A Song of the Angels' Souls

160. Padang Merah



160. Padang Merah

0"Ingat, waktu kita cuma beberapa menit saja, Rava," kata Lois, berlari dan menggelasar di kemiringan bukit pasir itu dengan menggunakan kedua kakinya.     
0

Ione melecutkan cambuk cahayanya. Lois berguling ke samping untuk menghindar. Namun, kali ini dia tak sendirian. Ada sosok Lois lain yang baru muncul dan berguling ke arah yang berbeda. Dua sosok Lois itu pun berlari memutar, menerjang Ione dari arah yang berbeda.     

Melihat dua sosok itu sekilas, Ione melecutkan cambuknya lagi. Cambuk itu langsung menjerat leher salah satu sosok Lois dengan kencang, langsung memaksanya tersungkur, membuat pedangnya terlepas dari tangan. Cambuk Ione pun memendek cepat, membuat sosok itu terseret di pasir. Si sosok berusaha melepaskan jeratan di lehernya itu, tetapi percuma saja.     

Sosok Lois kedua melancarkan kombinasi tusukan rapier ke tubuh Ione. Ione pun menghindari setiap tusukan yang datang, masih dengan cambuknya yang menjerat leher sosok Lois pertama. Karena Ione tak bisa fokus kepada cambuknya, sosok Lois pertama akhirnya bisa melepaskan diri, langsung bangkit dan berlari mengambil rapiernya.     

Ione melompat-lompat mundur untuk menjaga jarak, menyabet-nyabetkan cambuknya dengan liar untuk menghalau dua sosok Lois yang kini berlari menerjangnya itu. Kedua sosok itu pun kembali memutar, hendak menyergap Ione dari arah yang berbeda kembali.     

Kali ini, Ione memilih untuk melenyapkan cambuknya. Ia langsung meladeni dua serangan itu dengan menghindar dan menangkis, sesekali berhasil menghantamkan serulingnya ke bagian-bagian tubuh kedua musuhnya tersebut.     

Akan tetapi, sehebat apa pun Ione bisa mengimbangi kedua bidadari itu, ia tak bisa mengubah fakta kalau dirinya bertarung tanpa tuan. Sebentar saja, napasnya sudah mulai ngos-ngosan. Gerakannya melambat dan dirinya menjadi sasaran empuk untuk kedua musuhnya. Beberapa kali, tusukan dua sosok Lois itu berhasil menyerempet bagian-bagian tubuhnya.     

Dan lagi, tanpa tuan, energi pelindung Ione lebih cepat terkikis. Hanya sebentar saja, sosok Lois pertama sudah berhasil memberikan luka gores tipis ke pipi Ione, menerbangkan tetesan-tetesan darah ke udara.     

Ione menjatuhkan serulingnya begitu saja.     

Sosok Lois kedua melesatkan pedangnya ke dada kiri Ione. Namun, Ione berhasil menangkap pedang itu, meski dirinya harus membayar dengan telapak tangan yang berdarah. Sempat tersentak, sosok Lois pertama gantian menyerang, tetapi pedangnya pun bisa ditangkap Ione.     

"Arggghhh!!!" Wajah Ione berubah bengis. Ia menendang keras perut sosok Lois pertama sampai terjungkal, sekaligus melepaskan pedangnya. Kemudian, ia menarik pedang sosok Lois kedua. Sosok itu pun terhentak ke depan dan harus pasrah kepalanya berbenturan keras dengan kening Ione.     

Meski dahinya berdarah, Ione tetap berhasil mempertahankan keseimbangannya, sementara sosok Lois kedua terhuyung ke belakang.     

Ione melemparkan kedua pedang yang ada di tangannya itu ke atas. Tidak terlalu tinggi, sehingga dia bisa menangkap pegangan dua senjata itu dengan cepat. Setelah itu, ia menerjang maju, menusukkan kedua pedang itu ke perut si sosok kedua.     

"Arrrgggghhh!!!" Ione terus berlari sampai sosok Lois kedua itu terangkat.     

Kemudian, mereka pun terjatuh di hamparan pasir. Sosok Lois kedua terkapar sambil memegangi perutnya. Tubuhnya memang belum terluka karena masih diselimuti energi pelindung, tetapi serangan Ione tadi cukup berdampak kepadanya.     

Mereka bangkit hampir bersamaan. Ione pun menggunakan kedua rapier Lois untuk melancarkan sabetan-sabetan ke tubuh musuhnya. Namun, itu hanya bertahan sebentar. Ione menyadari sesuatu. Ada yang salah.     

Mengapa sosok Lois yang pertama tidak menyerangnya?     

Sosok Lois kedua yang sedang dilawan Ione pun lenyap. Ione pun segera menengok ke arah Lois pertama tadi berada, langsung mendapati sosok Lois pertama itu sudah melompat ke bukit tempat Rava berdiri.     

Tahu dirinya tak akan sempat menyusul, Ione melepaskan kedua pedang Lois dari tangannya yang berdarah, hanya mengamati musuhnya itu menyahut tubuh Rava dan langsung menghilang begitu saja.     

Pemandangan di sekeliling Ione pun berubah seperti sedia kala. Dia sudah kembali ke kebun binatang tempatnya berada tadi.     

"Kamu dari mana aja!?" tanya Marcel, tergopoh-gopoh menghampiri bidadarinya itu. "Kamu tiba-tiba ngilang gitu aja .... Tanganmu kenapa!?"     

Menarik napas, Ione mengamati tangannya yang makin menetes-neteskan darah. Kemudian, matanya pun lagi-lagi bergerak untuk mengamati keadaan sekitar. Dia sudah tak menemukan Mireon, Janu, Lois, atau Rava di mana pun.     

"Aku dibawa oleh Lois ke suatu tempat. Sepertinya, dia berhasil membuka kunci kekuatan yang baru," desah Ione, sediki menggelengkan kepala. "Ini benar-benar di luar perhitunganku. Aku tidak pernah melihat kekuatan seperti itu."     

Marcel mengamati lengannya yang penuh dengan tanda berwarna-warni. Ia tak bisa menemukan tanda berwarna hitam di sana. "Kayaknya, kita juga nggak berhasil ngambil kekuatan Mireon."     

"Kemungkinannya bertahan hidup sangatlah kecul," ungkap Ione, berjalan untuk memungut serulingnya yang tergeletak tak jauh dari situ. "Sayang memang, tapi mau bagaimana lagi?"     

***     

Rava langsung merangsek masuk ke salah satu kamar di rumah kontrakannya. Di sana, dia mendapati Mireon yang berbaring di kasur dengan mata terpejam, napas berat, serta keringat dingin membasahi sekujur tubuh. Di sekelilingnya, ada Lyra, Robin, serta Janu yang duduk di lantai.     

"Bagaimana dengan ione?" tanya Lyra, yang tadi akhirnya memutuskan untuk ikut dengan saudari angkatnya itu.     

Lois menggaruk rambutnya gusar. "Aku tidak bisa berbuat banyak. Dia masih hebat meski sudah kumasukkan ke dimensi buatanku dan terpaksa bertarung tanpa tuan. Yah, rencanaku memang cuma mengulur waktu, sih. Tapi, itu tetap membuatku frustasi juga."     

Rava berlutut di samping Janu, yang terus memandang Mireon dengan raut penuh kesedihan. Rava memang belum terlalu lama mengenal Mireon, tetapi tetap saja pemuda itu merasakan jantungnya seperti sedang diremas keras-keras.     

Para bidadari akan terus bertarung, meski nyawa mereka menjadi taruhannya.     

"Nyawanya tidak akan bertahan lama," celetuk satu sosok Piv, tahu-tahu mendarat di dekat kepala Mireon. "Energi kehidupan di tubuhnya hampir terkuras habis. Pemulihan dengan transfer energi kehidupan dari tuannya tidak akan bisa membantu."     

Degup jantung Rava melonjak kembali. Kepalanya mulai menggeleng-geleng pelan. Ia tidak suka arah pembicaraan Piv.     

"Adonis ...," lirih Mireon, yang masih belum tersadar. Matanya mulai meneteskan cairan bening.     

Janu pun memejamkan matanya, sedikit menarik napas.     

"Kami masih bisa menyembuhkannya, Janu. Asal kamu mau mengorbankan sesuatu yang paling berharga dari dirimu," terang Piv akhirnya.     

Serta-merta, Rava bangkit berdiri. "Nggak! Jangan dengerin omongannya, Mas! Dia cuma mau ...."     

"Bisa diem dulu nggak, Rav?" sela Janu dengan nada tajam dan sedingin es. "Ini urusan gue, bukan elu."     

Rava tercekat. Ia ingin membantah, tetapi melihat tatapan mata Janu yang penuh determinasi, pemuda itu tak kuasa membuka mulutnya lagi     

Janu menghadap Piv, sedikit mengedikkan dagunya, bertanya dengan nada penuh penekanan. "Apa yang bisa gue korbanin?"     

Piv melompat ke kepala Janu. Janu pun memejamkan kepalanya dan menunggu. Rava sudah ingin menghalau sosok itu dari kepala Janu. Namun, sekeliling tubuh Janu kini dibentengi oleh semacam energi pelindung berwarna kuning transparan.     

Adegan saat Stefan mengorbankan matanya demi Ione pun muncul di kepala Rava. Waktu itu, tubuh Stefan juga dilindungi energi pelindung yang sama persis.     

"Sesuatu yang bisa kamu korbankan adalah sesuatu yang membuatmu menjadi manusia yang lebih baik, Janu. Sesuatu yang membuat dirimu bisa menjaga diri untuk tidak terperosok lebih dalam," ungkap Piv, memicu Rava membelalakkan matanya. "Perasaan yang tersimpan dalam hatimu itu sangatlah berharga untukmu."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.