A Song of the Angels' Souls

162. Mereka yang Terkuat



162. Mereka yang Terkuat

0Deru generator diesel terdengar meraung-raung di luar. Diterangi lampu-lampu studio yang terhubung dengan generator itu, Aiden mengaitkan sebuah organ manusia ke sebuah pengait daging yang tergantung. Di bekas gudang penyimpanan daging itu, dia sudah menggantungkan berbagai macam organ manusia yang masih menetes-neteskan itu.     
0

Tak hanya organ tubuh manusia berbagai jenis yang digantung Aiden. Pria itu juga menggantungkan bidadarinya yang tak memakai selembar benang pun. Ya, kaki Zita terkulai tak menapak lantai, punggungnya dipasangi dua besi pengait yang tajam. Besi yang tergantung menggunakan rantai itu menembus kulitnya mulusnya, membuat luka yang mengucurkan darah segar.     

Akan tetapi, bidadari itu tidak berteriak kesakitan. Air matanya memang mengalir, tetapi wajahnya merona merah dan menunjukkan ekspresi terangsang. Bahkan air liurnya sampai menetes-netes. Posisi yang seharusnya menyakitkan itu seolah sangat dinikmatinya.     

"Aku sangat mencintaimu, Aiden ...," desah bidadari itu. Napasnya begitu berat.     

Aiden terkesan tak peduli. Ia tengah sibuk memfoto 'karya seninya' dari berbagai sudut. Kali ini dia tidak menggunakan ponsel lagi, tetapi kamera profesional terbaik. Beberapa kali dia tersenyum miring saat memotret atau memeriksa foto di kameranya.     

"Aiden .... Aku sudah tidak sabar .... Hal hebat apa yang akan kamu lakukan kepadaku?" Zita kembali mendesah dengan napas yang semakin berat.     

"Aah, maaf. Aku terlalu asyik dengan ini." Aiden melebarkan senyum miringnya, kemudian berjalan ke salah satu sudut bangunan. Di sana, dia menarik semacam alat berbentuk kotak yang dihiasi jarum pengukur, beberapa tombol, dan sebuah tuas. Alat itu dipasangi beberapa kabel. Salah satunya begitu panjang dan menyambung ke stop kontak. Beberapa lainnya mempunyai ujung yang dipasangi penjepit logam yang besar-besar dan bergerigi.     

Setelah alat itu cukup dekat dengan Zita, Aiden mulai memasangkan penjepit-penjepit itu ke tubuh Zita. Mata Zita selalu berkedut dan mulutnya meringis ketika kulitnya seperti dicubit keras oleh penjepit-penjepit tersebut, terutama di bagian yang sensitif, seperti ketiak, pinggang, dan kedua buah dadanya.     

Tersenyum miring kembali, Aiden menunjukkan dua pasak besi besar yang juga tersambung ke alat. Zita menelan ludah saat melihat benda berwarna mengilat itu. Dia sudah bisa menebak benda-benda tersebut akan dimasukkan ke mana. Dia tentu tidak akan merasakan kenyamanan.     

Kendati demikian, Zita tidak menolaknya. Bagaimanapun, pada akhirnya dia akan mendapatkan kenikmatan tak terkira.     

Aiden menyentuhkan salah satu pasak logam ke luka kaitan di punggung Zita. Zita berjengit cukup keras sampai rantai yang menggantungkan pengait itu bergemerincing. Aiden lalu mengusapkan ujung pasak itu ke punggung Zita, sampai akhirnya sampai ke bagian tengah bokong bidadari itu.     

"Aku tidak merekomendasikan untuk melukainya terlalu parah," ceplos Piv, muncul tiba-tiba di dekat kaki Aiden.     

"Kalau monster, aku tidak peduli, Piv." Aiden mengangkat bahu dan berjongkok, melakukan apa yang sudah direncanakannya. Zita meringis kesakitan dan matanya melotot saat Aiden mulai memasukkan dengan pasak itu ke lubang yang terletak di bagian belakang bawah tubuhnya. Pasak itu terlalu keras dan besar, sehingga Aiden butuh usaha lebih. "Aku sedang bersenang-senang, jangan ganggu aku."     

"Ini bukan monster, tetapi bidadari," terang Piv. "Tapi, sebelum menyampaikan pesan, aku ingin memberitahu kalau Varya sudah dibangkitkan."     

Mata Zita langsung berbinar. Senyum sumringah langsung menghiasi wajahnya. Seolah-olah, semua pengait, pencapit, dan pasak yang terpasang di badannya itu tidak menyakitkan.     

Aiden menghentikan kegiatannya. Pasak itu baru masuk setengah. "Wah, kamu pasti senang, Zita. Aku sangat menantikan pertarungan kalian, walaupun sebenarnya aku agak cemburu karena kamu mencintai yang lain.     

"Sayangnya, dia sudah dibunuh Ione," lanjut Piv.     

Zita tercenung. Perlahan, kedua ujung bibirnya turun. Matanya sudah dihiasi cairan bening kembali. Kemudian, dia berteriak keras sambil terisak-isak bak anak kecil. "Arggggghhhh!!! Ini tidak adil! Aku sangat merindukan Varya."     

Kedua kaki Zita berkelojotan liar, membuat rantai pengait di tubuhnya terus bergemerincing. Tak memedulikan hal itu, Aiden mendatangi Piv.     

"Coba kutebak, kedatanganmu ke sini untuk merencanakan 'pesta' untuk Ione dan Zita, kan?" tanya Aiden, lagi-lagi tersenyum miring. "Kalau benar, kapan mereka akan dipertemukan?"     

"Besok malam."     

Zita berhenti mengelojotkan kakinya. Ekspresi bengis tergambar di wajahnya. Matanya nyalang menatap Piv. "Aku akan membunuhnya ...."     

Aiden melirik bidadarinya itu dan melebarkan senyumnya. "Aah, ini pasti akan sangat menarik, sayang."     

***     

Sudah beberapa menit berlalu setelah Piv mengabarkan berita itu, tetapi Marcel dan Ione yang menempati sofa yang berhadapan tak kunjung buka suara. William yang berdiri di dekat jendela dan memandangi langit gelap tanpa bintang juga tak berbicara sama sekali.     

Sampai akhirnya, William berucap, "Yah, cepat atau lambat kalian memang harus melawan pasangan sinting itu."     

"Mungkin aku harus membawa senjata api?" timpal Marcel.     

"Ayah setuju, tetapi itu tidak cukup. Belum tentu kamu bisa langsung membunuh Aiden ketika berhadapan dengannya. Kemampuannya itu jauh di atas rata-rata manusia biasa." William berbalik dan menggelengkan kepalanya. "Sayang sekali, aku tidak bisa mengirimkan bodyguard untuk melindungimu."     

Tentu saja, manusia biasa yang bukan merupakan tuan akan membeku begitu memasuki arena pertarungan.     

"Bahkan penjagaan bidadari lain juga bukan jaminan." Marcel memijati kepalanya.     

Menatap tuannya, Ione sedikit menelengkan kepala. "Kamu berpikir untuk menjalin kerjasama sementara dengan mereka, Marcel?"     

Marcel menggeleng pelan, kemudian membuang muka.     

William berbalik untuk menghadap jendela kembali. Bersedekap, ia memejamkan matanya. "Aku punya rencana. Yah, semoga aku bisa menyiapkannya besok."     

"Tenang saja, aku pasti akan bisa menghabisi mereka," desis Ione dengan nada penuh penekanan. "Setelah membunuh Zita, aku juga akan melakukan sesuatu kepada Aiden."     

***     

Di rumah kontrakan Rava pun, para penghuninya yang duduk di ruang tengah tak berkata apa-apa setelah mendengar pengumuman Piv.     

"Kenapa kamu memberitahukan kami juga?" tanya Lois akhirnya.     

"Untuk mencegah kalian ikut campur, kalau misalnya kalian tidak sengaja mengetahui pertarungan itu. Kalau ada yang ikut campur, kalian akan mendapat hukuman yang berat," timpal Piv yang berdiri di meja ruang tengah.     

Lois berdecak kesal. "Huh, lagi-lagi membuat aturan mendadak."     

"Yah, mau bagaimanapun, kita nggak akan bisa terlibat. Kekuatan kita masih kurang," ucap Robin, menyenderkan punggungnya di sandaran sofa. "Semoga saja yang menang Ione. Paling nggak, dia nggak mungkin bunuh-bunuhin orang yang nggak bersalah."     

Rava mengusap wajahnya dan memilih untuk diam. Apa yang dikatakannya tidak akan menambah apa pun. Tak ada solusi yang bisa dicari. Pertarungan antara Ione dan Zita ini justru menguntungkan mereka. Paling tidak, nantinya hanya satu orang kuat yang bertahan.     

Dan sama seperti Robin, Rava juga mengharapkan Ione yang menang.     

Melihat wajah tegang Rava, Lyra pun menggenggam erat tangan tuannya itu. Merasakan kehangatan yang seolah mengalir ke hatinya, Rava menoleh kepada sang bidadari. Rava memberikan senyum sebagai isyarat kalau dirinya baik-baik saja. Lyra pun balas tersenyum dan itu membuat hati Rava terasa seperti makin diisi dengan kehangatan.     

Melihat adegan itu, Lois juga menyunggingkan senyum samar.     

"Kalau mau, kalian bisa melihat pertarungan mereka nanti. Tinggal panggil saja namaku, aku pasti akan muncul," tutup Piv.     

"Artinya, kamu akan berada di sini sampai besok, kan?" dengus Lois, terlihat makin kesal. "Semoga saja aku tidak melihat wajahmu setiap saat."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.