A Song of the Angels' Souls

83. Kepedulian



83. Kepedulian

0"Robin?" Ione tercengang melihat sang aktor mendatangi lapak jualan. Kali ini, pria itu memakai wig gimbal mengembang layaknya pohon beringin, dipadu celana pendek, kacamata hitam dengan gradasi warna-warni, sandal japit pasaran, dan kaos ungu dengan gambar dua pasang semut yang sedang berdansa.     
0

Robin mengangkat bahu, duduk di kursi panjang paling dekat dengan lapak. "Yah, aku kan cuti dari kerjaan, jadi bingung mau ngapain. Temenku di ibukota semua."     

Rava mendapati Stefan yang sedang duduk di bagian belakang lapak sedikit mengedikkan tubuhnya, terlihat seperti tidak nyaman.     

"Aah, karena pemilihan ratu ini, ya? Kamu jadi hiatus dulu?" tanya Ione lagi.     

"Iya, intinya aku kan harus nemenin Etria ...." Robin sedikit berjengit saat Kacia tiba-tiba kabur dengan kecepatan yang nyaris tak bisa dinalar manusia.     

"Eeh, itu dia!" Kali ini, ibu-ibu yang mengincar Kacia sebagai menantunya berhasil melihat bidadari itu di kejauhan. Ia lalu menarik suaminya dan mulai berlari mengejar. "Ayo, Pak! Jangan malas begini!"     

"What the ...." Robin sedikit menurunkan kacamata, mengamati pasangan suami-istri yang sedang pontang-panting itu.     

"Bahkan di film tv tidak ada yang seperti itu, kan?" Ione terkekeh.     

"Jadi, kamu milih yang mana .... Kamu namanya Rava, kan? Kamu milih yang mana, Rav?" tanya Robin kepada Rava.     

Rava cuma bisa melongo kebingungan. Pertanyaan itu sangat mendadak dan dia belum bisa memprosesnya dengan baik.     

"Dia itu bingung mau yang tubuhnya bohai atau yang imut-imut," seloroh Ione.     

"Dia itu pengen punya harem," imbuh Stefan.     

"Dia itu barangkali malah tidak tahu apa yang dirasakannya sekarang ini," ceplos Lois yang entah sejak kapan muncul di situ, mulai memilih-milih camilan.     

"Dia itu bebalnya nggak ketulungan," celetuk Janu yang juga tahu-tahu berdiri di dekat lapak, tengah mengunyah mendoan.     

Rava pun cuma celingukan menatap mereka satu-persatu. Otaknya jadi tambah kacau dan wajahnya mulai dihinggapi panas.     

"Kamu itu kayak tokoh utama di film tv yang biasa kuperankan, ya?" Robin terkikik-kikik geli.     

Rava menelan ludah, dia merasa sedang dipojokkan, walau barangkali mereka hanya becanda. "K-kalaupun mau, a-aku nggak mungkin sama mereka."     

"Kenapa, Rav? Karena mereka terlalu cantik? Ya, nggak apa-apa, toh? hitung-hitung memperbaiki keturunan .... Bukan berarti kamu jelek, sih. Tapi lihat, ibu-ibu itu saja ingin Kacia jadi menantunya karena ingin memperbaiki keturunan," cerocos Ione sembarangan.     

Rava menunduk kaku, tak bisa bisa menjawab. Dia benar-benar bingung sendiri. Ione sudah akan mendesak, tetapi kali ini memilih untuk menahan diri.     

"Yah, kalau memang nantinya kalian berpisah, paling nggak kan kamu dan mereka bisa bikin kenangan yang banyak," ujar Robin, mencomot satu biji donat mini.     

Aliran hawa dingin seolah mengaliri tubuh Rava. Berpisah? Dengan Kacia? Dari dulu, dia tak terlalu memikirkanya. Barangkali hal itu memang sempat melintas di pikirannya, tetapi tidak ia hiraukan sama sekali. Mungkin karena waktu itu perasaannya kepada Kacia belum mencapai tahap ini?     

Perasaan? Perasaan seperti apa? Rava benar-benar tak mengerti dirinya sendiri.     

"Ups." Ione meringis saat melihat Rava yang mematung total.     

"Aah, ngomong-ngomong, ke mana bidadari bernama Lyra itu?" tanya Robin dengan suara agak keras, jelas sekali ingin mengalihkan pembicaraan.     

"Dia berkata ingin istirahat dulu," jawab Ione.     

Robin sedikit menganggukan kepalanya, berpikir sejenak. "Aku sudah dengar garis besarnya. Ya, mungkin orang-orang yang bo .... Mungkin orang-orang kurang pintar dan ignorant seperti Etria malah yang membuat kaum Lyra lebih menderita, daripada orang-orang yang benar-benar membenci. Kalian tahu nggak rasanya nggak dipeduliin sama sekali? Nggak ada yang mau nolong?"     

Ione memajang senyum penuh arti. "Ternyata kamu itu tidak cuma jago akting, tampan, atletis, tapi juga pintar, ya?"     

Stefan kembali mengedikkan tubuhnya. Robin pun hanya tertawa, kembali mencomot donat mini.     

"Wah, gue udah lama gak ngeliat si boncel ini," gumam Janu tiba-tiba, kali ini membuka bungkus pastel. Matanya tertuju kepada satu sosok Piv yang sudah ada di dekat lapak.     

"Ada monster," celetuk Piv itu.     

"Aah, menyebalkan sekali," gerutu Ione.     

"Elu tuan juga? Pernah ketemu Piv? Mana bidadari Elu?" tanya Robin kepada Janu.     

"Udah nggak ada." Janu meggigit pastelnya. "Kalian pergi, gih. Biar gue yang jaga lapaknya. Tenang aja, gue nggak akan nakal. Mana berani nakal kalau yang jaga kekuatannya kayak gorila semua."     

"Terimakasih. Kamu ternyata baik juga, ya." Ione memberikan senyumnya.     

Janu berpindah ke belakang lapak. "Udaaah, kalian pergi aja sono. Ada catatan harganya, kan?"     

"Sh*t!" Robin bangkit dari duduknya sambil melihat layar ponsel. "Etria nekat pergi duluan!"     

***     

"Uwaaaaaa!!! Uwaaaaaaaaa!!!" Etria berusaha melepaskan diri dari cairan kental nan lengket yang menahannya di sebuah pohon besar. Dengan posisi kepala di bawah, ia sangat kesulitan melakukan hal itu. Padahal, monster berbentuk semut raksasa berwarna kuning kusam tersebut semakin mendekat.     

Monster yang baru menyemprotkan cairan ke tubuh Etria itu menggerak-gerakkan capit besar di mulutnya. Etria semakin gelagapan, berusaha menggapai palunya yang tergeletak di tanah.     

"Jangan mendekat! Jangan! Jangan!" Air mata bidadari itu pun mengalir deras.     

Dan akhirnya, capit itu sampai ke dada Etria.     

"Aaaaaaaarrrrrrrggggghhhhh!!!" Etria meraung kencang saat capit yang tajam itu menembus kulit dadanya, memuncratkan cairan merah nan kental. "Sakit!!! Sakit!!! Arrrrgggggghhhhh!!!"     

Tentu saja monster itu tidak peduli dengan jeritan atau tangisan keras Etria. Ia terus melukai tubuh Etria, tetapi tidak memberikan luka fatal. Dia tahu bagaimana membuat luka yang menyakitkan, tetapi tak sampai membuat nyawa Etria melayang. Dia seperti bermain-main dengan tubuh sang bidadari.     

Tiba-tiba saja, sang monster menghentikan kegiatan menyiksanya. Kepalanya dihinggapi beberapa anak panah sekaligus. Kemudian, Ione pun muncul dan langsung menunggangi punggung si monster, memukul-mukulkan serulingnya ke kepala makhluk tersebut.     

Si monster pun menggeliat-geliat liar, membuat Ione terlempar. Namun, bidadari berhasil melenting di udara, mendarat persis di sisi Kacia.     

"Sepertinya, ini bakal menjadi pertarungan yang sulit. Kita harus punya seseorang yang bisa menebasnya," ujar Ione, lantas dirinya dan Kacia menghindari semprotan cairan kuning dari mulut sang monster.     

Ione sudah akan berteriak kepada Stefan untuk mengaktifkan kekuatan pembeku, padahal dia berniat menyimpannya untuk berjaga akan kemunculan monster lain. Namun, melihat kelebatan sosok manusia berbusana merah, Ione mengurungkan niatnya.     

Lois yang baru datang pun memberikan kombinasi tusukannya kepada sang monster, sementara Kacia terus melesatkan anak-anak panahnya. Tak perlu waktu lama sampai monster itu rubuh. Lois pun memberikan tusukan pamungkasnya ke kepala sang monster.     

"Terimakasih, Lois. Tanpamu, kami akan butuh waktu lebih lama untuk mengalahkannya." Ione pun menghampiri bidadari berambut pirang itu.     

"Tidak masalah." Lois sedikit menengok ke sana ke mari. "Lyra mana .... Ah, dia pasti sedang ingin menyendiri, kan? Yah, orang bodoh memang selalu membuatnya sedih."     

"Kamu benar-benar saudara yang baik, ya. Sampai bisa tahu perasaan Lyra."     

"Yah, kami kan sudah bersama selama ...." Perhatian Lois teralih karena Kacia yang berlari cepat melewatinya. Kacia menghampiri pohon besar di taman itu, tempat Etria masih menempel dengan posisi terbalik.     

Robin cuma mematung di tempatnya, memandang tubuh Etria yang berlumur darah. Sementara itu, Rava memaksa diri untuk mendekati Etria dan memeriksanya, meski perutnya bergejolak hebat karena kondisi Etria yang mengerikan.     

"Sakiit ...," erang Etria. Aliran air matanya telah bercampur dengan darah, menetes ke akar-akar pohon tempatnya berada.     

Kacia pun ikut memeriksa bidadari itu. "Dia masih hidup, kita harus segera menolongnya!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.