A Song of the Angels' Souls

151. Pemberi Harapan



151. Pemberi Harapan

0Entah sudah keberapa kalinya Rava menghela napas panjang. Pemuda itu berjongkok di halaman belakang, menyandarkan kepalanya dengan tangan. Lengannya bisa merasakan sensasi agak padat, kenyal, dan lembut.     
0

Lyra ikut berjongkok di samping Rava, memeluk tangan tuannya. Bidadari itu terus memandangi wajah Rava dengan saksama. Saking dekatnya wajah Lyra, Rava sampai bisa merasakan hembusan napas sang bidadari.     

Hari itu, Lyra seperti kucing. Dari bangun pagi sampai sekarang menjelang sore, Lyra tidak henti-hentinya menempel kepada Rava. Lyra terus memeluk tangan Rava, menyuapinya, sampai menunggu sang tuan keluar dari kamar mandi. Bahkan saat Rava ganti baju pun, Lyra nyaris ikut masuk kamar.     

Rava yang frustasi akhirnya bereksperimen dengan berjongkok di pelataran belakang itu, tanpa tujuan pasti. Dan lihatlah, Lyra masih saja menempel kepadanya.     

"Kamu nggak capek apa?" gumam Rava, enggan menatap bidadarinya itu.     

"Untukmu, aku tidak akan lelah, Rava."     

Hembusan udara dari desahan Lyra itu menggelitik pipi Rava. Rava sampai sedikit merinding dibuatnya.     

"Lyraaa! Bantuin Ibu sebentar, dong!" Seruan ibu Rava terdengar dari dapur.     

Decakan pelan meluncur dari mulut Lyra. Namun, bidadari itu tetap bangkit dan melepaskan pelukan tangannya. "Aku harus pergi dulu, Darling."     

Mulut Rava mengeluarkan racauan tak jelas. Dia yakin, sampai kapanpun, telinganya tak akan terbiasa dengan sebutan itu.     

Lyra berjalan pelan meninggalkan Rava. Sesekali, dia menoleh kepada tuannya itu. Baru ketika ibu Rava memanggilnya lagi, Lyra mempercepat langkahnya.     

Masih berjongkok, Rava menghela napas lega. Akhirnya, dia bisa bebas dan tidak merasa risih lagi. Ia pun bangkit, berniat untuk bersembunyi di kamar saja agar Lyra tidak terus menempel. Namun, dia keburu dihadang Lois yang tengah memegang kaleng minuman berwarna putih.     

Rava langsung menyipitkan mata untuk mengamati kaleng itu.     

"Tenang saja, ini susu, kok." Lois pun terkikik geli. "Akhirnya, aku punya kesempatan bicara denganmu. Ada hal yang ingin kutanyakan kepadamu, tetapi aku tidak bisa mengutarakannya kalau ada Lyra."     

"Ini semua pasti ulah kamu ya, sampai dia nempel terus kayak perangko," gerutu Rava, menggaruk rambutnya kesal.     

Lois terkikik kembali. "Tidak, justru aku penasaran mengapa dia seperti itu .... Aku tahu, dirimu dan Lyra tidak melakukan apa pun karena kamu .... Apa namanya .... Karena kamu cemen!"     

"Kamu yang gila. Nyuruh Lyra begituan sama aku," timpal Rava, makin jengkel.     

Kali ini Lois terbahak. "Tapi, ada sesuatu yang lebih penting dari itu sebenarnya. Lyra belum bercerita banyak ke aku, sih. Dia cuma bilang sudah mengungkapkan perasaannya kepadamu. Tapi yah, dari gerak-geriknya, bisa kusimpulkan kalau kamu menerimanya?"     

Dengan gerakan luar biasa kaku, Rava menoleh ke arah lain. Pertanyaan tak terduga seperti itu membuatnya salah tingkah.     

"Jadi, kamu menolak Lyra?" tanya Lois penuh selidik. Matanya mulai menatap tajam Rava.     

Rava menggeleng.     

Kini, kening Lois berkerut. "Kamu menerimanya?"     

Rava kembali menggeleng.     

Lois melongo. Matanya menyipit. Beberapa detik mematung, dia meremas kaleng minuman di tangannya dan melemparnya ke muka Rava.     

"Augh!!" Rava mengaduh sambil memegangi keningnya yang nyeri. Rambut dan mukanya basah oleh susu Ione. Pemuda itu sudah akan protes, tetapi Lois keburu menarik kerah bajunya.     

"Pantas saja, Lyra sudah begitu, tapi kamu tidak mau bermesra-mesra dengannya," geram Lois. Ia sudah akan membentak, tetapi memilih untuk menahan diri. Dia pun menurunkan kerah Rava. "Ini karena kamu belum bisa melupakan Kacia, ya? Kalau memang begitu, tolaklah Lyra dengan tegas. Kasihan Lyra juga kalau digantung begitu."     

"Aku cuma nggak mau menyakiti hati Lyra," desis Rava, kembali mengalihkan pandangannya dari Lois.     

Lagi-lagi Lois menarik kerah baju Rava. Bibir bidadari itu menyunggingkan senyum yang kelam, membuat Rava jadi merinding.     

"Tidak bisa begitu dong, Rava," gumam Lois dengan nada penuh penekanan. "Itu namanya memberikan harapan kepada Lyra. Lyra akan terus mengejarmu karena dia belum juga mendapat jawaban. Itu penyiksaan namanya. Sekarang, aku bertanya kepadamu, bagaimana perasaanmu kepada Lyra? Kamu harus menjawabnya dengan tegas, atau akan kusentil-sentil anumu sampai bengkak sebesar bola sepak."     

Rava makin merinding. Nada bicara Lois begitu meyakinkan. Rava merasa kalau bidadari itu benar-benar akan melakukannya.     

"I-itu .... Aku ...." Rava tercekat hebat, dia tidak bisa mengatakan secara tegas kalau dirinya tak ingin menjadi kekasih Lyra. Semuanya akan berubah kalau dia melakukannya. Mungkin, hubungannya dengan Lyra akan merenggang.     

Dia tak mau kalau hal itu terjadi.     

Melihat Rava yang tampak kebingungan, Lois melepaskan cengkramannya, menghela napas panjang. "Dasar, sebenarnya kamu menyukainya juga, kan?"     

"T-tapi, nanti kami harus b-berpisah, kan?" Rava kesulitan berbicara. Lidahnya seolah kelu.     

Lois mengusap wajahnya, kembali menghela napas. "Seperti kamu dan Kacia dulu, aku rasa Lyra ingin menghabiskan waktu yang tersisa bersamamu .... Aah, barangkali karena itulah, dia jadi sangat agresif. Dia ingin benar-benar memanfaatkan waktu yang ada dengan menjadi kekasihmu."     

Rava tersentak hebat. Ia pun menunduk. Matanya mulai panas dan berair.     

"Kenapa kamu malah menangis?" tanya Lois, menelengkan kepala untuk mengamati wajah Rava.     

Pemuda itu teringat Kacia. Ketika sedang menikmati kebersamaannya dengan Kacia, Rava justru kehilangan bidadarinya itu. Begitu cepat dan tidak terduga. Sampai saat ini pun, rasa sakit itu masih ada. Rava masih ingin melihat senyuman Kacia yang hangat dan menenangkan itu. Rava masih merindukan sang bidadari mungil.     

Kalau Lyra menjadi kekasihnya dan hilang, Rava tak tahu apakah hatinya masih bisa bertahan.     

"Rava kenapa? Kenapa dia menangis?" Tiba-tiba saja, suara Lyra terdengar dari pintu belakang. Lois dan Rava menoleh kepada bidadari itu. Dengan mulut sedikit terbuka, Lyra tampak membelalakkan matanya kepada Lois.     

Rava buru-buru menyeka air matanya dengan tangan. "Aku nggak kenapa-napa kok, Lyra."     

Untuk ketiga kalinya, Lois menghela napas. "Aku cuma sedang menasehati Rava ...."     

"Kenapa kamu membuat Ravaku menangis, Lois?" tanya Lyra, kemudian menundukkan kepala.     

"Eh?" Lois mengangkat sebelah alis.     

Tanpa diduga-duga, Lyra menerjang maju dan melancarkan bogem mentahnya. Lois langsung bergeser menghindar. Bogem Lyra pun menghantam tembok begitu keras, bahkan sampai membuatnya retak-retak.     

Rahang Rava turun maksimal. Dia sama sekali tidak menduga serangan Lyra itu. Lois pun sama saja, matanya melotot, tertuju kepada sang saudari angkat yang masih menunduk.     

"Berani-beraninya kamu membuat Ravaku bersedih, Lois," desis Lyra dengan nada yang begitu gelap, seperti keluar dari mulut seorang iblis.     

"Eeh!?" Lois mengerjapkan matanya. "Eeeeeh!? Kamu salah paham, Lyra! Aku tidak ...."     

Ucapan Lois terhenti karena Lyra menghadapna, tetapi dengan tubuh membungkuk dan kedua tangan terkulai ke bawah. Berjalan seperti zombie, ia menghampiri Lois. Lois pun perlahan mundur sambil meringis ketakutan.     

Rava cuma bisa melongo, belum bisa sepenuhnya memproses apa yang sebenarnya terjadi.     

"D-dengarkan aku dulu, Lyra. Aku ...." Lois tercekat saat melihat beberapa orang dari sudut matanya. Robin baru saja muncul di pintu belakang bersama dua orang. "Mireon?"     

Lyra pun mengangkat wajahnya dan ikut menoleh kepada bidadari itu. Mireon cuma balas memandang dengan ekspresi yang lagi-lagi datar.     

Janu yang sebenarnya ada di situ, tetapi tidak disebut, mengangkat bahu sambil mencibir. "Rava yang ngajak kita latihan bareng."     

"Kita harus bersatu dalam kondisi kayak gini," ucap Rava pelan.     

Lois melipat tangan di dada, memandang Mireon dengan senyum penuh arti. "Aku sih setuju saja, tapi kalau sampai dia macam-macam, aku jelas akan melakukan sesuatu."     

Mireon balas menatap Lois, tetapi ekspresinya masih saja datar.     

Lyra mengamati wajah tuannya. "Apa kamu sudah sehat dan bisa latihan, Darling?"     

"Jangan panggil aku begitu, deh," keluh Rava, membuang muka dengan wajah merona. "Aku udah baikan, kok."     

Janu pun melongo dan Robin tersenyum miring     

"Sayang, elu pas lagi nggak di sini buat jadi saksi kisah cinta mereka yang unik," celetuk Robin, menepuk pundak Janu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.