A Song of the Angels' Souls

164. Para Pendendam 2



164. Para Pendendam 2

0Beberapa menit berlalu, kedua bidadari itu tetap pada posisinya, belum juga menyerang. Mata mereka tertuju tajam satu sama lain.     
0

Sebenarnya, Ione merasa sedang dalam keadaan yang tidak menguntungkan. Kemampuan yang tersisa dari kekuatan Kacia hanyalah panah penjerat dan hujan pita. Menggunakan panah penjerat dengan Zita masih memegang perisai adalah keputusan yang buruk. Zita akan menggunakan kemampuan penggerak perisainya. Ia akan terbang bersama perisainya itu, seperti waktu dulu ketika dirinya dan yang lain sedangkan menyelamatkan Kacia. Zita akan menerjang Ione. Ione jadi tidak bisa menyerang dengan baik.     

Kalau begitu, mengapa Ione memilih kemampuan Kacia di saat seperti ini? Itu karena Ione sendiri tidak tahu harus berbuat apa lagi. Zita begitu sulit diprediksi.     

"Aah, kalau diam begini, jadinya malah membosankan lagi. Padahal, aku sudah senang kamu menggunakan serangan tak terdua seperti tadi." Zita pun menguap.     

Kemudian, terjadilah sesuatu yang benar-benar berada di luar analisis terliar Ione sekali pun. Ia membelalak dan dagunya langsung turun ketika Zita melepaskan perisainya begitu saja. Perisai itu pun luruh dan menimbulkan denting cukup keras saat mendarat di aspal.     

Pegangan Ione di busurnya langsung mengencang. Pandangannya lurus terhujam kepada sang musuh, yang kini justru menunduk. Ione menunggu gerakan apa pun yang akan dilakukan Zita. Satu kedikan bisa berarti sesuatu. Lengah bukanlah pilihan.     

Menit-menit kembali berlalu. Keadaan belum berubah. Keringat dingin Ione mulai keluar dari pori-porinya. Degup jantungnya pun mulai meliar. Ini semakin di luar ekspektasinya. Zita yang biasanya terkesan tidak sabaran, sekarang bisa menahan diri seperti ini?     

Apa sebenarnya yang akan dilakukan bidadari sinting itu.     

Sampai akhirnya, Zita mengangkat kepalanya dengan menyunggingkan senyum. Ione langsung bergeser dan melesatkan anak panahnya.     

"Ahahahaha!" Meski panah itu mengenai tubuhnya, Zita tampak tak terpengaruh, hanya sedikit bergeser karena dorongan benda tersebut. Bahkan ketika Ione memberondongnya kembali dengan panah, dia masih saja tertawa-tawa.     

Namun, mata bidadari sinting itu tidak terlepas dari Ione. Begitu Ione melompat tinggi, perisai yang masih tergeletak di bawah itu terbang dan kembali hinggap di tangan Zita.     

Di udara, Ione cuma bisa membelalakkan matanya. Apa dirinya tidak salah lihat? Zita menggunakan kemampuan penggerak senjata hanya untuk menarik perisainya kembali?     

Sekarang, Zita mengangkat perisainya itu tinggi-tinggi. Ione yang masih ada di udara menengok ke kanan dan ke kiri. Tidak ada benda apa pun yang bisa dipijaknya untuk kembali melompat. Sebentar lagi, dia akan mendarat di aspal.     

"Ahahaha!!!" Akhirnya, Zita memukul dengan menggunakan perisainya.     

Ione yang mendarat dan keseimbangannya belum pulih pun tak bisa berbuat banyak ketika gempa terjadi. Hanya perlu beberapa detik sampai kaki kanannya terperosok ke salah retakan besar yang timbul karena kekuatan Zita itu.     

Ione mati-matian berusaha melepaskan kakinya yang masuk sampai paha itu. Namun, dia tak kunjung berhasil. Retakan itu seperti menyempit ketika kakinya terperosok. Padahal, Zita sudah mulai mendekat.     

"Ahahahahaha!!!" Bukannya berlari untuk menyerang Ione, Zita justru berjalan santai.     

Akhirnya, Ione memberi isyarat kepada Marcel di kejauhan. Baju Ione pun berubah menjadi ungu kembali dan busurnya berubah menjadi seruling. Dia melecutkan cambuk cahayanya sampai menjerat kaki Zita dan menariknya keras-keras. Zita pun rubuh dan separuh tubuhnya masuk ke sebuah retakan besar.     

Alih-alih menggerutu atau marah, Zita justru cengengesan, tetapi matanya tetap bengis menatap Ione.     

Mereka berdua berusaha membebaskan tubuh masing-masing. Ione makin keras memaksa dirinya. Ia tahu, siapa yang bisa lebih dulu terlepas dari retakan, maka dialah yang akan mendapatkan momentum untuk menyerang terlebih dahulu.     

"Arggghhh!!!" Zita pun berjuang semakin keras. Gigi-giginya merapat begitu erat dan bahkan pembuluh-pembuluh darah di wajahnya makin menonjol. "Arggghhh!!!"     

Zita bisa terlepas lebih dulu. Ione memang bisa menyusul, dia tak sempat berbuat apa-apa ketika wajahnya dihantam keras oleh tepian perisai Zita.     

Ione pun terhuyung ke belakang, kesulitan mempertahankan keseimbangan karena harus menghindari retakan-retakan yang besar. Ia jadi tak punya kesempatan menyerang dan harus pasrah menghindari serangan-serangan Zita. Bahkan sesekali hantaman-hantaman itu mengenai wajah dan tubuhnya.     

"Ahahahaha!!! Cuma segini kemampuanmu!!?? Ahahahaha!!!" Zita menertawai Ione yang agak sempoyongan bak orang mabuk, kemudian melompat untuk menghantamkan perisainya untuk yang kesekian kali.     

Namun, kali ini Ione sudah bisa berdiri tegak. Dia tak perlu menghindari lubang-lubang retakan lagi. Ione pun bergeser ke samping untuk menghindar, sekaligus menghidupkan cambuk cahayanya. Begitu Zita mendarat ke aspal, Ione mencekik musuhnya itu dari belakang, menggunakan cambuk cahaya.     

Zita berontak keras dan berusaha melepaskan cambuk itu dari lehernya. Terjadilah pergumulan sengit. Ione mati-matian mempertahankan cekikannya.     

Dengan meneteskan air liurnya karena kehabisan napas dan kesakitan, Zita menghadapkan perisainya ke bawah. Dia pun mengaktifkan kemampuan pendorong miliknya. Dirinya dan Ione pun terdorong keras. Tubuh mereka melayang di udara, sebelum akhirnya menghantam dinding kaca sebuah restoran sampai pecah berkeping-keping.     

Cekikan Ione pun terlepas dan Zita langsung bangkit, menjauhi musuhnya itu sambil terbatuk-batuk dan memegangi lehernya. Ia begitu sempoyongan dan menabrak patung maskot ayam di tengah restoran sampai rubuh.     

Ione yang merasakan nyeri luar biasa di punggungnya karena mendarat keras di lantai pun bangkit dengan susah payah. Ia menggunakan kesempatan Zita menjauh untuk beristirahat. Namun, bukan berarti dia lengah. Mendapati kendaraan yang dikemudikan Marcel sudah mulai mendekati area toko, ia memberikan isyarat sekali lagi.     

Setelah memencet salah satu tanda di lengannya, Marcel tidak menghentikan kendaraannya di lahan parkir. Dia justru tancap gas. Kendaraan itu pun menerjang pintu masuk toko sampai hancur, menabrak meja-meja kursi sampai melayang. Zita yang melihat pun berusaha menghindar, tetapi terlambat. Tubuhnya pun terserempet kendaraan itu sampai terpental dan mendarat di sebuah etalase kaca yang berisi ayam-ayam goreng. Etalase kaca itu pun seketika hancur lebur.     

Ione yang sudah berpakaian biru terang pun menghampiri Zita sambil menyeret palu raksasa.     

"Arggghhh!!!" Ione mengayunkan palunya sekuat tenaga kepada Zita yang masih tersangkut di sisa etalase     

Brakkk!!!     

Palu Ione hanya menghancurkan meja tempat etalase itu berada. Zita masih bisa menghindar dengan susah payah. Sepersekian detik saja terlambat, dia pasti terkena hantaman palu itu.     

Ione tak bisa langsung menyerang kembali. Ia kehabisan napas. Pertarungan dengan Zita ini ternyata lebih menguras tenaga daripada biasanya.     

Masih terhuyung, Zita pun memasuki ruang dapur lewat pintu di belakang meja kasir. Ione pun segera menyusul. Di dapur itu, seperti di bagian depan restoran, tak ada manusia yang terlihat, padahal ada satu alat penggorengan di sana masih menyala. Minyaknya berbuih dan mengeluarkan suara karena di dalamnya ada sesuatu yang tengah digoreng.     

Ione baru menyadari, kemungkinan besar pegawai dan pengunjung restoran itu sudah digunakan untuk 'karya seni' Aiden di jalanan tadi.     

Emosi Ione pun menggelegak. Dia mengangkat palu raksasanya kembali, berlari untuk menyerang Zita lagi.     

Akan tetapi, Zita berbalik dan menangkis palu Ione itu dengan perisainya. Kemudian, dengan gerakan luar biasa cepat, dia menangkap kepala Ione     

"Arrggghhhh!!!" Ione menjerit saat kepalanya dipaksa masuk ke dalam minyak panas di alat penggoreng. Ia berontak dan berhasil lepas. Alat penggoreng itu pun rubuh.     

Ione tak bisa membuka matanya karena begitu perih. Ia hanya bisa memegangi wajahnya yang terasa seperti terbakar. Padahal, Zita sudah mengangkat sebuah tabung gas besar dan melemparkannya kepada Ione. Ione tentu saja tak sempat menghindar begitu pundaknya terhantam tabung tersebut, memaksanya tumbang ke belakang.     

Selang di tabung gas pun lepas, menimbulkan bunyi desis yang keras. Ujung tabung tersebut tepat terarah ke mesin penggoreng.     

Duaaarrr!!!     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.