A Song of the Angels' Souls

90. Adrenalin



90. Adrenalin

0Robin begitu bersemangat menyetir mobilnya. Meski lokasi yang ditunjukkan oleh Medora tergolong aneh, dia tidak peduli. Barangkali Medora memang ingin melakukannya di tempat seperti itu. Atau dengan kata lain, Medora ingin merasakan tantangan lebih. Bercumbu di tempat umum dengan risiko ketahuan orang lain tentu membuat jantung berdebar dan adrenalin meningkat.     
0

Pria itu memakirkan mobilnya di pinggir jalan, dekat sebuah area gudang-gudang yang tampak terbengkalai. Saking tidak terurusnya tempat itu, pagar besi yang mengelilinginya pun sudah rusak di beberapa bagian, membuat Robin tak kesulitan untuk masuk.     

Karena penerangan hanya berasal dari lampu jalan, Robin menyatakan mode penerang di ponselnya. Ia lalu menutup hidungnya, yang mulai dihinggapi bau tak sedap antara campuran logam dan entah apa.     

Benarkah Medora ingin melakukannya di tempat seperti ini?     

"Medora? Kamu di mana." panggil Robin, mulai melangkah maju. "Kamu sukanya main petak umpet, ya?"     

Robin lalu mengecek ponselnya itu. Awalnya dia ingin menghubungi Medora, tetapi bidadari itu justru mengiriminya pesan yang berbunyi, "Kamu sudah sampai? Tunggu, ya. Aku ada urusan. Agak lama nggak apa-apa, kan? Nanti aku kasih sesuatu yang lebih, deh."     

Ia pun menghela napas panjang. Hasratnya sudah mulai memuncak, imajinasinya semakin meliar, dan interval degup jantungnya terus naik, tetapi Medora malah memberi kabar seperti itu. Dia seperti sudah diajak ke awang-awang, tetapi tiba-tiba dijatuhkan ke bumi begitu saja.     

Mau tidak mau, dia berbalik dengan bersungut-sungut, berharap urusan Medora tidak terlalu lama.     

"Yo," sapa Ione yang entah sejak kapan sudah berjongkok di dekat mobil Robin.     

"Dari durasi perjalanan, sepertinya tempat ini cukup jauh dari rumahmu, Mas," ucap Stefan yang berdiri di dekat bidadarinya itu.     

Robin menghentikan langkahnya. Memandangi dua orang itu dengan mulut menganga. "Why? Kenapa kalian di sini?"     

"Karena Rava dan bidadari-bidadarinya sempat melihat Mas Robin pergi dengan Medora. Mereka sekarang sedang mengawasi rumah Mas Robin," jawab Stefan, mengembangkan sedikit senyum.     

Helaan napas panjang kembali keluar dari mulut Robin. "Aku tahu kalian punya perbedaan pendapat dengan Medora, tapi kalian nggak ada urusan kan aku mau melakukan apa dengan Medora?"     

Ione bangkit, berkacak pinggang. "Medora itu mungkin tidak seperti yang kamu pikirkan, Robin. Di balik senyum hangatnya, ada sesuatu yang ia sembunyikan."     

"Aku tahu kok, dia itu miskin dan pandangannya berbeda dengan kalian yang sok pahlawan." Nada bicara Robin mulai meninggi. Ekspresi wajahnya menegas.     

Stefan melebarkan senyumnya. "Apa mas Robin menaruh rasa kepada Medora?"     

"Sekali lagi, ini bukan urusan kalian," dengus Robin.     

"Kata kakakku, bud .... Rasa kasmaran itu bisa membutakan seseorang."     

"Sepertinya akan sulit memberitahumu, Robin. Lebih baik kamu melihat buktinya langsung," imbuh Ione, ikut tersenyum.     

Kedua alis Robin pun menaut.     

***     

Etria melirik Vania, sang asisten rumah tangga yang tampak terkantuk-kantuk di kursi. Sang bidadari pun menghela napas, lalu berkata lirih, "Kalau memang mengantuk, kamu bisa tinggalkan aku sendiri, Vania."     

"Eh?" Vania mengangkat sebelah alisnya. "Beneran, Non ...."     

"Sudah, kalau mau tidur, tidur saja," potong Etria dengan suara agak menggeram, heran mengapa dirinya harus berkata sampai dua kali. Di rumahnya dulu, yang seperti itu pasti akan ia semprot.     

"Oh, baik, Non." Akhirnya, Vania pun beranjak dari kamar itu. "Kalau ada apa-apa, panggil saja, Non."     

Setelah Vania menutup pintu dari luar, Etria menghela napas lagi. Seharian berusaha bersikap lebih baik kepada orang lain membuatnya begitu lelah. Biasanya, dia akan langsung meluapkan emosi kalau dirinya merasa terganggu atau ada sesuatu yang tak sesuai keinginannya, walaupun itu cuma sedikit.     

Ia mengangkat sebelah tangannya, yang masih sulit digerakkan karena luka-luka. Dulu, dia selalu memarahi guru-guru beladirinya. Ia menganggap mereka cuma buang-buang waktu mengajarinya cara bertarung yang baik. Semua latihan dasar yang ada sangatlah membosankan karena cuma melakukan pengulangan. Padahal, dia sendiri yang meminta untuk dipanggilkan guru beladiri, karena melihat perjuangan Lois yang luar biasa.     

Akhirnya, dia memilih berlatih sendiri dengan memainkan senjata pilihannya – palu besar itu –dengan sesuka hati. Tenaganya memang bertambah karena latihan-latihan sembarangan itu. Dia jadi bisa mengangkat palu yang sangat besar.     

Bidadari itu menutupi matanya dengan lengan, membiarkan air matanya turun lagi. Sekuat apa pun menyangkal, perkataan guru-gurunya itu benar. Dia tak akan bisa apa-apa tanpa melakukan latihan dengan baik. Apa yang terjadi padanya sekarang adalah bukti nyata.     

Dia hanya punya modal sangat sedikit untuk bertarung di bumi. Dia tak punya kemampuan khusus bawaan yang bisa didapatkan lewat latihan atau warisan keturunan. Lois memiliki kemampuan berpindah tempat yang didapatkannya lewat latihan, selain kemampuan yang ditanam di senjatanya.     

Sementara itu, Etria hanya memiliki kemampuan yang ditanam di senjatanya saja. Tak ada lagi kemampuannya yang disegel seperti bidadari lain. Sebanyak apa pun mengalahkan monster dan bidadari, tak ada lagi kemampuannya yang bisa dibuka.     

Jangankan menjadi ratu seperti idolanya, bertahan hidup saja mungkin dirinya tidak akan sanggup. Selama ini dia cuma beruntung saja. Barangkali tempat yang paling cocok dengan dirinya adalah rumah mewah dengan banyak ajudan yang mengurusnya. Tempat yang selalu memenuhi kebutuhannya. Tempat yang tak pernah mengajarinya kenyataan: bahwa dirinya tak akan bisa selalu mendapatkan keinginannya.     

Pantas saja Robin ingin meninggalkannya.     

Etria terus meneteskan air matanya dalam waktu cukup lama, sampai akhirnya dia kelelahan. Matanya kini terpejam erat. Dengkuran halus pun mulai keluar dari mulutnya.     

Namun, tidur damainya hanya bertahan sekejap saja. Bunyi-bunyi logam yang beradu dan suara-suara teriakan seketika menyentaknya. Begitu membuka mata, dia sudah mendapati dua wanita yang bertarung. Satu menggunakan dua pedang, satunya lagi menyerang dengan sarung tangan logam bercakar.     

Lyra menendang perut Medora keras-keras. Medora pun langsung terguling ke luar kamar.     

"Kamu tidak mau Etria bergabung dengan kami, kan? Kamu tidak ingin kami jadi tambah kuat. Maka dari itu, kamu mengelabui Robin untuk pergi ke suatu tempat, lalu kamu berniat membunuh Etria," desis Lyra dingin, memandang jijik Medora yang memasang kuda-kuda rendah. "Sayang sekali, kami melihatmu pergi dengan Robin setelah kemunculan monster di minimarket itu."     

Mendengar penjelasan seperti itu, Etria membelalakkan matanya. Jantungnya bak dirajam ribuan jarum. Isi perutnya seperti baru saja dibetot keluar.     

"Cih!" decak Medora, menyahut tuannya yang sedari tadi memang berdiri di luar, kemudian langsung berlari kabur.     

Lyra langsung mengejar musuhnya itu.     

"Ugh!" Rava yang juga ada di luar pun terhempas karena terserempet Medora.     

"Rava!" Lyra segera memeriksa tuannya itu.     

Meringis kesakitan sambil memengangi bahu kirinya, Rava pun berkata, "Nggak seberapa, kok. Kamu kejar dia saja."     

Lyra mengangguk, kembali mengejar Medora. Rava pun memaksakan diri untuk bangkit, tak memedulikan nyeri hebat yang mencengkram pundak kanannya, mulai berjalan menyusul bidadarinya itu.     

Sementara itu, Etria masih terdiam di kamarnya. Ia duduk di atas kasur dengan mata membelalak dan mulut sedikit menganga. Air matanya lagi-lagi turun setetes demi setetes. Setiap senti bagian tubuhnya bergetar hebat.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.