A Song of the Angels' Souls

153. Tekad untuk Berjuang



153. Tekad untuk Berjuang

0Sejauh apa pun berjalan, Lyra hanya bisa melihat warna putih bersih. Ia tidak tahu di mana dirinya sekarang. Seingatnya, dia sedang berbaring di kasur, bersiap untuk terlelap sambil memikirkan Rava, bertanya-tanya mengapa tuannya itu belum menjawab perasaannya.     
0

"Kamu sungguh mencintainya, ya?"     

Lyra langsung menoleh ke belakang, menghadap ke sumber suara yang familier itu. Begitu melihat seseorang yang dikenalnya, ia tersentak. Orang itu yang begitu mirip dengan Lyra, walau fitur-fitur wajahnya agak berbeda dan rambut ikalnya lebih pendek.     

"Ibu?" desis Lyra tak percaya.     

Sang ibunda tersenyum hangat. "Pria bernama Rava itu begitu berarti untukmu, ya?"     

Mulut Lyra langsung membentuk senyum lebar. Bahkan Lyra sendiri tidak tahu mengapa dirinya bisa begitu. "Benar sekali, Bu. Dia itu pria yang hebat. Aku sangat mencintainya."     

"Aah, bahkan dia bisa membuatmu tersenyum, Lyra. Selama ini, kamu tidak pernah tersenyum sebelumnya. Ibu senang kamu bisa tersenyum. Senyummu sangat manis."     

"Tapi, pria itu juga membuatmu lupa, Kak." Kali ini terdengar suara dari samping Lyra. Suara itu juga terdengar begitu familier di telinga Lyra.     

Saat menoleh, Lyra mendapati seorang wanita yang juga mirip dengannya, tetapi dengan rambut hitam sebahu. Bersedekap, wanita itu memberikan tatapan tajam kepada Lyra.     

"Lupa? Lupa apa?" tanya Lyra kepada adik kandungnya itu.     

"Bagaimana dengan sumpahmu, Lyra?" Sekarang, Lyra mendengar suara ayahnya dari belakang.     

Lyra berbalik, langsung menemukan ayahandanya tersebut. Pria dengan kumis tipis dan rambut pendek itu tampak begitu lelah.     

"Aku tidak melupakannya, Ayah! Aku tetap berjuang demi kaum kita!" kilah Lyra kepada orang yang seharusnya telah tiada itu.     

"Kalau begitu, kenapa kamu tidak mau berpisah dengannya! Karena tidak ada tuan baru yang mau!? Itu alasan saja! Kalau berusaha, kamu pasti bisa menemukannya! Kalau perlu, kamu bisa memaksa tuan-tuan terdahulu untuk menjadi tuanmu!" hardik sang ayah sengit.     

"Dia sebenarnya tidak peduli dengan kaum kita, Yah. Dia tidak peduli dengan penderitaan orang-orang kita. Dia ingin bahagia sendiri dengan bersama pria itu," serang sang adik sinis.     

Lyra menggeleng-geleng keras. "Bukan begitu! Aku memang mencintainya, tetapi ...."     

"Tetapi cintamu lebih besar daripada tekad berjuangmu untuk kaum kita," bisik sang ibunda yang tiba-tiba berada begitu dekat dengan punggung Lyra. Lyra pun berjengit dan menjauh dari ibundanya itu.     

"Tidak! Bukan begitu! Aku akan terus berjuang!"     

Mendadak, urat-urat di wajah sang ibunda menegang hebat. Dia memandang putrinya itu dengan tatapan penuh kemurkaan. Tak pernah melihat ekspresi mengerikan seperti itu dari sang ibunda, Lyra pun mulai berjalan mundur.     

"Kalau begitu, kenapa kamu terbuai dengan perasaanmu itu!!! Kamu ingin tetap bertahan di bumi untuk hidup bersamanya, kan!!??" bentak sang ibunda dengan suara menggelegar.     

Melihat ibunya yang tampak kecewa itu, Lyra ingin menangis. Namun, matanya tidak kunjung panas, pandangannya tak mengabur, dan air matanya tak juga turun. Saat itulah dia tersadar kalau dirinya sedang bermimpi.     

Tidak mungkin ibunya semurka itu, kan?     

"Aku tidak akan tinggal bersamanya. Walaupun aku sangat mencintainya, aku dan dia hidup di dunia yang berbeda. Bila waktunya tiba, aku akan meninggalkannya," jawab Lyra tegas.     

"Kalaupun Kakak berhasil berpisah dengan pria itu, bagaimana dengan Lois? Apa kakak bisa membunuhnya? Kakak juga mencintainya, kan?" Sang adik tertawa sinis.     

"I-itu ...." Kali ini, Lyta tak bisa menjawab.     

"Ah, sepertinya rasa cinta Kakak kepada Lois dan pria itu lebih besar daripada cinta Kakak kepada kami, keluarga Kakak sendiri. Yah, memang tidak enak sih, tinggal bersama keluarga yang selalu disudutkan. Lebih enak dan nyaman tinggal bersama dengan keluarga Lois yang kaya raya dan punya kedudukan," lanjut sang adik, tertawa lagi.     

Lyra berlutut dan memegangi kepalanya, masih tak bisa membantah perkataan adiknya itu.     

"Di bumi, kamu cuma main-main, Lyra," ujar sang ayah, tahu-tahu sudah berdiri di hadapan Lyra. "Kamu hanya memikirkan kebahagiaan diri sendiri. Mau kaum kita diperlakukan tidak adil, terus mendapatkan kekerasan fisik dan mental, kamu tidak akan pernah peduli. Yah, apa yang bisa diharapkan dari kamu? Kamu dari dulu jarang bersosialisasi dengan orang-orang di kaum kita, bahkan tersenyum kepada mereka pun tidak pernah. Kamu tidak punya ikatan batin dengan mereka. Mereka hanyalah orang-orang asing bagimu."     

"Bukan begitu, Yah!" seru Lyra, mengangkat wajahnya. Ia terhenyak saat menyadari ketiga anggota keluarganya itu entah sejak kapan ada di depannya, memandangi dirinya dengan raut murka yang tak terkira, seolah keberadaannya adalah sesuatu yang hina.     

"Kamu berharap tidak dilahirkan di kaum bermata Amber dan Hazel, kan?" imbuh sang adik dingin.     

Ibu Rava mendelik lebar-lebar. "Bahkan mungkin kamu tidak suka telah dilahirkan dari rahimku, kan?"     

Lyra menggeleng-geleng kembali. Air matanya memang sudah turun, tetapi dia tak bisa merasakannya sama sekali. Mulutnya yang sudah membuka itu tak kunjung mengeluarkan sepatah kata pun.     

Perlahan-lahan, muncul sosok-sosok lain di belakang ketiga anggota keluarga Lyra itu. Dari anak-anak, remaja, dewasa, orang-orang lanjut usia, bahkan sampai bayi kecil yang digendong ibunya, mereka memandang Lyra dengan ekspresi murka yang terlukis jelas.     

Mereka memandang Lyra dengan mata berwarna amber dan hazel.     

Lyra pun bangkit, berlari kabur dari orang-orang yang bermuka seperti iblis itu. Ia bisa mendengar derap cepat dari orang-orang tersebut. Ya, mereka mengejar.     

"Pembohong!"     

"Kamu bukan bagian dari kaum kami!"     

"Egois! Kamu tidak memikirkan kehidupan orang banyak!"     

Umpatan-umpatan seperti itu terus terdengar bersahut-sahutan. Lyra sama sekali tidak menoleh ke belakang. Ia terlalu takut untuk melakukannya.     

Lyra terus berlari, meski tak tahu harus ke mana. Yang terhampar di hadapannya hanyalah warna putih bersih.     

Sampai akhirnya salah satu orang di kaumnya itu berhasil menangkap pundak Lyra. Sedetik kemudian, ada yang menangkap kakinya, membuat bidadari itu terjatuh. Dalam waktu singkat, tangan-tangan mereka pun mulai menjamah tubuhnya dari berbagai arah.     

"Tidaaaaaaakkkkk!!!"     

***     

Lyra tersentak hebat dari tidurnya. Ia langsung memeriksa keadaan sekitar dengan napas liar. Begitu menyadari kalau dirinya sudah berada di kamar tempatnya biasa terlelap, bidadari itu pun menghela napas lega.     

Mimpi.     

Menyeka peluhnya yang turun deras, bidadari itu bangkit berdiri, menoleh kepada Lois yang terlelap di samping kirinya. Entah sejak kapan saudari angkatnya itu sudah tak memakai busana. Kaos, bra, serta celana dalam, semua itu berserakan di sekeliling Lois. Padahal, ibu Rava sudah mewanti-wanti agar Lois tetap berbusana saat tidur, supaya kejadian waktu itu—ketika Lois mendatangi Rava dengan bertelanjang bulat—tidak terjadi lagi.     

Lyra lalu menengok kepada ibu Rava yang tidur di samping kirinya. Lyra kembali teringat kepada sosok ibunya yang ada di mimpi. Seperti ibu Rava, ibu Lyra juga lembut dan rasanya tak akan mungkin memajang wajah murka yang sangat mengerikan.     

Lyra menelan ludah. Benarkah begitu? Dia sudah lama tak bertemu ibunya. Apakah beliau masih bisa bersabar hidup dalam penderitaan seperti itu? Dari dulu, Lyra tahu, beliau selalu menyembunyikan kepedihannya di depan dirinya dan sang adik.     

Bukan tidak mungkin kalau sekarang semuanya berubah. Ibu Lyra sudah tak tahan lagi. Beliau sudah lelah menunggu Lyra membawa kabar gembira.     

Bidadari itu menyeka setetes air matanya yang turun, kemudian berjalan keluar dari kamar.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.