A Song of the Angels' Souls

158. Tekad yang Berbeda 2



158. Tekad yang Berbeda 2

0Rava keluar dari kamarnya sambil menguap lebar. Dia merasa baru membaringkan tubuhnya untuk terlelap dan tahu-tahu waktu sudah menjelang siang. Kejadian tadi malam benar-benar membuatnya sulit tertidur.     
0

Saat akan pergi ke kamar kecil, pemuda itu tercenung. Matanya tertuju kepada Lois yang berbaring di sofa ruang tengah. Pundak, sebagian dada, dan nyaris keseluruhan paha mulus sang bidadari tampak terbuka. Hanya sebagian tubuhnya yang terlindungi selimut.     

Rava menelan ludah. Kemungkinan besar, di balik selimut itu, Lois tak mengenakan apa pun lagi.     

Lois menggeliat dan Rava pun buru-buru pergi ke tujuan asalnya: kamar mandi. Setelah buang air kecil, ia kembali ke ruang tengah, mendapati Lois sudah meringkuk di sofa sambil mengerudungkan selimut ke tubuhnya.     

"Selamat pagi, Rava," sapa Lois, menguap begitu lebar.     

Rava menggaruk rambutnya yang sangat berantakan. "Kenapa kamu tidur di sini, Lois?"     

"Yah, setelah apa yang terjadi, semuanya tidak akan sama lagi," desah Lois, tersenyum getir. "Tadi malam, aku menyampaikan perasaanku kepada Lyra, Rav."     

Otak Rava tak bisa memproses kata-kata terakhir dari Lois. Seolah-olah, kalimat Lois tersebut menggunakan bahasa asing. Mengungkapkan perasaan? Lois? Kepada Lyra? Apa maksudnya?     

Melihat Rava yang cuma bisa melongo, Lois melebarkan senyum getirnya. "Aku menciumnya."     

Rava masih tercenung. Ya, dia memang terkejut karena pengakuan itu, tetapi ada rasa lain yang menggelegak di hatinya, memicu interval degup jantungnya merangkak naik. Dia tak rela bibir Lyra berciuman dengan yang lain, walaupun itu dengan sesama perempuan sekalipun. Rava merasa hanya dirinya yang berhak mengecup bibir Lyra. Seakan-akan, Lyra miliknya seorang.     

Namun, Rava segera teringat. Lyra sudah menolaknya. Bukan urusannya lagi Lyra ingin bersama siapa.     

"Aah." Akhirnya hanya gumaman itu yang bisa keluar dari mulut Rava.     

Sekarang, Lois tertawa masam. "Kamu cemburu? Aku yang lebih duluan cemburu melihat kamu dan Lyra. Apalagi saat Lyra getol sekali mengejarmu."     

"Tapi, kamu kelihatannya ...." Rava tak bisa melanjutkan ucapannya.     

Mulut Lois mengeluarkan hembusan napas panjang. "Kamu penasaran, kenapa aku justru seperti mendorong Lyra untuk mengungkapkan perasaannya kepadamu? Yah, sudah jelas yang disukai Lyra itu kamu, bukan aku. Aku cuma ingin dia bahagia."     

Sekarang Rava membisu, tak tahu harus menanggapi seperti apa lagi.     

Tiba-tiba, ponsel Lois yang ada di meja menderingkan nada khusus. Tak cuma kepunyaan Lois, tetapi juga ponsel Rava yang ada di kamar. Bahkan milik Robin dan Lyra juga bersuara. Rava pun bergegas mengambil ponselnya tersebut.     

"Ini sinyal dari Janu," ucap Lois dengan nada serius, sudah mengamati ponselnya.     

Berjalan kembali ke ruang tengah, Rava menelan ludah, memerhatikan titik merah dengan nama Janu yang berkelap-kelip di layar ponselnya. Titik tersebut berada di sebuah peta jalanan yang kurang familier bagi Rava. "Ini jaraknya lumayan jauh .... Di kebun binatang."     

Robin keluar dari kamarnya dengan mata yang masih agak kuyu karena kantuk. Ia pun mengangkat ponselnya. "Ini berarti Janu berhasil mencet alat yang dibagiin pak Herman, kan?"     

Beberapa hari yang lalu, Herman memang membagikan alat kecil berbentuk seperti pulpen pendek dengan tombol di tengah. Benda itu berfungsi untuk mengirimkan sinyal darurat ke aplikasi di ponsel masing-masing.     

Pandangan Rava tertuju ke pintu kamar Lyra. Ponsel Lyra masih saja berdering, tanda Lyra belum membuka aplikasi pelacak itu. Lois pun bangkit dari sofa sembari melindungi tubuhnya dengan selimut, kemudian mengetuk pintu kamar saudari angkatnya itu.     

"Lyra, kami akan menyelamatkan Mireon dan Janu. Kamu mau ikut atau tidak?" tanya Lois dengan nada lembut. Dering ponsel Lyra pun mati, tetapi bidadari itu tak kunjung menjawab, bahkan sampai hitungan menit.     

Rava terus menatap pintu kamar bidadarinya itu. Ia bertanya-tanya, apakah ini yang dirasakan orang lain saat mentalnya hancur dan dia mengurung diri di kamar? Rava ingin menyelamatkan Lyra, menyembuhkan luka bidadarinya itu, tetapi dia sendiri tak tahu caranya.     

Lois menempelkan keningnya ke pintu kamar saudari angkatnya tersebut. "Kami tidak bisa membuang waktu, Lyra. Aku terpaksa pergi dengan Rava seorang kalau kamu tidak mau ikut."     

Ponsel Lyra masih berdering.     

***     

"Sebelum kita bertarung, bolehkah aku bertanya sesuatu, Ione?" Mireon sedikit menurunkan kapak yang dipegangnya.     

Ione yang belum memasang kuda-kuda pun sedikit menarik napas. "Sebenarnya percuma saya kamu bertanya. Pada akhirnya, kamu akan mati. Tapi baiklah, aku akan melayani pertanyaanmu."     

"Bagaimana bisa kamu punya determinasi tinggi untuk membunuh? Tujuan kita mirip. Kita bertarung demi kekasih kita. Tapi, kenapa aku tidak bisa seperti kamu? Kenapa aku masih ragu untuk mencabut nyawa manusia?"     

Senyum getir terbentuk di mulut Ione. "Aku tidak tahu. Mungkin kamu memang dibuat untuk tidak bisa membunuh."     

Tubuh Mireon sedikit mengedik.     

"Sepertinya dugaanku benar. Kamu ini makhluk buatan yang diciptakan oleh Adonis Speriades." Ione mulai berjalan pelan mendekati musuhnya itu. "Kamu pasti penasaran kenapa aku bisa tahu. Mudah saja, tubuh orang biasa tidak bisa menerima eksperimen peningkatan potensi, sementara tubuhmu bisa dan dirimu punya hubungan dengan profesor Adonis. Namun, itu belum bisa kusimpulkan secara pasti. Perubahan ekspresimu tadi yang mempertegasnya."     

Mendengar hal yang begitu di luar nalar itu, Janu cuma bisa melongo. Mireon adalah makhluk buatan? Apa maksudnya ini?     

"Kamu ingin mengacaukan konsentrasiku dengan membuka hal itu, ya?" sahut Mireon, tentunya dengan ekpresi yang tidak memperlihatkan perubahan berarti.     

Ione berhenti melangkah, mengangkat bahu. "Kan, kamu sendiri yang tadi bertanya."     

"Sayang sekali, hal itu bukanlah aib atau apa pun yang bisa mengganggu pikiranku. Aku cuma belum menceritakannya kepada yang lain." Mireon lalu melirik tuannya. "Dan untuk sekedar informasi saja, Janu. Aku dibuat dengan meniru seseorang di bumi ini. Kemungkinan besar dari wanita bernama Tina itu."     

"Eh?" Kepala Janu seperti mau pecah. Ia makin tidak mengerti pembicaraan para bidadari itu.     

"Seharusnya kamu berpura-pura saja hal itu sebagai aibmu, Mireon. Supaya aku lengah dan mengira kamu tidak dalam kondisi terbaik," lanjut Ione, tersenyum getir. "Tapi, yah. Orang sepertimu yang jarang bicara pasti kesulitan membuat topik lain untuk mengulur waktu, kan? Maka dari itu, kamu melanjutkan topik ini."     

Janu langsung berjengit hebat. Secara refleks dia memegang sakunya, tempat alat penyampai sinyal darurat itu bersemayam.     

"Ah, di sana kamu menyembunyikan alat untuk memanggil yang lain ya, Janu!?" Ione sedikit berteriak kepada tuan Mireon itu.     

Janu seketika menyadari kesalahannya.     

Mireon menelan ludah. "Kalau tahu aku mengulur waktu, kenapa kamu tidak segera menghabisiku saja dan malah meladeni ucapanku?"     

"Aku ingin memberikan pesan kepada kalian, kepada Lyra, Lois dan Rava juga. Strategi apa pun yang kalian buat, mau dengan mengulur waktu atau yang lainnya, semua itu tidak akan menghalangiku sama sekali." Tiba-tiba Ione melesat dan tahu-tahu sudah ada di depan Mireon.     

Mireon sampai terpelanting begitu Ione menyodok keras dagunya dengan seruling. Baru juga tubuhnya mendarat di hamparan paving jalan, Mireon berguling untuk menghindari sabetan cambuk cahaya dari sang musuh.     

Belum bangkit sepenuhnya, Mireon harus menghindari cambukan-cambukan yang datang beruntun. Tubuhnya beberapa kali terkena serangan cambuk itu.     

Sampai akhirnya, Mireon berhasil menempelkan ujung bawah kapaknya ke leher, bersiap menggesek senjatanya itu layaknya biola.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.