A Song of the Angels' Souls

152. Sesuatu Berwarna Merah Marun



152. Sesuatu Berwarna Merah Marun

0Rava begitu terengah-engah. Kakinya yang sedang berlari tampak sangat tidak stabil saat menjejak aspal. Keringatnya juga sangat banyak sampai begitu merembes di kaosnya.     
0

"Padahal, Lyra tadi tanya kondisi elu udah baik apa belum, Rav." Janu yang berlarl di depan sambil menenteng dua punching pad pun menoleh ke belakang, melihat ekspresi Rava yang seperti sedang menahan buang air besar. "Kalau masih nggak kuat, lebih baik jangan dipaksain."     

Saking lambatnya lari Rava, yang lain sampai mengurangi kecepatan untuk mengimbangi pemuda itu.     

"Sepertinya, ini bukan karena kondisinya yang belum pulih benar," timpal Lyra yang berlari menjejeri tuannya itu. Kali ini, dia memakai bra sesuai perintah tuannya, walapun baju yang dipilihnya masih tank top tipis dan hot pants. "Staminanya memang cuma segini."     

"Kalau begitu, semangati dia, dong," ledek Lois, terkikik geli.     

Wajah Lyra langsung merona. Ia sedikit menerawang ke atas, tampak berpikir. Kemudian, dia pun mulai bertepuk tangan dengan irama. Tanpa perubahan wajah yang berarti, ia pun mulai menyemangati tuannya, "Ayo .... Rava .... Semangat .... Rava ...."     

Mendengar nada penyemangat yang terdengar kaku itu, Lois pun tergelak. "Kan kamu pintar menyanyi, kok menyemangatinya begitu."     

"Wah, aku juga pengen disemangatin sama cewek secantik Lyra," ceplos Robin yang berlari di sebelah Janu. Sang aktor sudah memakai sarung tinju hitam milik tuan Mireon itu.     

Janu menoleh kepada Mireon yang berlari paling bontot. "Mireon, Lyra, kalian kakak adek, ya? Aku jarang ngelihat perubahan di ekspresi kalian."     

Kedua bidadari itu tak menatap Janu sama sekali. Janu pun mengangkat bahu sambil mencibir.     

Tiba-tiba Rava berhenti. Ia membungkuk dan memegangi lututnya. Mulutnya terbuka lebar untuk menggapai udara. "Sebentar .... Istirahat dulu .... Kita udah keliling kompleks lama banget."     

Janu berkacak pinggang. Napasnya belum terlalu putus-putus. "Masa begini aja udah nyerah? Kita belum jauh larinya, loh. Kalau nggak dipaksa buat naikin stamina, latihan bagaimanapun juga percuma."     

"Jangan terlalu memaksanya," tegas Lyra, mengusapi tengkuk Rava dan memberikan pandangan tajam kepada Janu.     

Tak gentar sama sekali, Janu balas memberikan tatapan yang tidak kalah tajam. "Ini kan demi Rava juga. Kamu ingin tuanmu bisa paling tidak menjaga diri sementara kamu bertarung, kan? Kita tidak tahu kapan bertemu Aiden lagi, kita tidak bisa bersantai-santai."     

Lyra sudah membuka mulut untuk membantah, tetapi dia justru menggigit bibirnya. Jelas sekali, bidadari itu sebenarnya setuju kepada Janu.     

"Well done, Mate." Robin menepuk pundak Janu, manggut-manggut pelan.     

"Aku juga setuju dengan perkataan Janu." Lois berdiri di antara Janu dan Lyra. "Tapi, aku rasa kita tidak bisa menggunakan cara biasa untuk Rava. Dia tidak pernah dilatih untuk bertarung."     

Lois pun membisikkan sesuatu kepada Lyra. Kening Lyra mengerut. Lois kemudian menarik Mireon untuk menjejerinya. Keduanya pun menutupi Lyra yang mulai melakukan sesuatu. Robin dan Janu saling bertukar pandang, sama-sama tidak mengerti apa yang sedang terjadi.     

Beberapa detik, Lyra keluar dari balik dua bidadari itu sambil memegang sesuatu yang berwarna merah marun. Seakan diarahkan oleh insting, mata Robin dan Janu langsung tertuju kepada dada Lyra, yang sekarang bergerak-gerak sesuai langkah bidadari itu, tidak seperti tadi yang lebih stabil walau dibawa lari Lyra.     

"Kalian melihat apa?" desis Lyra tajam.     

Robin dan Janu langsung mengalihkan pandangan. Bahkan Robin sampai bersiul-siul seperti burung.     

Lyra menjejeri Rava, menjuntaikan apa yang dipegangnya ke hadapan sang tuan. Rava yang masih membungkuk pun mengangkat wajah, langsung membelalak saat melihat benda tersebut, yang ternyata sebuah bra.     

Sang bidadari sedikit menyentuhkan dadanya kepada sang tuan.     

"Kalau larimu tidak kencang, aku akan membenamkan kepalamu ke dadaku," desah Lyra di telinga Rava.     

Rava berjengit hebat, langsung lari terkencing-kencing.     

"Heran, gue. Kenapa dia selalu begitu, sih? Kalau gue sih mau aja," celetuk Robin, melipat tangan di dada dan memerhatikan Rava yang makin menjauh.     

"Dasar mesum," gumam tiga bidadari serempak, mulai berlari menyusul Rava.     

Robin langsung tak bisa berkata-kata.     

***     

Janu terus memberikan instruksi kombinasi pukulan kepada Robin. Dengan menggunakan sarung tinju, Robin memukul dua punching pad yang dipakai Janu, sesuai dengan instruksi. Di sisi lain lapangan kecil dengan rumput yang kelihatan baru dicukur tersebut, Lyra dan Lois saling mengadu tongkat bambu. Lyra menggunakan tongkat panjang, sementara Lois memakai yang lebih pendek seukuran rapiernya.     

Sementara itu, Rava terkapar di dekat bangunan rumah tua yang jendelanya sudah rusak. Kakinya terasa begitu panas dan nyeri, napasnya belum pulih sepenuhnya, dan energinya seolah sudah tersedot habis. Tak jauh darinya, Mireon tengah berbaring dengan pose andalannya.     

"Cukup!" perintah Janu kepada Robin. "Kita istirahat dulu."     

Robin mengangguk, mulai mengatur napasnya. Para bidadari masih terus berlatih. Tongkat bambu yang mereka gunakan terus mengeluarkan suara ketika beradu.     

"Kayaknya Bang Robin ini pernah latihan beladiri? Gerakannya udah luwes," ucap Janu, membantu Robin melepaskan sarung tinju.     

Robin mengangkat bahu. "Aku nyewa pelatih muay thai, tapi nggak terlalu serius, sih. Belum lama juga latihannya. Buat variasi biar nggak fitness terus, gitu."     

"Bagaimana, apakah masih ada yang kurang?" tanya Herman, keluar dari dalam rumah reyot sambil membawa beberapa botol air mineral. Dia yang memang menyiapkan halaman belakang rumah kosong itu untuk latihan.     

"Cukup banget, Pak. Makasih banyak," jawab Janu, menerima satu botol air mineral.     

Meneguk minumannya, Robin mendatangi Rava, yang ternyata sudah memejamkan mata. "Yah, dia tidur."     

"Bangun, Rav. Kalau tidur sekarang, badan lu bakal kaku semua," ucap Janu, duduk di samping Rava.     

Rava membuka matanya, mengambil posisi duduk dengan gerakan seperti zombie. Ia pun menerima sebotol air dari Herman dengan mata yang tidak fokus.     

"Biar melek, lihat aja mereka," celetuk Robin, menunjuk kedua bidadari yang masih saja berlatih.     

Dengan kondisi seperti orang bangun tidur yang kesadarannya belum sempurna, Rava menyaksikan dua bidadari itu. Bukan seperti maksud Robin yang menyuruhnya melihat keindahan tubuh mereka, Rava malah benar-benar memerhatikan pertarungan kedua bidadari itu.     

Seperti biasa, gerakan Lyra begitu gemulai layaknya penari, tetapi serangannya tetap tajam mematikan. Manuver Lois memang lebih tegas, namun siapa pun yang melihatnya pasti tak akan berkata itu buruk. Masih ada keanggunan dalam gerakan Lois.     

Lois menangkis ayunan vertikal dari saudari angkatnya. "Istirahat dulu? Aku haus."     

Lyra mengangguk dan menurunkan senjatanya. Herman pun menghampiri dua bidadari itu sambil membawa botol air mineral yang tersisa.     

Kini, pandangan Rava tertuju kepada Lyra. Selama ini, Rava tak pernah memikirkannya. Dengan kondisi yang penuh keringat berkilau itu, Rava merasa Lyra justru semakin rupawan. Seolah-olah, aura Lyra lebih terpancar. Keringat itu juga menunjukkan kalau Lyra adalah wanita yang tangguh. Kalau tidak mau berkeringat, dia jelas bukan petarung.     

Menyadari pandangan itu, Lyra menoleh kepada tuannya. Ia memberikan senyuman yang begitu lebar. Kemudian, ia mulai meneguk minumannya.     

Otak Rava seolah macet seketika. Apa dirinya sedang berhalusinasi karena kecapekan setelah berlari? Lyra, bidadari yang biasanya bewajah sengak itu bisa tersenyum? Senyum itu juga begitu natural dan indah, sama sekali tidak terkesan dipaksakan. Rava sampai mencubit pipinya untuk membuktikan bahwa semua ini bukan mimpi. Sakit. Dia tidak bermimpi. Lyra barusan benar-benar tersenyum kepadanya.     

Interval degup jantung Rava pun melonjak sejadi-jadinya.     

"Ekspresi kamu kayak anak SMA yang lagi jatuh cinta," ceplos Robin yang baru duduk di samping Rava.     

Rava menoleh kepada Robin, belum bisa memproses sepenuhnya ucapan sang aktor.     

"Menurutku, perasaan suka kayak gitu bisa membuat diri kita lebih baik," celetuk Janu tiba-tiba, melirik Mireon yang sekarang tertidur. "Karena suka seseorang dan ingin ngedapetin dia, gue ini ngendaliin diri biar nggak terlalu bandel .... Yah, gue emang masih bandel .... Kadang mabuk juga .... Tapi, gue beneran ngejaga biar nggak terjerumus terlalu dalam. Gue nggak ngobat, apalagi ngelakuin hal kriminal, malak aja gue nggak pernah. Kenapa gue begitu? Karena .... Yah, gue berpikir dia nggak akan nerima gue kalau gue ini kebangetan mblangksaknya."     

Saat menoleh kepada Robin dan Rava, Janu mendapati dua temannya itu memandanginya dengan raut keheranan.     

"Brengsek! Gue ngomong apaan, sih!?" gerutu Janu.     

"Well, that's so deep, Man," timpal Robin, manggut-manggut pelan. "Sekarang, elu berhasil ngedapetin dia?"     

Janu menggeleng lemah, kembali melirik Mireon.     

"Apa yang elu maksud itu Mireon?" lanjut Robin.     

Janu kembali memberikan gelengan. "Bukan, tapi seseorang yang mirip dia."     

Robin menghela napas. Matanya menerawang ke langit sore yang sedikit berawan. "Gue lumayan setuju sama omongan elu. Perasaan kayak gitu bisa bikin kita jadi lebih baik. Tapi, kasus gue agak beda .... Bisa dibilang, gue ini nyari seseorang yang bisa bikin gue nyaman dan tenang .... Beberapa kali gue emang pernah ngedapetinnya .... Itu beneran bikin gue lebih baik. Gue bisa lebih tenang, bisa lebih bahagia. Punya seseorang yang marah buat elu, yang sedih buat elu, itu rasanya .... F*ck, bisa-bisanya kita malah ngomong dari hati ke hati begini kayak cewek?"     

"Entahlah, gue juga heran tadi ngomongin hal yang sentimentil," balas Janu, memangku pipinya dengan tangan.     

Meneguk minumannya banyak-banyak, Robin melanjutkan ucapannya. "Sebenarnya, yang mau gue omongin itu .... Barangkali perasaan kamu itu bisa membantu kamu melewati semua ini, Rav? Kita nggak tahu ke depannya gimana. Barangkali kamu akan menemui momen-momen yang berat lagi. Dengan bersama Lyra, kamu mungkin bisa lebih kuat? Dia bisa jadi penopang kamu."     

Rava kembali menatap kepada Lyra. Pipi Lyra sedang ditarik-tarik oleh Lois. Lois terus saja memaksa Lyra merentangkan senyum kembali.     

"Terus, ngomong-ngomong .... Kamu mau nyimpen itu, Rav?" tanya Robin, sedikit mencibir. "Yang begituan emang beberapa kali ketinggalan di tempatku, tapi nggak pernah kusimpen juga. Kesannya creepy, dan bisa bahaya kalau cewek gue yang selanjutnya nemuin."     

Kening Rava mengerut. Ia sama sekali tak mengerti arti racauan Robin. Janu pun menunjuk ke saku Rava dengan ekspresi datar.     

Rava menemukan sesuatu berwarna merah marun menyembul dari sakunya itu. Sepertinya terbuat dari kain dan ada tali penyambungnya juga.     

"Pertanyaannya adalah, kenapa Lyra lebih milih bh konvensional begitu, daripada bra sport buat olahraga?" celetuk Robin lagi.     

Perlu beberapa detik sampai Rava menyadari benda apa itu. Dia pun tak tahu harus melakukan apa.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.