas dan kembali minum. "Mereka ingin bidadari-bidadari yang ikut mempunyai latar belakang bervariasi. Itu akan membuat persepsi publik kepada mereka semakin membaik."     

Lois sedikit menelengkan kepalanya, mengamati wajah Lyra yang lagi-lagi tak menunjukkan perubahan ekspresi. "Seperti biasa, dengan ekspresi seperti itu, aku kadang tidak tahu kamu sedang serius atau becanda."     

"Tentu saja aku becanda. Tapi yang jelas, menunjuk Zita adalah kesalahan yang sangat besar, apalagi membangkitkannya."     

Helaan napas panjang meluncur dari mulut Lois. "Dan menunjuk orang seperti Etria itu juga sebuah kesalahan besar. Dia jelas tidak tahu betapa kompleksnya permasalahan di negeri kita. Dia itu seperti aku yang dulu, seorang putri yang dibesarkan dengan segala fasilitas, tidak pernah belajar tentang dunia luar. Yah, aku sangsi dia bangsawan, sih. Aku tidak pernah melihatnya di pertemuan antar bangsawan. Paling-paling dia anak orang kaya saja."     

"Kamu sepertinya sangat membenci dia, ya?" tanya Lyra, bisa mendeteksi nada bicara Lois yang seperti orang mengomel.     

"Aku bukan benci orangnya. Sifat manjanya itu yang membuatku sangat jengkel. Seperti yang kamu bilang, aku seperti melihat diriku yang dulu." Lois sedikit mendengus.     

Lyra berdiri, berjalan beberapa langkah, kemudian membelakangi sang saudari angkat. "Kamu tahu alasanku ingin menjadi ratu, Lois?"     

"Intinya kamu ingin memperbaiki kehidupan kaummu, kan?"     

"Ya, tetapi walaupun sudah menjadi ratu, aku tahu hal itu tidak mudah. Kebencian dan kebodohan orang-orang di dunia kita itu sudah begitu mendarah daging. Kalau sudah menjadi ratu, aku tidak bisa cuma membuat kebijakan-kebijakan yang lebih adil untuk kaumku."     

Lois bangkit dari duduknya. "Aah, justru mengubah pola pikir masyarakat mungkin jauh lebih berat."     

Lyra menghadap Lois kembali. "Jujur saja, aku khawatir, Lois. Aku ini bukan orang yang bisa berkomunikasi dengan baik. Sering sekali, apa yang aku maksud tidak tersampaikan kepada orang lain."     

"Sudah lama sekali kamu tidak mengobrol dari hati ke hati seperti ini denganmu." Terkekeh pelan, Lois menghampiri saudarinya itu.     

"Jangan mulai, deh."     

"Loh, aku kan tidak mencela atau bagaimana." Lois mengangkat bahu, tersenyum geli melihat Lyra. "Yah, karena sebenarnya sudah tidak punya keinginan besar, aku akan membantumu .... Ah, bisa dikatakan keinginan terbesarku ya ingin melihat kamu menjadi ratu. Aku akan berusaha keras mewujudkan keinginanku itu."     

"Melihatku menjadi ratu?" Lyra kembali membelakangi Lois. "Kamu lupa, ya? Agar aku menjadi ratu, artinya kamu juga harus mati. Kamu tidak akan bisa melihatku menjadi ratu."     

Bibir Lois membentuk senyum tipis. "Aku rela ...."     

"Jangan sekali-kali kamu berkata rela mati demi aku," potong Lyra dengan nada sedikit meninggi. "Kalau aku membiarkanmu mati, artinya aku sama saja dengan Varya. Aku tidak pernah diajarkan untuk membiarkan orang terdekatku mati."     

Lois membeku, kemudian mengembangkan senyumnya kembali, kali ini jauh lebih lebar. Kemudian, ia memeluk perut Lyra dari belakang. Lyra sedikit berjengit, hendak melepaskan diri. Namun, hati Lyra seolah berbisik untuk tak melakukannya.     

"Aku senang kamu berkata seperti itu. Itu artinya kamu ternyata masih menyayangiku, walaupun akhir-akhir ini sikapmu agak lebih dingin dari biasanya." Lois menyenderkan kepalanya ke bahu sang saudari. "Tapi, kalau tidak mau membiarkanku mati, apa yang akan kamu lakukan?"     

Desahan pelan keluar dari mulut Lyra. "Aku tidak tahu ...."     

"Untuk sekarang, aku akan selalu mengikuti langkahmu, Lyra. Aku sudah tidak peduli dengan keinginan tuanku."     

Tiba-tiba Lyra melepaskan tangan Lois dari perutnya. "Bagaimana kalau kamu menemaniku latihan sebentar. Sudah lama sekali kita tidak melakukannya."     

"Untuk sekedar menyegarkan pikiran? Boleh saja," jawab Lois. Sementara saudari angkatnya mengambil satu tongkat bambu dari sudut halaman belakang, Lois menyahut sapu ijuk yang tergeletak di situ. Lois mengamati sapu tersebut sambil sedikit manggut-manggut, kemudian mematahkan bagian ijuknya, membuatnya jadi tongkat pendek.     

Lyra memutar-mutar tongkatnya, lantas memasang kuda-kuda. "Aku tidak akan main-main. Kamu jangan sampai ngompol lagi, ya."     

"Huh! Sampai kapan kamu akan terus mengungkit hal itu." Lois mendengus, ikut bersiap dengan senjatanya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.