A Song of the Angels' Souls

157. Tekad yang Berbeda



157. Tekad yang Berbeda

0Sejak pertama kali bertemu Mireon, Janu tak pernah melihat mulut bidadari itu membuka selebar ini. Mata Mireon—yang anehnya tetap terlihat tak bersemangat seperti biasanya—tertuju kepada sepasang jerapah yang ada di kandang besar sebuah kebun binatang. Sebenarnya, tempat para binatang berleher panjang itu bernaung tidak bisa disebut kandang, tetapi lebih terlihat seperti padang rumput nan luas, dihiasi beberapa pohon, dengan pagar pembatas besi dan parit besar sebagai pembatas bagi para panjang.     
0

"Aku tidak pernah melihat binatang dengan leher sepanjang itu," celetuk Mireon. Janu bisa melihat pancaran antusias dari mata sang bidadari, tetapi itu hanya sekilas saja. Benar-benar sekilas.     

Janu sedikit terkekeh. "Memangnya, binatang di tempatmu seperti apa ...."     

"Aku ingin menaiki binatang itu," potong Mireon, jelas sekali tak memedulikan pertanyaan Janu.     

"Kita nggak diperbolehkan ...."     

"Aku ingin menaikinya," sela Mireon lagi.     

"Nggak boleh, Mireon."     

Sempat tercenung, Mireon pun menundukkan kepalanya, lantas berjalan meninggalkan tempat itu. Janu melongo, tentu saja tak menduga kalau sang bidadari akan terpukul seperti itu. Otaknya berpikir cepat. Dia ingin menghibur Mireon agar tidak terlalu bosan di rumahnya terus. Suasana pagi itu cukup sejuk karena matahari agak tertutup awan. Kondisinya sangat tepat untuk jalan-jalan. Orang yang mengunjungi kebun binatang itu pun tidak terlalu banyak lantaran hari ini bukan akhir pekan. Jadi mereka bisa leluasa menikmati pemandangan binatang-binatang yang ada.     

Janu tidak mau semua ini rusak gara-gara hal sepele.     

"Mir, kamu tunggu di sini sebentar, ya. Aku mau ke belakang dulu," ujar Janu.     

Dengan ekspresi datarnya, Mireon menoleh kepada tuannya dan menggangguk pelan, kemudian menempati sebuah kursi kayu panjang di bawah sebuah pohon rimbun. Alih-alih pergi ke toilet seperti ucapannya kepada Mireon, Janu malah berjalan cepat sambil menengok ke sana ke mari. Tak berapa lama, dia melihat apa yang dicarinya: sebuah kios suvenir.     

Janu mendatangi kios itu dan langsung bertanya tentang boneka jerapah. Ia sedikit meringis saat sang penjaga kios menyodorkan boneka yang dimaksud, sekaligus menyebutkan harganya. Bagi Janu, harga itu kemahalan untuk sebuah boneka. Namun, dia tetap mengeluarkan dompet untuk membayarnya. Mau bagaimana lagi, suvenir di tempat seperti itu pasti mahal.     

"Ah, nggak usah pake kresek, Mbak," ucap Janu setelah menerima kembalian, lantas membawa boneka itu pergi. Ia memandangi kaos yang digunakan boneka jerapah itu. Warnanya coklat kusam dan nama kebun binatang yang tertera di situ terlalu kontras. Jelek sekali.     

Janu mempercepat langkahnya saat akan sampai di kursi panjang yang diduduki Mireon. Sang bidadari tak menunjukkan perubahan ekspresi berarti saat mukanya disodori boneka itu.     

"Ini buat kamu. Kalau ini, kamu bebas naikkin sesuka hati," canda Janu.     

Mireon menerima boneka itu dan mengamatinya. Lagi-lagi Janu bisa melihat kilatan cahaya antusias di mata sang bidadari, walau itu pun cuma sekejap saja. Meski begitu, Janu yakin dirinya sudah bisa mengobati kekecewaan sang bidadari.     

"Terimakasih," ucap Mireon lirih, bangkit dari kursinya, kembali melangkah, kali ini dengan memeluk erat boneka jerapahnya. Janu menganggap gestur Mireon itu sebagai ajakan agar dirinya dan sang bidadari melanjutkan jalan-jalan.     

Mereka berdua terus melangkah, sesekali berhenti untuk melihat-lihat binatang yang ada. Memang hampir tidak ada kata yang keluar dari mulut keduanya, tetapi Janu tetap menikmatinya. Pemuda itu sendiri tidak tahu mengapa dirinya sangat menyukai saat-saat bersama sosok bidadari ini.     

Saking senangnya, Janu sampai sedikit bersiul. Mireon cuma melirik tuannya itu sekilas, tetapi tidak menanggapi apa pun.     

Beberapa menit berlalu, akhirnya mereka tiba di area burung-burung berbagai tanda.     

"Dari tadi, ada yang mengawasi kita," desis Mireon.     

"Eh?" Janu langsung mengernyitkan dahi dan mengedarkan pandangan. Ia pun memergoki seorang perempuan yang baru saja memotretnya dengan ponsel. Perempuan itu buru-buru bersembunyi di balik sebuah pohon besar.     

"Katamu dia mengawasi kita dari tadi kan, Mir? Kenapa baru bilang sekarang?" desah Janu.     

"Karena aku merasa dia bukanlah ancaman, dan aku baru kepikiran, barangkali dia memang tidak berbahaya, tetapi bakal tetap mengganggumu" timpal Mireon, sama sekali tak menoleh ke arah sang penguntit.     

Mengangkat bahu, Janu pun mendatangi pohon tempat sang penguntit bersembunyi. Di balik pohon itu, Janu menemukan seorang perempuan muda dengan rambut ikal yang dicat kemerahan. Perempuan tersebut sedang berjongkok sambil menggunakan ponsel. Tangannya begitu cepat mengetikkan sesuatu.     

Janu tahu siapa perempuan itu. Dia adalah rekan kerja Tina—wanita yang dulu begitu dipuja Janu itu—di kantor notaris.     

"Kamu teman Tina, kan?" ceplos Janu, membuat perempuan itu terhenyak hebat. "Sebelum nyebarin gosip yang enggak-enggak ke grup, lebih baik kamu hubungi Tina dulu, deh."     

Mengerjap-ngerjapkan matanya, perempuan itu menatap Janu, masih dengan berjongkok. "Eh?"     

"Dia Mireon, mukanya aja yang mirip sama Tina." Janu menunjuk bidadarinya yang masih mematung.     

Mata perempuan itu menyipit, ekspresinya menunjukkan keraguan. Namun, dia tetap menghubungi Tina. Dia kembali terhenyak saat temannya itu mengangkat teleponnya. Bahkan dia sampai melotot saat melihat Mireon yang mendekatinya tidak menempelkan ponsel ke telinga.     

"Aah, Tina, gimana kabar!?" Perempuan itu cengengesan, kemudian pergi begitu saja sambil terus menempelkan ponsel ke telinga, tak melihat Janu sama sekali.     

"Minta maaf, kek," desah Janu, tetapi memilih untuk tak memedulikan perlakuan tidak sopan dari perempuan itu. Dia sudah biasa dibegitukan sejak dulu. Bahkan sejak zaman SMP.     

Mireon juga kembali melangkah, sama-sama tidak memberikan sepatah kata pun. Janu menguntit di belakangnya, merasakan sesuatu yang mengganjal di hatinya. Kejadian tadi membuatnya tersadar. Sepertinya, dia belum bisa melupakan Tina. Alam bawah sadarnya menyamakan Mireon dengan Tina, hanya karena sosok mereka bagai pinang dibelah dua. Maka dari itu, Janu menikmati jalan-jalan yang sunyi ini.     

Janu ingin memukuli dirinya sendiri yang menurutnya begitu menjijikkan.     

"Ah." Tiba-tiba, Mireon menghentikan langkahnya.     

"Ada apa ...." Janu tercekat hebat. Beberapa meter di hadapannya, telah berdiri sosok wanita berambut merah yang tergerai, menatap Mireon dengan pandangan setajam pisau.     

Ione ada di sana, didampingi dengan Marcel. Hampir bersamaan, kedua bidadari itu mengaktifkan senjata dan baju tempur masing-masing, membuat manusia-manusia yang ada di situ membeku. Dari mulai para pengunjung, sampai petugas kebersihan. Semuanya benar-benar tak bergerak satu senti pun.     

"Ini pasti gara-gara Piv ngomong sembarangan lagi," gerutu Janu, mulai mengeluarkan ponselnya. "Dia itu suka ngebuat pertarungan ...."     

Ctasss!!!     

Tentu saja Ione tidak membiarkan Janu menggunakan ponselnya. Mireon sudah bereaksi untuk menangkis cambuk cahaya Ione yang bergerak cepat ke arah Janu. Namun, cambuk tersebut justru memendek. Ione pun bergeser dan kembali memanjangkan cambuknya. Kali ini, dia berhasil menyabet ponsel Janu sampai terpelanting tinggi.     

Janu cuma bisa meringis saat ponselnya hancur lebur begitu mendarat di hamparan paving jalan.     

Mireon menyodorkan boneka jerapahnya kepada sang tuan, lalu memasang kuda-kuda siap bertarung.     

Meremas boneka yang tadi dibelinya itu, Janu menelan ludah. Sepertinya, Ione tak sadar kalau dirinya memencet sebuah alat kecil di saku celana pendeknya. Kalaupun tahu, Ione tak bisa melakukan apa pun.     

Sekarang, Janu cuma bisa mengawasi pertarungan yang akan terjadi, sekaligus menunggu bantuan datang.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.