A Song of the Angels' Souls

156. Rasa Hati



156. Rasa Hati

1"Lyra, tunggu!" seru Lois, terus melompat dari atap ke atap untuk mengejar Lyra.     
0

Lyra yang jaraknya sudah cukup jauh dengan saudari angkatnya itu tak menjawab.     

"Kita bicarakan ini baik-baik, Lyra!!!" pekik Lois lagi, kali ini lebih keras. "Mungkin kita juga yang salah! Mungkin kita memang terlena, sehingga tidak memikirkan solusi yang lebih baik!"     

Masih tak menimpali, Lyra melompat ke sebuah kompleks sekolah yang terbengkalai. Kompleks sekolahan itu penerangannya luar biasa minim karena hanya berasal dari bulan purnama. Lyra pun mendarat di lapangan upacara yang lantai betonnya sudah penuh lumut, juga dihiasi pula dengan rumput-rumput liar yang mencuat dari retakan-retakannya.     

Lois ikut mendarat di sana, di tempat yang menjadi saksi bisa pertemuannya kembali dengan Lyra di bumi.     

"Solusi? Memangnya kamu memiliki solusi apa, Lois?" tanya Lyra akhirnya, membelakangi saudari angkatnya itu. Suara Lyra sudah begitu parau dan tangannya terus menyeka air mata di pipi.     

"Aku belum tahu dan oleh karena itu kita harus segera memikirkannya," timpal Lois pelan.     

Tawa getir meluncur dari mulut Lyra. "Kamu ingin mengajak yang lain bergabung dan berhenti bertarung, sehingga kita bisa membujuk pihak atas? Sepertinya, aku pernah mendengar usul bodoh itu. Ah iya, itu dulu selalu dikoar-koarkan Ione. Sekarang, Ione sendiri yang malah lebih getol membunuh. Semoga sukses untuk membujuknya .... Jangan lupa ada Zita juga. Semoga kamu bisa mempengaruhinya untuk tidak membunuh."     

"Aku tidak senaif itu. Aku rela membunuh Zita dan Ione, atau bahkan Mireon, kalau itu memang demi keselamatan kita." Lois sedikit menarik napas. "Yang kumaksud dengan solusi adalah cara agar kamu bisa bersama dengan Rava, tetapi juga melakukan sesuatu untuk kaummu itu."     

Lyra kembali tertawa getir. "Absurd. Kamu tahu kan, agar bisa menjadi ratu, kamu harus mati ...."     

"Kita pasti akan menemukan caranya, aku yakin itu," potong Lois.     

Perlahan, Lyra menoleh kepada saudari angkatnya itu. Mata Lyra sudah begitu nanar dan terus saja mengucurkan cairan bening. "Kenapa aku mendapat firasat kalau kamu akan membunuh dirimu sendiri demi bisa membuatku menjadi ratu?"     

"Itu tidak benar, aku ...."     

"Aku bisa melihat di matamu, Lois." Lyra berjalan mendekati sang saudari angkat. "Kamu tahu apa yang guru kita katakan kepadaku sebelum kita berpisah? Dia menyayangkan diriku yang pergi meninggalkan dirimu, padahal kamu sudah menjadi seseorang yang rela mati untukku."     

Lois melontarkan tawa keras. "Huh, percaya diri sekali kamu! Memangnya apa untungnya aku mati demi kamu .... Ugh!"     

Terkena bogem mentah Lyra yang menghantam pipinya dengan begitu tiba-tiba, Lois terhuyung ke belakang dan nyaris terjengkang.     

Mendengus keras, Lois pun melancarkan pukulan uppercut ke dagu sang saudari angkat. Lyra berhasil menghindar dan melancarkan tendangan ke perut Lois. Dengan sigap, Lois menangkap kaki Lyra itu. Lyra tak bisa berbuat apa-apa ketika satu kakinya yang masih menjejak tanah disapu kaki Lois. Lyra pun rubuh ke belakang.     

Lois menduduki perut Lyra dan menahan kedua tangan saudari angkatnya itu ke lantai beton.     

"Dulu, kamu memang bisa menyadarkan diriku dengan bertarung denganku. Tapi, sekarang aku tidak mau melakukan hal seperti itu. Aku tidak mau menyakitimu. Hatimu sudah terlalu perih," desah Lois pelan, memandang lekat-lekat mata sang saudari angkat.     

Air mata Lyra kembali mengalir. "Bodoh."     

Lois pun menonaktifkan baju tempurnya, membuat setiap senti kulit mulusnya yang tak terlindungi selembar benang pun itu bisa terlihat jelas, disirami cahaya lembut dari bulan purnama.     

Kemudian, Lois mendekatkan wajahnya ke muka Lyra. Sedetik berlalu, bibir mereka pun saling menaut. Lyra membelalakkan matanya, benar-benar tak menduga kalau sekarang dirinya bisa merasakan bibir saudari angkatnya itu.     

Namun, itu cuma berlangsung sekejap saja. Belum juga Lyra memberontak, Lois sudah mengangkat wajahnya, memberikan senyum samar. "Kita bisa melalui semua ini, Lyra. Aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk dirimu."     

"Dasar putri bangsawan manja yang bodoh," isak Lyra.     

"Ayo pulang," ajak Lois. Walaupun senyumnya melebar, air matanya tetap menitik.     

***     

Sedari tadi duduk di sofa ruang depan, Rava terus menggerak-gerakkan kakinya tanda tak sabar. Ia tak bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya dan itu membuat hatinya tak nyaman.     

Sekuat apa pun Lyra, bidadari itu tetaplah punya hati yang bisa merasakan sakit.     

Rava nyaris melonjak saat mendengar ketukan dari depan. Ia bergegas membuka pintu rumah, langsung mendapati Lois yang masih memakai baju tempur, tersenyum begitu lebar. Sementara itu, Lyra yang berdiri di sebelahnya cuma membuang muka dengan mata yang begitu nanar.     

Melihat Rava yang melongo kebingungan, Lois mengangkat sebelah alis. "Kenapa .... Ah, kamu pasti mengira kami akan pulang dengan babak-belur, kan?"     

Rava cuma menggaruk rambut, mundur untuk memberi jalan agar kedua bidadari itu bisa masuk. Ya, Rava memang mengira Lois dan Lyra akan menyelesaikan semua ini dengan bertarung, seperti dulu ketika Lyra menyadarkan Lois.     

"Aku minta maaf, Rav," desis Lyra dengan suara lirih, masih tak sanggup menatap tuannya.     

"Yah, sedikit-banyak aku tahu keadaan kamu. Aku juga pasti nggak tahu harus ngapain kalau ada di posisi kamu," balas Rava, menarik napas panjang.     

Mulut Lyra sedikit membuka. "Kamu tidak marah?"     

"Aku marah, tapi bukan gara-gara kamu nyekap ibuku. Aku anggap, waktu itu kamu lagi kebingungan banget. Aku juga yakin, kamu juga nggak akan bener-bener tega ngelukain ibuku." Rava mengangkat bahu. "Aku marah karena kamu tiba-tiba nyuruh aku ngelupain semuanya. Setelah apa yang terjadi, nggak akan semudah itu, Lyra."     

Lyra menelan ludah. "Lebih baik, itu kita bicarakan nanti saja."     

Robin muncul dari ruang tengah, langsung bersedekap dan menatap tajam Lyra. Lyra pun menghampiri sang aktor dan sedikit membungkukkan tubuhnya.     

"Aku minta maaf, sampai bawa-bawa keluarga kamu, Robin," ujar Lyra, masih dengan suara lirih.     

Robin mengusap wajahnya. "Aku cuma mau bilang, jangan sampai kamu mengancam kayak begitu lagi. Bisa dikatakan, itu .... Sesuatu yang membuatku sangat nggak nyaman."     

"Aku berjanji tidak akan mengulanginya, Robin," jawab Lyra, kemudian menghadap Rava, tetapi matanya masih menatap ke arah lain, belum bisa tertuju kepada tuannya itu. "Ibu kamu mana, Rav?"     

Memejamkan matanya, Rava kembali menghela napas, kali ini jauh lebih panjang. Beberapa detik ia membisu, sebelum akhirnya membuka mata dan berbicara, "Ibu bersikeras buat pergi ke rumah saudaranya, padahal aku udah bilang kalau di sini paling aman, soalnya ada bidadari yang ngejaga. Tapi, dia udah ketakutan banget, jadi maksa pergi barusan pake ojek online."     

"Begitu, ya?" Lyra memunggungi tuannya. "Sekali lagi maaf, Rava. Perbuatanku sangat kelewatan .... Aah, aku ingin istirahat dulu."     

Bidadari itu pun mendatangi kamarnya di ruang tengah.     

"Bagaimana keadaan ibu kamu tadi, Rav?" tanya Lois, tepat ketika Lyra sudah memasuki kamar dan menutup pintunya.     

Menggeleng pelan, Rava sedikit memijati bagian tengah keningnya yang sebenarnya tidak nyeri. "Aku baru pernah ngelihat ibuku sehisteris ini. Aku juga nggak pernah adu argumen sekeras tadi sama ibuku. Kayaknya, dia benar-benar trauma .... Maklum, dulu ibuku udah sering ngalamin kekerasan. Barangkali, ibuku nggak mau hal begitu menimpanya lagi."     

"Ah, hal seperti itu memang akan sulit dicegah Rava," desah Lois.     

Rava menelan ludah. "Terus, Lyra gimana?"     

Memberikan senyum samar, Lois pun menjawab. "Jujur, aku tidak tahu, Rav. Aku baru pernah melihat Lyra yang serapuh itu."     

Mulut Rava terkunci rapat. Lidahnya kelu. Situasi ini membuat otaknya seperti akan pecah.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.