A Song of the Angels' Souls

165. Para Pendendam 3



165. Para Pendendam 3

0Sekuat apa pun keinginannya keluar dari kendaraan untuk memeriksa bangunan yang terbakar itu, Marcel tak bisa melakukannya. Selain karena Aiden, nyeri di kepalanya benar-benar sudah tak tertahankan lagi. Ia sampai mati-matian membuka matanya, yang terasa begitu berat. Kedua tangan dan kakinya makin bergetar. Ia tak yakin bisa berdiri dengan baik kalau turun dari kendaraan itu.     
0

Beberapa saat berlalu, dilatar belakangi oleh lidah api yang makin membakar, Zita dan Ione sempoyongan berjalan ke luar restoran dengan pakaian yang penuh dengan noda hitam karena terbakar. Tak hanya itu, tubuh keduanya juga dihiasi luka bakar di sana-sini. Bahkan asap tipis juga tampak sedikit menguar dari bidadari-bidadari itu.     

Ione yang berada di belakang Zita pun berlari dan mengayunkan palu besarnya untuk yang kesekian kali. "Arggghhh!!!"     

Dang!     

Zita bisa berbalik dan menangkis serangan itu dengan perisainya, yang langsung bergetar hebat. Namun, saking kuatnya pukulan palu itu, dia sampai terhuyung-huyung ke belakang dan jatuh terduduk.     

Bukannya melanjutkan serangan, Ione malah menggunakan perisainya untuk alat bantu berdiri. Sekujur tubuhnya seperti disundut sesuatu yang panas, sendi-sendinya seolah mengeras, dan napasnya benar-benar habis karena terlalu banyak menghirup asap dari kebakaran. Ia ingin berbaring saja, melupakan pertarungan ini untuk beristirahat.     

Ione pun menanamkan kepada dirinya sendiri, musuhnya pun pasti mengalami hal yang sama. Maka, dia memaksakan diri untuk mengayunkan palunya kembali, kali ini secara horizontal, kepada Zita yang masih terduduk.     

Namun, Zita bisa menangkap palu itu dan menariknya keras-keras, memaksa ione jatuh tersungkur di atas tubuhnya.     

Terjadilah pergumulan sengit. Pertarungan mereka jadi lebih terlihat seperti berandalan, daripada bidadari. Mereka berguling-guling di aspal, saling memukul, menjambak, menghantamkan kening kepada sang lawan, bahkan Ione sampai mencolok kedua mata musuhnya itu dengan jarinya.     

Sampai akhirnya, Ione berhasil berdiri sambil menarik kerah baju kuat-kuat. Ione pun mengangkat tubuh musuhnya itu ke pundak, kemudian berlari kencang. Zita yang masih memegangi kedua matanya tak bisa banyak berbuat saat Ione melempar tubuhnya ke api yang mulai menjalar ke luar restoran.     

"Uwaaaa!!!" Zita berteriak sangat kencang, langsung berguling keluar dari area api. Tubuhnya berkelojotan liar, berusaha memadamkan api yang masih membakar busananya. Di sisi lain, Ione memungut palu raksasanya yang tergeletak di aspal.     

Ione lalu menghampiri Zita yang telentang begitu saja, dengan luka bakar yang semakin banyak di tubuhnya. Matanya memang memejam, tetapi dadanya naik turun dengan pelan, bukti kalau dirinya masih hidup.     

"Ini untuk Stefanku ...." Dengan air mata yang kembali mengalir, Ione berhenti di dekat tubuh sang musuh, kemudian mengangkat palunya tinggi-tinggi. "Mati kamu, jahanaaam!!!"     

Tubuh Zita tersentak hebat dan terbuka sangat lebar ketika mata palu itu mendarat keras di perutnya. Ia lalu mengerang, bergelung dan memegangi perutnya. Tak peduli, Ione menghantamkan lagi palunya, kali ini ke pinggang Zita. Zita pun berjengit dan kali ini berteriak kesakitan. Terakhir, Ione memukulkan palu besarnya ke kepala sang musuh. Seketika saja, Zita memejamkan mata tak sadarkan diri.     

Ione sudah mengangkat palunya kembali, tetapi dia langsung menahan diri. Karena emosinya begitu meluap, bidadari itu melupakan sesuatu yang penting. Ia pun menurunkan senjatanya, sekaligus merubahnya ke bentuk semula sebagai seruling. Busana tempurnya juga sudah menjadi ungu kembali.     

Bidadari itu pun menjaga jarak, kemudian meniup serulingnya. Nada yang dilantunkannya masih sama seperti sebelumnya, tetapi intensitasnya lebih garang. Matanya juga tak lagi meneteskan cairan bening tanda kesedihan, tetapi justru menatap bengis sang musuh, yang kini sudah mulai melayang di udara.     

Tubuh sang musuh sudah mulai memancarkan cahaya kuning. Matanya membelalak dan kedua tangan dan kakinya seperti ditarik oleh tangan yang tak terlihat.     

"Ahahahahaha!!! Ahahahahaha!!!" Bukannya merintih kesakitan seperti bidadari-bidadari lain yang menjadi korban kemampuan Ione itu, Zita malah tertawa-tawa keras. Bahkan, lama-kelamaan tawanya itu makin menggelegar. "Ahahahahaha!!! Ahahahahaha!!!"     

Walau mulutnya mulai berbusa pun, Zita masih saja tertawa-tawa. Barulah ketika cahaya kuning terang mulai keluar dari dadanya, ia berteriak. "Arggggghhhhh!!!"     

Tangan bidadari sinting itu mulai bergetar. Dengan ekspresi seperti binatang buas yang kelaparan, perlahan dia mulai bisa menggerakkan tangannya itu. Melihat hal itu, Ione membelalakkan matanya karena terkejut, tetapi tetap bertahan untuk meniup serulingnya.     

Sampai akhirnya, perisai itu menghadap Ione.     

Kemudian, sedetik setelahnya, perisai itu memancarkan cahaya terang, sekaligus meyedot benda-benda di sekitarnya. Kerikil-kerikil kecil, pecahan-pecahan kaca, bahkan sampai sepeda motor, semua itu terbang memasuki perisai ione yang sudah seperti portal dunia lain itu.     

Tak pernah melihat kemampuan ZIta itu sebelumnya, Ione cuma bisa melompat jauh-jauh untuk mengantisipasinya. Akan tetapi, daya sedot perisai Zita makin menguat. Tubuh Ione pun mulai bergerak ke perisai Zita,     

Ione terpaksa melepaskan tiupan serulingnya. Zita pun terjatuh ke aspal, tetapi tetap mampu mengangkat perisainya. Ione melecutkan cambuk cahaya di serulingnya sampai menjerat salah satu tiang lampu jalanan.     

Akan tetapi, itu hanya bertahan sebentar saja. Tiang lampu itu pun tercabut dari tanah dan justru menghantam keras Ione. Tubuh Ione pun berputar-putar liar di udara, terus menuju ke perisai Zita.     

Sampai akhirnya, kaki Ione mulai memasuki perisai tersebut. Tak menyerah, Ione kembali melecutkan cambuk cahayanya. Kali ini cambuk itu menjerat tiang listrik yang lebih kuat dan kokoh. Akan tetapi, lama-kelamaan tiang itu pun miring dan kaki Ione semakin masuk ke perisai.     

Sebenarnya, ada satu cara agar bisa terlepas dari situasi itu. Ione hanya perlu mengaktifkan satu kekuatan. Dia sudah berkali-kali memberi isyarat kepada Marcel yang mengamati di kendaraan, tetapi tuannya itu tak juga merespon dengan memencet tanda.     

Sekarang, paha Ione mulai memasuki perisai. Frustasi, bidadari itu pun berteriak. "Marceeel!!!"     

Apakah tuannya itu pingsan karena penyakitnya kambuh? Ataukah Aiden sudah berhasil masuk ke kendaraan dan melakukan sesuatu kepadanya?     

Apa pun itu, Ione merasa dirinya tak bisa mengharapkan bantuan tuannya lagi. Dia harus berbuat sesuatu segera. Sekarang, kemampuan penyedot ZIta sudah mulai memakan pinggangnya.     

Baru saja memikirkan cara alternatif, Ione merasakan degupan hangat di dadanya, tanda Marcel baru saja mengaktifkan salah satu kemampuannya. Tak membuang waktu, Ione mengarahkan telapak tangannya kepada sang musuh.     

Perisai Zita pun terlempar. Ione baru saja menggunakan kemampuan pelepas senjata yang dulu diambilnya dari Varya. Tubuh Ione pun jatuh ke aspal.     

Ione sudah akan bangkit, tetapi dia merasakan sesuatu yang sangat janggal di bagian bawah tubuhnya. Kedua kakinya seperti tidak mau digerakkan. Ia pun mengecek bagian bawah tubuhnya tersebut.     

Merah.     

Dia tak melihat bagian pinggangnya, juga pinggulnya, pahanya, sampai kakinya. Di tempat bagian-bagian tubuhnya itu berada, dia hanya mendapati genangan darah nan anyir yang terus melebar.     

Kedua kakinya bukan tidak bisa digerakkan, tetapi memang sudah tidak ada.     

Perlahan, Ione mulai merasakan sakit di tubuhnya yang terpotong itu. Sakit gila yang seolah mengunci tenggorokannya mengeluarkan suara. Dia cuma bisa terbatuk pelan. Batuk yang memuncratkan begitu banyak darah, meninggalkan sensasi rasa logam di lidahnya.     

Ione membelalakkan matanya saat Zita mendatanginya dengan tubuh membungkuk dan tangan terkulai.     

"Hihihi ...." Tak mengeluarkan tawa kerasnya yang biasa, Zita hanya terkikik-kikik pelan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.