A Song of the Angels' Souls

101. Obrolan



101. Obrolan

1Sambil memeluk boneka ratunya, Etria keluar dari rumah orangtua Stefan untuk mendatangi kolam renang. Setelah memeriksa apakah tepian kolam itu sudah kering, ia duduk di sana, sengaja menenggelamkan kedua kakinya. Dingin dan sedikit menenangkan. Ia pun mulai menggerak-gerakkan kakinya tersebut.     0

Kantuk belum juga mendatangi kepala bidadari itu. Baru kemarin malam dirinya mendapat pengalaman yang sangat buruk, tetapi semua orang sudah bersikap seolah-olah semua itu tidak pernah terjadi. Setelah tubuhnya disiksa monster semut itu juga. Mereka semua gampang sekali melupakannya.     

Lagi-lagi ini sangat berbeda dengan rumahnya dulu. Tidak ada pengasuh yang selalu mendengarkan dan membesarkan hatinya kalau ada sedikit saja peristiwa tak menyenangkan. Kali ini, dia harus berjuang sendiri untuk melewati semua itu.     

Etria menarik bibir bawahnya ke belakang, mati-matian menahan air matanya agar tidak tumpah. Semakin hari, dirinya semakin merasa lemah saja. Ya, mungkin benar kata Lois, dirinya berjasa dengan mengalahkan monster itu. Namun, sekali lagi, bayangan adegan di dalam perut monster itu terus saja menghantuinya dan dia tidak bisa mengusirnya.     

"Belum bisa tidur?"     

Etria menoleh ke belakang, mendapati Kacia yang sedang menghampirinya, kemudian menatap ke hamparan air kebiruan lagi.     

"Aku juga tidak bisa tidur," ucap Kacia, ikut duduk dan memasukkan kedua kakinya ke dalam kolam, memberikan senyum hangat kepada Etria.     

"Karena apa yang Lois lakukan kepada Rava?" tanya Etria sembarangan.     

Kacia sedikit berjengit, lantas tertawa kaku. "Lebih baik jangan bahas itu dulu, deh."     

Etria memberengut, lagi-lagi memandang air kolam sambil menggerak-gerakkan kakinya bak anak kecil.     

Senyum di bibir Kacia pun melebar. "Maaf, ya. Kami terlalu asyik, jadi melupakan perasaan kamu. Padahal, kamu pasti belum bisa melupakan apa yang terjadi kemarin."     

"Tidak masalah," timpal Etria dengan suara tertahan. Nada bicaranya mulai sengau dan cairan bening makin menyelimuti matanya. "Di sini, aku harus kuat."     

"Tapi, kalau ada yang mengganjal di hati, kamu bisa berbicara kepadaku. Apa pun itu. Aku pasti akan mendengarkan, Etria. Apa pun keresahanmu." Kacia menggapai tangan Etria dan menggenggamnya lembut. "Ingat, kita di sini bersama-sama."     

Bibir bagian bawah Etria makin masuk ke dalam. Napasnya mulai sesak. Air matanya sudah tak terbendung lagi.     

"Huwaaa!!!" Terisak keras, Etria pun memeluk Kaica erat-erat. "Kamu memang yang terbaik, Kacia! Kamu yang paling mengerti aku! Huwaaa!!!"     

Masih tersenyum, Kacia mengusap lembut punggung rekannya itu.     

Namun, itu hanya sekejap saja. Etria menarik pelukannya, kembali menahan tangis. Ia pun menyedot ingusnya yang mulai keluar.     

"Loh, kenapa? Kenapa kamu melepaskan pelukannya?" tanya Kacia.     

Etria mengusapi air matanya. "Aku harus kuat."     

"Kuat bukan berarti tidak boleh menangis." Kacia kembali memegang tangan Etria, kali ini lebih erat. "Kamu boleh menangis di depanku, sampai kamu benar-benar lega."     

"Huwaaa!!!" Lagi-lagi Etria terisak keras dan memeluk bidadari mungil itu. Kacia pun kembali mengusap punggung Etria.     

"Sebenarnya, bukan aku saja yang mengkhawatirkan keadaan kamu. Tuan kita juga. Dia bertanya kepadaku apakah kamu sudah baik-baik saja setelah masuk ke perut monster itu. Dia tidak berani mengutarakannya langsung kepadamu. Mungkin dia belum terlalu mengenalmu, jadinya masih malu-malu," tutur Kacia dengan nada lembut.     

Etria melepaskan pelukannya, memandang wajah Kacia. Kacia pun melebarkan senyumnya dan menunjuk ke arah pintu terdekat. Etria langsung mendapati Rava yang sedang mengintip. Rava pun buru-buru menarik tubuhnya.     

Etria pun bangkit, segera mengejar tuannya itu.     

"Tunggu!" panggil Etria, mendapati Rava sudah berjalan cepat meninggalkan tempat itu.     

Rava pun berhenti, menengok kepada Etria, cuma bisa menggaruk rambut dan membisu. Etria pun menghampiri tuannya itu dan berkacak pinggang.     

"Aku tidak akan memelukmu untuk berterimakasih! Apalagi melakukan hal mesum seperti Lois!" ceplos Etria dengan bibir yang mulai merona.     

Rava cuma bisa melongo, belum bisa memproses omongan Etria yang memang tidak jelas itu. Dan tiba-tiba saja, Etria memberikan kecupan sekilas ke pipi pria itu. Terkejut, Rava cuma bisa berdiri di tempatnya.     

"Jangan mengharap lebih!" omel Etria lagi, lantas berlari kabur. "Kacia, aku boleh tidur denganmu, ya!"     

Rava mengusap pelan pipinya itu. Lembutnya bibir Etria masih membekas di sana.     

***     

Dengan kedua tangan yang ditaruh di pagar logam, Lois memperhatikan Kacia dan Etria dari loteng di sisi bangunan yang lain. Etria tampak menarik Kacia untuk memasuki rumah.     

"Ada apa kamu memanggilku ke sini?" tanya Lyra yang baru datang ke sana.     

Senyum samar tersungging di bibir Lois. "Maafkan aku."     

"Kalau masalah kamu membawa kabur celana bikiniku, lupakan saja. Tapi, aku berharap kamu tidak melakukan hal kekanakan seperti itu lagi. Masa-masa melakukan hal seperti itu seharusnya sudah lewat untukmu."     

"Ah, sayangnya tidak ada yang merekam kamu berlarian seperti itu. Anumu jadi kelihatan ke mana-mana. Kamu seharusnya melihat ekspresi Rava dan orang-orang di sini." Kacia sedikit terbahak. "Tapi, kamu ini sebenarnya aneh. Padahal, tinggal pergi ke kamar untuk mengambil celanamu, tetapi kenapa kamu mengejarku sampai keliling rumah?"     

Lyra sedikit mengedikkan kepalanya ke samping. Urat-urat lehernya agak menonjol. "Itu karena pikiranku kacau karena anuku kelihatan .... Sudah, jangan dibahas lagi!"     

"Ah, ada satu lagi. Aku juga minta maaf karena perlakuanku kepada Rava yang mungkin kelewatan. Kamu pasti cemburu dan marah tuanmu dibegitukan, kan? Buktinya, kamu sampai menyerangku kemarin malam."     

Lagi-lagi Lyra mengedikkan kepalanya. Tonjolan urat-urat di lehernya juga makin kentara. "Kamu memanggilku ke sini bukan cuma untuk membahas hal bodoh itu, kan?"     

Lois memejamkan matanya, menarik napas pelan. "Ione khawatir dengan tingkah laku Medora. Sampai menggunakan bayi untuk bisa kabur, menurut Ione itu sudah terlalu melampaui batas dan aku setuju. Cepat atau lambat, kemungkinan besar Medora akan melakukan sesuatu yang lebih buruk lagi."     

"Coba kutebak, dia memintamu membunuhnya?" Lyra melipat tangan di dada. "Kenapa dia tidak melakukannya sendiri?"     

"Dia bisa saja membawa Stefan untuk bertarung melawan Medora, tanpa izin dari tuannya itu. Bagaimanapun, Ione tetap butuh Stefan agar bisa melawan Medora secara maksimal. Tapi, Ione beralasan, prinsip Stefan untuk tidak membunuh itu benar-benar mutlak. Sampai sekarang Stefan masih belum setuju untuk membunuh Zita."     

"Jadi, dia bilang tidak apa-apa kalau Rava yang terkena dampaknya?" tanya Lyra sinis. "Memang sih, sebenarnya mental Rava itu kuat, tetapi egois sekali Ione, ingin tuannya itu tidak terkena dampak apa pun."     

"Permintaan Ione itu memang sangat-sangat-sangat menyebalkan, tapi bagaimanapun Medora tetaplah ancaman. Kalau Ione tidak mau mengotori tangannya, kurasa kita tetap harus turun tangan."     

"Yah, apa boleh buat." Lyra menjejeri saudari angkatnya itu. "Kapan kita bisa melakukannya?"     

"Stefan mendapat info, setelah Medora memberitahu alamat rumahnya kepada Robin, perempuan itu selalu pergi saat tuannya ke sekolah. Ada kemungkinan kalau dia bersembunyi ke sekolah untuk bisa terus dekat dengan tuannya. Sepertinya, setelah masalah dengan bayi itu, dia sudah mulai khawatir kalau-kalau kelompok kita berubah pikiran."     

Lyra mengusap dagunya, berpikir sejenak. "Rava kemungkinan besar bangun siang. Anak-anak masuk sekolah, dia masih tidur."     

"Oke, kita culik dia sekitar jam tujuh pagi." Lois memajang senyum penuh arti. "Tapi, apa kamu siap dia akan marah padamu."     

"Kalau terus memikirkan perasaan orang, kita tidak akan pernah bisa maju."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.