A Song of the Angels' Souls

167. Kebenaran



167. Kebenaran

0Zita tergeletak begitu saja di lantai ubin yang dingin. Menelungkup dan memejamkan matanya, bidadari itu tak memakai busana sama sekali, membuat luka-luka di tubuhnya terlihat jelas. Tak berapa lama kemudian, Aiden datang sambil membawa sebuah laptop. Ia menaruh laptop itu di atas tumpukan empat mayat dengan bekas cekikan tali di leher.     
0

Setelah membuka portal streaming berita di laptop itu, Aiden duduk begitu saja di punggung Zita, seolah bidadarinya itu adalah sebuah perabot tanpa nyawa. Tubuh Zita sedikit mengedik karena Aiden jelas menduduki luka di punggungnya, tetapi bidadari itu tetap tak sadarkan diri.     

Aiden melempar-lemparkan sebuah bola mata yang sudah diawetkan ke atas layaknya mainan. Matanya fokus memerhatikan berita di laptop itu. Telinganya mendengarkan dengan saksama sang narator yang membawakan berita tentang hasil 'karya' Aiden di jalanan itu.     

Berkali-kali sang narator mengutuk perbuatan Aiden. Portal berita itu juga tidak menunjukkan hasil 'karya' Aiden sama sekali. Bahkan versi yang disensor pun tidak ditampilkan. Aiden tidak menyukai semua itu. Seharusnya, dia dipuja-puja karena kejeniusannya dalam berseni.     

Aiden melirik bidadarinya, yang masih tampak bernapas pelan. Tersenyum kecil, Aiden mengusap rambut Zita yang luar biasa berantakan. Bidadarinya itu tampak tak tenang, berkali-kali matanya mengedut dan mulutnya bergerak-gerak tanpa suara.     

"Cepatlah bangun, Honey. Aku sudah tidak sabar untuk membuat keindahan lagi denganmu," ucap Aiden pelan.     

***     

Waktu sudah melewati setengah dua belas malam, Rava mengendap-ngendap menuju halaman belakang rumah kontrakan, tak mau penghuni lainnya kabur. Ia sempat berjengit kaget saat sedang melewati ruang tengah. Robin yang tidur di sofa sedikit menggeliat, tetapi tidak bangun. Sang aktor memang memilih tidur di luar karena Lois sudah tidak mau tidur dengan Lyra.     

Melirik rekannya itu sejenak, Rava melanjutkan langkahnya. Begitu sampai di halaman belakang, dia menutup pintu, kemudian memanggil dengan suara cukup pelan, "PIv, apakah kamu ada di sekitar sini?"     

Tak butuh waktu lama sampai satu sosok Piv melompat masuk melewati pagar tembok halaman. Makhluk mungil itu pun mendatangi kaki Rava dan bertanya, "Ada apa, Rava?"     

Dengan tubuh sedikit bergerak-gerak tanda tak nyaman, ia menoleh ke arah pintu, memastikan tak ada orang di dekatnya.     

"Langsung saja, aku ingin mengorbankan sesuatu biar salah satu bidadariku bisa mendapatkan bentuk terakhir," bisik Rava cepat dan lugas.     

Rava mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Meski jantungnya seperti mau pecah karena berdegup sangat kencang, Rava sudah membulatkan tekad. Bagaimanapun, Zita dan harus harus dihentikan. Ini demi kemaslahatan orang banyak. Jangan ada korban yang jatuh sia-sia lagi.     

Tak ada jalan lain.     

"Walaupun dengan bentuk terakhirnya yang dibuka, salah satu bidadarimu tidak akan bisa mengimbangi Zita," timpal Piv.     

Rava menelan ludah. "Kalau siapa pun yang kupilih bertarung dengand dibantu dua lainnya, apakah masih ada kesempatan?"     

"Hal seperti itu tidak ...." Piv yang biasanya berbicara lancar, tiba-tiba tercekat. "Sebentar, aku mendapat pesan langsung dari pihak atas."     

Piv membelakangi Rava, kemudian terdiam. Rava pun cuma bisa menunggu. Sebelah kakinya bergerak-gerak, kepalanya menoleh ke sana ke mari, dan berkali-kali dia memegangi tengkuknya yang seperti dihinggapi hawa dingin. Menunggu ketidak-pastian seperti ini sangat membuatnya tidak nyaman. Kalau permintaannya ditolak, maka dia tak tahu lagi harus berbuat apa.     

"Pihak atas sudah membuat keputusan." Piv kembali menghadap pemuda itu. "Setiap tuan hanya boleh mengorbankan hal berharga dari dirinya hanya satu kali.     

Energi Rava seolah disedot habis. Dia tak bisa berkata-kata. Harapannya pupus sudah.     

"Tapi, pihak atas akan tetap membuka kekuatan Lyra yang asli, asalkan kamu mau mendengarkan kebenaran."     

Kedua alis Rava langsung menaut Meski harapannya melonjak, ia tetap waspada. Ini di luar kebiasaan Piv. "Kebenaran? Kebenaran tentang apa?"     

"Tentu saja aku tidak bisa menjelaskan kebenaran yang dimaksud, kecuali kamu menerima tawaran ini. Bagaimana, aku menjamin, pihak atas juga menjamin, kamu tidak akan kehilangan suatu apa pun. Kamu hanya perlu mendengarkan kebenaran itu."     

"Misalnya aku mendengarkan kebenaran ini, apa yang akan terjadi kepadaku? Aku nggak yakin kalau semua ini nggak berdampak sama sekali." Nada bicara Rava mulai menajam. Ia makin curiga.     

"Bahkan pihak atas senditi tidak tahu apa yang akan terjadi kalau kamu mendengarkan kebenaran ini. Yang jelas, kalau melewatkan kesempatan ini, kamu kehilangan kesempatan untuk membuka bentuk terakhir kekuatan Lyra. Kamu harus mencari jalan lain untuk mengalahkan Zita dan Aiden."     

"Kalau begitu, beri aku waktu ...."     

"Sekarang, atau tidak sama sekali," potong Piv tiba-tiba. "Itu pesan yang disampaikan pihak atas melalui aku."     

Seluruh tubuh Rava seolah dialiri listrik. Tak ada gunanya bertanya mengenai alasan pihak atas melakukan hal absurd ini. Juga tak ada faedahnya menduga-duga apa itu kebenaran yang dimaksud. Pilihannya tinggal dua: mau atau tidak.     

"Aku akan menghitung sampai sepuluh ...."     

"B-baiklah, aku mau," sela Rava nekat.     

Ya, pada akhirnya tujuan utamanya adalah mengalahkan Zita dan Aiden. Dampak apa pun yang nantinya terjadi, Rava cuma berharap itu tidak akan lebih buruk dari pasangan tuan dan bidadari yang sinting itu.     

"Tambahan lagi, kalau kamu memilih Lyra yang kekuatannya dibuka, maka dia akan bisa membunuh lagi. Anggap saja itu kebijakan dari pihak atas. Bagaimanapun, mereka tidak ingin Zita menjadi ratu." imbuh Piv, kemudian melompat ke atas kepala Rava.     

Mendengar kalimat terakhir Piv yang terdengar ironis itu, Rava merasakan emosinya menggelegak. Justru pihak atas yang bertanggung jawab atas kegilaan yang dilakukan Zita dan Aiden. Mereka yang membangkitkan Zita kembali, juga memilih Aiden menjadi tuan. Akan tetapi, Rava tahu, meluapkan kemarahannya juga tak ada gunanya. Ia harus fokus kepada tujuannya.     

"Apakah kamu sudah siap melihat kebenaran?" tanya Piv.     

Rava menarik napas begitu panjang, kemudian mengangguk pelan, dan memejamkan matanya. Sekarang, mundur bukan pilihan. "Aku siap."     

Menit-menit berlalu dalam kesunyian, Rava merasakan sebuah sensasi yang sulit dijelaskan. Dia seperti mengingat berbagai hal yang sebenarnya tidak pernah ada dalam arsip memori otaknya. Begitu banyak informasi yang muncul kepalanya.     

Rava ingin berteriak. Akan tetapi, kerongkongannya seperti tersumbat. Ia juga berusaha bergerak untuk melepaskan Piv dari kepalanya, demi menghentikan informasi-informasi itu merasuki kepalanya. Namun, sendi-sendi di tubuhnya seolah mengeras. Ia cuma bisa berdiri gemetaran di tempatnya.     

Informasi-informasi itu tak seharusnya ada. Dia tidak mau memercayainya.     

Air mata pemuda itu mulai mengalir. Informasi-informasi itu seperti racun yang menghancurkan otaknya. Ia ingin semua ini berhenti, tetapi sekali lagi dia tak bisa melakukan apa-apa. Bahkan untuk membuka mata saja dia tak sanggup.     

Sampai akhirnya, Piv melompat dari kepala Rava. Rava pun seketika rubuh ke lantai beton. Matanya masih memejam dan tak kunjung berhenti mengeluarkan air mata.     

"Setelah ini, kamu hanya perlu menjalankan satu misi: mengalahkan Zita. Pihak atas juga mempersilahkan dirimu untuk memilih satu orang yang akan melihat kebenaran ini," tukas Piv. "Dan, kamu tidak akan bisa menolaknya."     

Perlahan, Rava membuka mata dan mengangkat tangannya. Dengan tatapan mata kosong bak orang mati, dia memperhatikan tangan itu. Membolak-baliknya, mengamati setiap ruasnya, menggerakkan jari-jemarinya.     

"Kalian biadab .... Semua ini biadab ...," racaunya datar. Ia pun menoleh kepada Piv yang berada di sampingnya. "Kenapa kamu memberitahuku? Kenapa pihak atas memberitahuku?"     

"Karena kami ingin melihat reaksi yang terjadi dan kamu adalah spesimen yang cocok. Apakah trauma yang kamu alami, juga kebangkitanmu itu akan berpengaruh kepada cara kamu memproses semua ini? Lalu ...."     

Rava tiba-tiba bangkit, mendatangi salah satu sisi dinding. Napasnya mulai memburu. Matanya begitu nyalang. Ini semua tak berarti lagi baginya.     

Ia pun mulai membentur-benturkan kepalanya ke tembok itu, tak menghiraukan rasa sakit yang didapatkannya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.