A Song of the Angels' Souls

44. Tekanan



44. Tekanan

0Di halaman rumah Stefan, Marcel dan Lois turun dari mobil. Marcel langsung memberikan kunci kendaraannya kepada pak Herman, sang ajudan Stefan. Pak Herman pun memberikan sapaan selamat datang, dan bergegas memakirkan mobil Marcel ke tempat yang seharusnya.     
0

"Aku ini sebenarnya penasaran. Apa ada alasan khusus sampai kalian harus punya rumah sendiri-sendiri dan tidak tinggal dengan ayah kalian?" tanya Lois, mengamati interior minimalis nan mewah begitu memasuki rumah Stefan.     

Marcel mengangkat bahu. "Susah menjelaskannya."     

Mereka terus berjalan sampai akhirnya tiba di kamar paling belakang lantai satu. Di depan pintu kamar itu, Rava sedang berdiri sambil bersandar ke tembok. Marcel tak peduli dengan pemuda itu dan langsung masuk, sementara Lois memberikan senyum lebar, yang dibalas anggukan kaku dari Rava.     

Stefan, Kacia, dan Lyra sudah berkumpul di dalam kamar, mengelilingi sebuah dipan tempat Ione tengkurap dengan tubuh diperban. Matanya terpejam erat, kedatangan Marcel dan Lois sama sekali tak membuatnya bergerak.     

"Aku heran sama kamu, Stefan. Jelas-jelas kita musuh, tapi kenapa kamu malah minta aku datang ke sini?" tanya Marcel, memandangi sang adik yang terduduk lesu di sebuah kursi.     

Tak memandang kakaknya itu, Stefan menunduk dalam-dalam. "Kita kan sudah sepakat mau melawan Zita. Dengan kondisi Ione sekarang, dia tidak bisa bertarung. Strategi kita bakalan berubah. Tadinya, kita kan mau menggunakan kemampuan Ione untuk mengawali pertarungan."     

"Hal seperti itu bisa dibicarakan lewat telepon saja," desah Marcel, melipat tangan di dada.     

Stefan menelan ludah. "Anggota kita cukup banyak, kurang maksimal kalau dibicarakan lewat telepon, Kak."     

Begitu dua saudara laki-laki itu tak berkata-kata lagi, Lois mendekati Lyra, lantas bertanya, "Apa kita tidak bisa menunda pertemuan kita dengan Zita?"     

Lyra menoleh kepada saudari angkatnya itu. "Aku sudah bilang ke Piv, tapi katanya pihak penyelenggara belum tentu mau. Lagipula, kalau membiarkannya lebih lama lagi, kemungkinan orang yang dibunuhnya bisa semakin banyak."     

Melihat wajah Stefan yang begitu sendu, Marcel pun kembali mendesah, "Stef, ayo keluar. Aku ingin ngomong sesuatu ke kamu."     

Bergerak kaku, Stefan menengok kepada kakaknya itu, baru kemudian bangkit dari kursi. Marcel pun keluar dari kamar itu dengan diikuti sang adik. Mereka berdua terus berjalan sampai tiba di perpustakaan pribadi Stefan.     

"Kamu lagi nggak bisa berpikir jernih, tapi ingin menjelaskan sesuatu. Makanya, kamu minta aku buat datang. Menurut kamu, dengan berbicara secara langsung, kamu bisa lebih jelas menerangkan apa yang ada di kepalamu, kan?" cerocos Marcel, duduk di pinggiran meja kerja seraya memasukkan kedua tangannya ke saku celana.     

"Aku cuma ...." Stefan tercekat hebat, tak sanggup menatap sang kakak. "Intinya, kita butuh pemimpin kalau mau melawan Zita, aku lagi nggak sanggup ...."     

"Jadi, kamu nganggep diri kamu sendiri itu pemimpin dalam misi ini, hah?" Marcel terkekeh meremehkan. "Padahal menganggap dirinya sendiri pemimpin, tapi karena masalah begini kamu malah jadi cengeng." Tawa Marcel makin keras. "Dasar lemah!!!"     

Stefan sedikit tersentak mendengar bentakan sang kakak yang menggelegar itu.     

"Kamu mencintai bidadari itu, kan?" serang Marcel sengit.     

Tak menjawab, Stefan cuma menunduk dengan kedua tangan terkepal erat.     

"Gara-gara jadi budak cinta, kenapa kamu jadi lemah begini?" Lagi-lagi Marcel tertawa meremehkan, lantas menghampiri adiknya itu. Tangan Marcel pun mendarat ke kedua pundak Stefan. "Mungkin karena masih terlalu kecil waktu itu, kamu belum ngerti. Karena ibu meninggal, ayah kita tenggelam dalam kesedihan, Fan. Saking terpuruknya, dia jadi nggak sempat memperhatikan kita. Ayah kita juga jadi budak cinta dan itu menghancurkan dirinya dan orang di sekitarnya."     

Akhirnya, Stefan menghadap kakaknya itu. Pandangannya menajam. "Bukannya Kakak juga mencintai kak Anggun?"     

Marcel langsung menarik tangannya dari pundak Stefan, berjalan ke salah satu sudut ruangan sambil memunggungi sang adik.     

"Tapi, aku nggak jadi budak seperti kamu." Marcel mengusap wajahnya. "Cinta itu t*i kucing, Stef."     

Setelah mengatakan hal itu, Marcel mulai beranjak dari sana. Namun, ketika akan memutar kenop pintu, ia mematung. "Aku akan menyusun strategi dan memimpin misi ini, Stef. Kamu cukup diam saja di rumah bersama kekasihmu itu. Yah, kalau dia masih kuat, kamu bisa ng*w* sama dia."     

Akhirnya, Marcel benar-benar pergi, meninggalkan Stefan yang kini memejamkan mata erat-erat.     

***     

"Selamat datang, Tuanku," sapa Ione lemah, tepat ketika Stefan kembali memasuki kamar.     

"Ione?" Stefan bergegas mendekati bidadarinya itu. "Kamu sudah sadar?"     

Ione terkekeh pelan. "Sepertinya begitu. Buktinya, sekarang aku bisa berbicara denganmu."     

Kacia, Lois, dan Lyra yang masih ada di situ pun saling berpandangan, kemudian meninggalkan kamar. Stefan pun langsung menduduki kursi di samping dipan tempat Ione berbaring.     

"Maafkan aku, Yon," desah pemuda itu.     

Memejamkan mata, Ione memajang senyum samar. "Kenapa harus minta maaf?"     

"Seharusnya, yang pertama kuaktifkan itu kekuatan pembeku, bukan gelembung pelindung .... Waktu itu, aku bener-bener nggak fokus, Yon."     

"Sudahlah." Ione melebarkan senyumnya. "Kalau kamu mengaktifkan kekuatan pembeku di awal, barangkali di akhir pertarungan kita malah kesusahan kabur dari Medora. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi dalam situasi lain. Jadi, jangan terlalu keras kepada dirimu sendiri."     

Stefan menarik napas panjang, kemudian memijati keningnya. "Melihat kondisi kamu yang jadi begini. Aku berpikir, barangkali, membunuh itu ada benarnya ...."     

"Jangan samakan Medora dengan Zita," potong Ione lembut. "Medora melakukan apa yang dilakukannya karena dia punya alasan. Dia tidak sedang bersenang-senang. Aku yakin, dia masih mempunyai cahaya di hatinya, walau mungkin masih samar. Tugas kita adalah memperkuat cahaya itu, Stefan."     

Akhirnya, Stefan bisa menyunggingkan senyum di mulutnya, walau masih sangat tipis. "Ini menunjukkan kalau kamu sebenarnya nggak ingin membunuh, Yon. Kalau benar-benar nggak ada alasan yang kuat, ya kamu nggak akan mungkin membunuh. Maaf, selama ini aku salah paham sama kamu."     

"Yah, terimakasih sudah mau mengerti." Ione semakin merentangkan senyumnya. "Ah, penyembuhan lukaku ini pasti akan lama. Aku bisa bosan nanti."     

"Iya, iya. Nanti kamu bakal kubeliin hape yang baru." Stefan sedikit terkekeh. "Tapi sabar, ya. Sebentar lagi, aku bakal minta pak Herman buat beli."     

"Aaaah, padahal aku ingin segera menikmati foto pria-pria berotot itu!" keluh Ione dengan nada yang berlebihan. "Terutama artis bernama Robin itu! Proporsi tubuhnya pas sekali! Enak sekali untuk dilihat! Penyembuhanku pasti bisa lebih cepat kalau terus menikmati tubuhnya .... Maksudnya menikmati foto tubuhnya!"     

"Bagaimana kalau kamu ngeliat badanku aja." Stefan terkikik geli.     

"Huh? Kamu cemburu? Kalau cemburu bilang saja ...."     

Ione menghentikan ucapannya ketika satu sosok Piv melompat ke hadapan mukanya.     

"Kemampuan bertarungmu benar-benar menurun, Ione. Dulu, kamu tidak akan terluka parah seperti ini," ujar sosok berbulu putih itu.     

"Kamu datang cuma mau mengejekku, wahai suruhan dari pemerintah dengan tubuh cebol yang aneh luar biasa dan tak bisa dinalar oleh akal manusia kebanyakan?" cerocos Ione sebal. "Kalau tidak ada urusan lain, kamu pergi saja sana. Ekspresi wajahmu membuatku ingin buang air besar, padahal turun dari tempat tidur saja susah. Bisa-bisa aku berak di kasur."     

"Ah, aku datang ke sini untuk memberitahukan berita penting," ujar Piv, lantas menoleh kepada Stefan. "Pihak penyelenggara memutuskan, pertemuan antara kelompok kalian dengan Zita akan dilakukan saat ini juga."     

Ione langsung terhenyak, sementara Stefan bangkit dari kursinya dengan mata membelalak.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.