A Song of the Angels' Souls

154. Bidadari Itu



154. Bidadari Itu

0Pandangan Rava terus terhujam ke langit-langit kamarnya. Senyum Lyra terus melintas di kepalanya. Ucapan Janu dan Robin pun terngiang-ngiang di telinganya. Semua itu membuatnya tidak bisa terlelap.     
0

Degup jantungnya juga tak kunjung turun.     

Benarkah, dengan bersama Lyra, dirinya akan lebih mudah melalui semua ini? Benarkah keberadaan Lyra adalah sesuatu yang dibutuhkannya?     

Rava tidak tahu.     

Pemuda itu sedikit membenarkan posisi berbaringnya yang terasa tak nyaman. Ia mengingat kembali saat-saat dirinya bertemu dengan bidadari pertamanya tersebut. Rava baru pernah melihat wanita serupawan itu secara langsung dalam hidupnya. Dengan hidung mancung dan kulit putih mulus khas orang eropa, tetapi garis-garis wajahnya begitu halus layaknya orang asia. Rava yakin dirinya tak akan melupakan wajah itu seumur hidupnya.     

Hal lain yang tak akan mungkin dilupakan Rava adalah kelakuan Lyra yang tidak punya akal sehat dalam berpakaian. Bagaimana bisa wanita secantik Lyra tidak malu memakai baju menerawang yang memperlihatkan detail asetnya, juga tidak risih mengenakan celana super pendek yang mempertunjukkan paha mulusnya?     

Bahkan bidadari itu tidak suka memakai bawahan, tak peduli kalau celana dalamnya kelihatan.     

Wajah Rava mulai diserang panas. Kelihatannya, adegan-adegan seksi yang melibatkan dirinya dengan Lyra juga tak akan pernah hilang dari memorinya. Ya, dirinya memang selalu menghindar karena semua itu membuatnya salah tingkah dan memicu jantungnya berdegup liar. Ia juga tidak mau jadi orang mesum yang selalu ngiler melihat kondisi-kondisi seksi Lyra.     

Namun, pada akhirnya, dia adalah seorang lelaki, terkadang mengingat-ngingat adegan-adegan itu di saat-saat tertentu.     

Dan tentu saja, berbicara tentang Lyra bukanlah mengenai fisiknya saja. Bukan tentang wajah rupawan dan tubuh aduhai belaka. Lyra lebih dari itu. Di balik ekspresi keras sang bidadari, Rava tahu ada sesuatu yang lebih. Lyra itu seseorang yang tangguh. Seorang petarung yang punya determinasi tinggi untuk terus berjuang. Entah sudah berapa kali dia keluar dari situasi-situasi yang sulit.     

Ya, bidadari yang lain juga tangguh. Akan tetapi, yang pertama kali Rava lihat memiliki nilai-nilai itu adalah Lyra. Dari dulu, Rava sangat mengagumi bidadarinya itu.     

Kemudian, Rava tahu kalau Lyra begitu perhatian padanya. Kalau tidak, Lyra sudah benar-benar pergi dari dulu. Dia akan berusaha maksimal mencari tuan yang lain.     

Belum lagi setelah Lyra mengungkapkan perasaannya, bidadari itu makin mempertunjukkan perhatiannya. Namun, Rava justru menghindarinya dengan berbagai macam alasan di pikirannya. Padahal, Rava tak bisa memungkiri, mempunyai orang yang begitu perhatian seperti Lyra jelas membuatnya bahagia bukan kepalang.     

Kenapa bidadari itu begitu getol menempel padanya? Apakah seperti kata Lois? Karena waktu Lyra di bumi cepat atau lambat akan berakhir, sehingga bidadari itu ingin segera menjadi kekasih Rava? Mungkinkah bidadari itu memang ingin menjalin memori-memori indah bersama Rava sebelum kembali ke dunianya?     

Rava mengangkat tubuhnya, duduk besender ke dinding. Ataukah ada satu hal yang lebih simpel, lebih sederhana?     

Karena Lyra mencintainya?     

Demi apa bidadari serupawan dan setangguh itu mencintai dirinya yang bukan siapa-siapa ini? Namun, sekeras apa pun Rava menyangkal, tanda-tandanya sudah terlalu jelas. Bahkan Lyra sudah berinisiatif mengecup bibirnya.     

Rava mengusap wajahnya. Kalau Lyra memang mencintainya, berarti dirinya telah berbuat jahat dengan menggantung perasaan bidadarinya itu.     

Seperti yang pernah dikatakannya kepada Lois, Rava takut Lyra menghilang dari sisinya saat dirinya sedang mencintai bidadari itu sepenuh hati. Rasanya terlalu sakit. Namun, di saat yang sama, Rava pun merasakan sakit karena memendam perasaannya, seperti dulu ketika Rava memendam perasaannya dari Kacia.     

Pemuda itu memejamkan matanya, mulai menarik panas pelan.     

Sayup-sayup terdengar dendangan pelan dari bagian belakang rumah. Meski sama sekali tak tahu arti dendangan itu, Rava merasakan tubuh dan hatinya bergetar hebat. Dia sudah beberapa kali mendengar dendangan Lyra, tetapi kali berbeda. Seperti ada aura mistis yang membuatnya terlena. Terlalu indah, seolah dendangan itu berasal dari surga untuk memberkahi siapa pun yang mendengarnya.     

Pemuda bangkit dari kasurnya, berjalan pelan keluar dari kamarnya. Saat melangkah menuju sumber suara yang luar biasa indah itu, Rava sengaja tidak mempercepat langkahnya. Ia tahu, kalau dirinya terlalu cepat bertemu Lyra, maka dendangan itu akan berhenti.     

Rava masih ingin mendengar dendangan itu. Sayangnya, Lyra justru berhenti menyanyikannya, tepat ketika jarak Rava dan pintu belakang tinggal beberapa meter.     

Rava pun keluar dari pintu belakang itu, langsung menemukan Lyra yang berdiri membelakanginya. Bidadari itu hanya mengenakan kaus lengan pendek dan tentu saja bagian bawahnya hanya tertutupi celana dalam, kali ini berwarna putih bersih. Alih-alih protes atau panik, Rava cuma tertawa kecil, teringat momen-momen saat dirinya mendapati Lyra seperti itu. Momen-momen yang kalau dipikir sangatlah lucu.     

Lyra menoleh kepada tuannya itu, mendesah lirih, "Rava."     

"Nyanyian kamu selalu indah." Rava tak mengerti. Mengapa dirinya bisa berbicara lancar, padahal jantungnya sudah berdegup sangat liar? "Kali ini, lagunya nyeritain tentang apa?"     

Bidadari itu kembali menghadapkan wajahnya ke depan. "Tentang dua kekasih yang saling mencintai dan hidup bahagia sampai akhir hayat."     

Tersenyum lembut, Rava mendekati bidadarinya itu. Tubuhnya seperti bergerak otomatis. Bahkan dia takjub sendiri saat dirinya mengalungkan kedua tangannya ke perut Lyra dari belakang, sekaligus mendaratkan bagian samping wajahnya ke punggung bidadarinya itu. Rava langsung bisa merasakan kehangatan yang menenangkan dari tubuh Lyra.     

Rava memejamkan matanya. "Kalau dibanding aku, kamu ini tinggi banget, ya? Tinggiku cuma sampai pundakmu lebih sedikit aja. Di bumi, kamu pasti bakal laris jadi model."     

"Kenapa di saat seperti ini kamu membicarakan sesuatu yang bodoh?" decak Lyra, kemudian menggenggam erat kedua tangan Rava yang ada di perutnya. "Setelah olahraga berat tadi sore, seharusnya kamu istirahat, bukannya begadang seperti ini. Memangnya kamu tidak capek?"     

"Nyanyian kamu bikin capekku hilang," kekeh Rava, makin senang karena merasakan kehangatan Lyra di tangannya. "Ngomong-ngomong, aku ngerasa perut kamu lumayan keras dan agak menonjol-nonjol, gitu. Kamu six-pack, ya? Aku nggak tahu karena nggak merhatiin, ternyata kamu kekar juga, ya."     

Rava makin tak mengerti, mengapa candaan yang memalukan seperti itu bisa keluar dengan mudah dari mulutnya? Mungkinkah dia sudah merasa begitu nyaman dengan Lyra?     

Lyra mendesah pelan. "Padahal, kamu sudah melihatku telanjang bulat."     

Rava terkekeh dan mempererat pelukannya di tubuh Lyra. "Maafin aku yang udah ngebuat kamu nunggu jawabanku, Lyra. Meski nggak sampai akhir hayat, aku ingin bahagia sama kamu, seperti dua orang di nyanyian kamu tadi."     

Cukup lama Lyra membisu. Rava sampai mengangkat wajahnya untuk bertanya, tetapi bidadari itu akhirnya menjawab, "Kamu tidak sesuai dengan bayanganku saat menyampaikan perasaanmu, Rava. Kukira, kamu bakalan gugup setengah mati. Ternyata, kamu bisa romantis juga. Ada angin apa sampai kamu keluar dari karaktermu yang biasa begini?"     

Terkekeh lagi, Rava mengecup pelan pundak Lyra. "Kamu juga akhir-akhir ini berperilaku di luar karakter kamu, Lyra."     

"Itu karena aku benar-benar ingin mendapat perhatian kamu ...." Lyra tercekat hebat, kembali membisu untuk beberapa saat, sebelum akhirnya mendesis dingin. "Tapi, sebaiknya lupakan semua itu, Rava. Lupakan perkataanku malam itu. Sekarang, aku hanya akan menganggap kamu tuanku, tidak lebih."     

"Eh?" Mendengar jawaban mengejutkan tersebut, Rava merasa isi perutnya seperti dibetot keluar.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.