A Song of the Angels' Souls

161. Transparan



161. Transparan

0Rava menggeleng-gelengkan kepalanya dengan gerakan luar biasa kaku. Setiap sel di tubuhnya seolah dialiri dengan listrik. Omongan Piv barusan seperti petir yang menyambar kepalanya.     
0

Hal seperti ini tidak boleh terjadi lagi.     

"Jangan, Mas," desis Rava pelan, menundukkan kepalanya. "Nanti Mas bakalan menderita setelah kehilangan hal yang paling berharga itu."     

Membuka matanya, Janu menelan ludah. Samasekali tak melihat Rava, dia berbicara, "Justru rasa ini yang bikin menderita, Rav. Bahkan sampai sekarang pun, aku masih ngebayangin diri gue bersama Tina. Elu nggak tahu rasanya pengen move on selama bertahun-tahun, tapi nggak bisa-bisa. Udah kayak penyakit yang nggak bisa disembuhin. Gue rasanya mau jadi gila gara-gara itu .... Makanya, ada kesempatan kayak gini, gue nggak bisa menyia-nyiakannya."     

"Tapi, bukannya Mas bilang, rasa itu yang bisa membuat diri Mas jadi lebih baik," lanjut Rava, menunduk semakin dalam.     

Tak menjawab, Janu memejamkan mata. Rava cuma mengepalkan tangannya begitu erat. Dia tahu, melemparkan argumen apa pun, Janu tak akan mendengarkan. Keputusan Janu sudah begitu bulat.     

"Lagian, gue mblangksak kayak gimana juga nggak ada yang peduli. Waktu berusaha jadi rada baik juga nggak ada yang peduli. Waktu jadi atlet dan juara, pada akhirnya juga semua itu terlupakan. Kehidupan gue nggak berubah. Nyari kerja masih susah, padahal udah punya sertifikat juara satu." lanjut Janu. Giginya sudah bergemeretak. "Mau kayak gimana juga, gue nggak ada apa-apanya di mata masyarakat. Cuma temen-temen gue yang pada mblangksak itu yang bener-bener peduli .... Yah, paling nggak, dengan nyelametin nyawa Mireon, gue ini ada gunanya."     

Robin dan bidadari memandang Janu lekat-lekat, tetapi tak memberikan tanggapan apa-apa. Rava mengangkat kepalanya. Mulutnya sudah membuka, tetapi kerongkongannya seolah tersumbat sesuatu, membuatnya tak bisa berucap.     

Ternyata, pria berpenampilan preman seperti Janu punya kehidupan yang kompleks. Rava tak pernah menyadari hal itu.     

"Jadi, kamu akan melakukannya?" tanya Piv yang masih bertengger di kepala Janu.     

"Sebelumnya ...." Janu sedikit berdehem. "Gue minta tolong ke elu buat jadi tuan Mireon setelah ini, Rav. Gue nggak tahu bakal jadi apa setelah ini. Bisa aja gue jadi lebih .... Yah, intinya begitu, lah. Gue nggak bakal ikut campur lagi sama semua ini."     

Rava masih tak bisa berucap. Padahal, ia tahu dirinya harus melakukan sesuatu. Setelah tidak punya cahaya yang mengarahkan jalan hidupnya, apakah Janu akan tetap seperti sekarang?     

"Gue siap, lakuin sekarang," desis Janu, memejamkan matanya.     

Lois berjalan mendekati pelindung energi berwarna kuning transparan yang menyelubungi Janu layaknya balon udara.     

"Kami minta maaf karena selama ini terkesan tidak memedulikan kamu, tidak memikirkan perasaan kamu, Janu," ucap Lois.     

Janu tertawa getir. "Yah, gue sih udah biasa dibegituin. Mungkin ini kesalahan gue juga. Usaha gue masih kurang buat menjadi sesuatu di mata orang lain."     

Sementara itu, Rava masih menunduk.     

***     

Janu sudah pergi sedari tadi, Mireon sudah 'dipindahkan' oleh Piv, Rava terduduk di lantai beton halaman belakang, menyenderkan punggung ke tembok, dan sedikit mendongak untuk menatap langit yang mulai mendung.     

Lyra pun datang dan duduk di sebelah tuannya itu, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.     

"Aku sedikit banyak bisa ngerti apa yang Janu rasakan, walaupun kasusnya beda. Aku ini bukanlah seseorang yang 'normal' di mata masyarakat, Lyra. Aku ini jarang main, sukanya ngurung diri di kamar, dan nggak pernah bersosialisasi dengan sekitar. Ya, aku emang kadang jadi omongan tetangga, tapi pada akhirnya hanya sedikit yang peduli sama aku. Seolah aku ini bukan bagian dari masyarakat," gumam Rava lirih. "Tapi, bukan berarti aku menyalahkan mereka. Ini semua salahku, karena nggak berusaha mendobrak semua itu.     

Sang bidadari sedikit mendekatkan diri kepada sang tuan. Merasakan tubuh Lyra sedikit menempel kepada dirinya, Rava tak bereaksi apa-apa. Degup jantungnya memang melonjak sekilas, pikirannya langsung melayang ke hal-hal absurd yang pernah Lyra lakukan padanya. Namun, karena ternyata Lyra tak melakukan apa pun, Rava tidak jadi panik.     

Barangkali, dirinya sudah terbiasa kalau cuma seperti ini.     

"Aku pun bisa mengerti, Rava. Suatu hari, aku dipaksa untuk datang ke semacam acara desa. Orang-orang berkumpul di sana. Kedua orangtuaku dan adikku banyak mengobrol dengan pengunjung. Sementara itu, aku cuma terdiam di sudut. Aku tidak bisa membuka pembicaraan dan tak ada yang mengajakku bicara," balas Lyra pelan. "Waktu itu, aku benar-benar ingin kabur saja dari sana."     

Janu menarik napas begitu panjang dan meregangkan tubuhnya. "Jangan ngomongin yang begituan dulu, deh. Malah jadi sedih rasanya .... Lebih baik, kita ngomongin sesuatu yang lebih penting."     

"Memangnya, apa yang lebih penting?"     

"Bagaimana dengan kita?"     

Mulut Lyra langsung mengatup rapat. Rava pun menunggu dengan harap-harap cemas. Namun, bahkan sampai hitungan menit, Lyra masih terdiam. Bahkan menatap tuannya itu pun tidak dia lakukan. Merasa tak mungkin mendapat jawaban, akhirnya Rava menarik napas, memilih untuk pasrah.     

Mungkin, setelah apa yang terjadi, tidak ada lagi harapan baginya.     

Akan tetapi, tiba-tiba Lyra menarik kepala Rava. Dua detik kemudian, Rava mendapati pipinya sudah mendarat ke paha mulus bidadarinya itu. Rava yang terkejut bukan main sudah akan bangkit, tetapi Lyra menahan kepalanya di sana.     

Seperti biasa, wajah Rava merasakan panas dan interval degup jantungnya mulai naik. Dia sudah akan protes, tetapi dia berpikir tidak ada salahnya menggunakan paha Lyra sebagai bantal. Selain empuk, bidadari itu yang menarik kepalanya duluan dan dirinya merasa nyaman.     

Barangkali, dia lebih baik menganggap semua ini sebagai anugerah, seperti kata Lois.     

Dengan tangan gemetar karena tanpa sebab jelas dia jadi merasa antusias, Rava mengelus pelan paha Lyra. Pemuda itu merasakan kelembutan yang menghangatkan dan menyenangkan. Sensasi itu tak akan bisa dia dapatkan dari kain sutra dengan kualitas terbaik sekalipun.     

"Jadi, bisa dikatakan, kita udah jadi baik-baik aja, kan?" tanya Rava, masih saja mengusapi kulit bidadari itu.     

Karena Rava sudah tidak melawan, Lyra mengangkat tangannya dari kepala tuannya itu. "Menurutmu?"     

"Menurutku begitu." Rava mengembangkan senyum samar. "Aku sudah lelah mikirin ini-itu Lyra. Mungkin, lebih baik kita biarkan ini semua mengalir dulu. Kita nikmati saja momen-mone yang ada."     

"Aku setuju." Lyra mulai mengusap lembut kepala sang tuan.     

Rava membetulkan posisi tubuhnya agar lebih nyaman. Angin sepoi-sepoi yang datang membuat kelopak matanya menjadi berat. Ia pun memejamkan matanya. Menit-menit pun berlalu, mulut Rava mulai mengeluarkan dengkuran halus.     

"Lyra! Aku butuh ...." Lois yang baru muncul di pintu belakang pun langsung menutup mulutnya melihat adegan itu.     

Lyra menempelkan jari telunjuknya ke mulut. "Stttt ...."     

Tersenyum jahil, Lois bukannya pergi, tetapi malah mendatangi saudari angkatnya itu dan berjongkok di hadapannya.     

Baru saja Lois membuka mulut untuk meledek, Lyra keburu mencolok kedua matanya.     

"Jangan ganggu kami, kamu pergi saja sana. Pamerkan tubuhmu kepada Robin atau bagaimana, terserah. Hush .... Hush ...," usir Lyra dengan suara berbisik.     

Rava pun menggeliat, mengubah posisi tubuhnya. Sekarang wajah pemuda itu menghadap bagian yang ada di bawah perut Lyra. Bahkan jarak hidung Rava dengan bagian itu tinggal beberapa milimeter.     

Mengerjap-ngerjapkan matanya yang perih, Lois tersenyum jahil kembali. "Pasti wangi."     

Dengan pipi mulai merona, Lyra mencoba mencolok mata Lois lagi, tetapi saudari angkatnya itu keburu kabur.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.