A Song of the Angels' Souls

55. Dampak



55. Dampak

0Medora duduk di pinggiran dipan kamarnya. Gigi-ginya terus merapat. Sedari tadi, tubuhnya bergetar. Sosok Varya terus tercetak jelas di kepalanya. Bukan. Bukan sosok Varya saja yang membuat Medora dilanda kecemasan tak terkira seperti itu.     
0

Zita saja sudah sangat merepotkan. Sekarang malah ada Varya, yang kemampuan bertarungnya sangat gila seperti itu. Belum lagi saat ini tak ada yang bisa diajak bekerjasama. Bidadari lain sudah tahu tipu muslihatnya. Ia merasa jalannya menjadi ratu semakin terjal saja.     

Dia merasa seperti dipaksa berjuang sendiri, seperti ketika dirinya hidup di jalanan yang keras.     

"Bu, Dor ...."     

Suara lirih Gilang itu sedikit menyentak Medora. Mulut bidadari itu sudah sangat gatal untuk membentak si bocah cilik, yang tidak tahu mengenai situasi dirinya sekarang. Namun, seperti biasa, Medora memajang senyum teduh andalannya, walaupun kali ini dia membutuhkan waktu agak lama karena bibirnya terasa begitu berat.     

Medora menoleh kepada tuannya, yang melongok ke dalam kamar, kemudian mengecek jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lebih. Medora tidak sadar sudah meratap cukup lama sejak sore tadi.     

"Ah, maaf ya, Lang." Medora bangkit dari dipan. "Kamu pasti lapar sekali. Ibu masak sebentar, ya."     

"Anu .... Aku sudah masakin mie buat Bu Dor," ucap Gilang, terdengar takut-takut.     

Kalau boleh jujur, Medora senang-senang saja dirinya tak usah repot-repot memasak. Namun, kalau yang memasak bocah cilik ini, Medora jadi sangsi. "Eh, Beneran? Wah, kamu hebat sekali, Lang .... Eh, kok kamu malah murung begitu? Seharusnya kamu bangga sudah bisa masak sendiri!"     

Gilang memain-mainkan jarinya. Kepalanya ditekuk dalam-dalam. Dengan suara seperti hampir menangis, dia berkata, "Takut gak enak, Bu .... Dulu emang udah pernah diajarin sama Bapak, tapi waktu itu nggak bisa-bisa, jadinya nggak pernah lagi, deh."     

Perlahan, Medora mengusap rambut Gilang dengan lembut. "Kita kan belum tahu hasilnya bagaimana. Yuk, kita makan. Ibu sudah lapar sekali."     

Medora merangkul Gilang untuk meninggalkan kamar. Begitu sampai di ruang tengah, Medora langsung tahu dua mangkuk mie instan yang sudah tersaji di meja pendek itu tak akan mungkin terasa enak. Kuahnya terlalu banyak dan agak lebih bening dari biasanya. Aroma gurih yang biasa menguar juga tak tercium sama sekali.     

"Oke ...." Masih tersenyum, Medora duduk di tikar, menahan hasratnya untuk membuang makanan itu. Mienya saja tampak masih agak kaku, tanda kalau Gilang kurang lama merebusnya. "Ibu coba, ya."     

"Aku nggak bisa masak pake telor, jadi begitu doang," tutur Gilang, masih terdengar seperti mau menangis.     

Benar saja. Begitu Medora menyeruput kuah mie itu, yang dirasakannya cuma hambar. Dia seperti menyeruput air putih panas saja.     

Gilang pun mulai memakan mienya. Baru satu sendokan, ekspresi murung di wajahnya makin kentara. "Tuh, kan. Nggak enak."     

Medora ingin mendengus. Memasak mie instan saja becus. Menjadi mandiri saja tidak sanggup. Kenapa anak ini menjadi tuannya?     

Meski begitu, Medora pun mulai menikmati mie itu dengan lahap.     

"B-bu Dor nggak usah maksain kalau nggak enak," cegah Gilang, malah terlihat makin ingin menangis.     

Kalau tuannya lebih kompeten, Medora tidak akan terbebani seperti ini. Dia tak perlu memaksa diri untuk tersenyum dalam kondisi tak menyenangkan seperti ini. Dia tak perlu menyantap makanan tak enak hanya demi menyenangkan tuannya.     

Bahkan, dia rela menukar Gilang dengan Rava. Rava memang terlihat kikuk, tetapi paling tidak pemuda itu bukanlah beban.     

"Enak kok, Lang." Dalam waktu singkat, Medora sudah menandaskan mie itu. "Tapi, sebenarnya bisa lebih enak lagi, sih."     

Gilang menunduk dalam-dalam. Matanya sudah mulai dilapisi cairan bening. "A-aku cuma pengen bantu Bu Dor. Kalau habis berantem, Bu Dor masih ngurusin aku. Padahal, Bu Dor pasti capek .... Aku .... Aku ...."     

Medora melebarkan senyumnya. Senyum yang tentunya masih saja palsu. "Gilang mau bikinin makanan aja Ibu udah seneng banget, loh. Beneran. Itu artinya, kamu perhatian banget sama Ibu."     

Melihat Gilang masih saja menunduk, Medora sedikit menarik napas, kemudian memeluk bocah cilik itu. "Nanti Ibu ajarin bikin mie yang enak, deh. Biar kamu bisa masakin buat bapak kamu juga."     

Meski Gilang menahan tangisnya setengah mati, suara isakannya sekilas terdengar. Medora pun melirik ke salah satu sudut ruangan. Dirga sudah berdiri di sana, masih memakai jaket ojek onlinenya, tengah memandangi adegan itu dalam diam. Seperti biasa, ayah Gilang itu masuk ke rumah tanpa memberi salam. Sepertinya Gilang belum menyadari keberadaan orangtuanya itu.     

Medora pun memberikan senyum hangat kepada lelaki itu.     

***     

Di sebuah kamar yang begitu remang, Zita berdiri sambil menghadap sebuah cermin. Matanya mengamati tubuh telanjangnya yang penuh luka dan lebam. Tak hanya mengamati bahkan. Tangannya menjelajah tubuhnya sendiri itu. Sesekali dia mendesah nikmat ketika jari-jemarinya menjamah bagian yang memicu syaraf sakitnya.     

Napas berat terdengar dari salah satu sudut ruangan. Bagas tergeletak tanpa busana di lantai. Kulitnya begitu mengilat karena dilumuri keringat. Matanya terpejam erat.     

Dia terlihat seperti seseorang yang baru saja melakukan pekerjaan maha berat, kemudian pingsan.     

"Varya ...," desah Zita dengan wajah yang merona merah. Matanya kini berair, padahal tak ada apa pun di sana yang bisa memicu kelenjar air matanya. "Kamu hebat sekali, Varya .... Aaah ...."     

Zita semakin intens meraba tubuhnya sendiri. Begitu juga desahannya, yang semakin melengking. Dia seperti sedang berhubungan badan dengan sesuatu yang tidak terlihat wujudnya.     

"Varya .... Varya .... Varya .... Aaah! Varya! Kamu sungguh luar biasa! Kamu itu makhluk yang keindahannya tak terkira! Aku rindu kepadamu Varya! Aku ingin merasakan pukulan kerasmu itu, Varya! Kamu sungguh-sungguh membuatku bergairah! Aaaaaahhhhh ....."     

Mendengar monolog bidadarinya itu, Bagas membuka matanya, kemudian meraih selimut dari dipan. Ia pun meringkuk di sudut ruangan, mengerudungkan selimut ke tubuhnya, gemetaran layaknya kucing disiram air.     

Sepertinya, kejadian tadi tak akan pernah bisa dilupakan Bagas. Kalau biasanya Zita cuma minta ditemani dengan bertelanjang dada, sekarang bidadari sinting itu meminta sesuatu yang lebih. Sesuatu yang menghancurkan harga diri Bagas sebagai pria dewasa, sebagai suami yang mempunyai istri dan anak, dan sebagai manusia seutuhnya.     

Semua itu dilakukan Zita dengan alasan untuk memulihkan luka. Ya, kondisi Zita sekarang memang lebih baik dari sebelumya. Walaupun tubuhnya masih dihiasi lebam-lebam yang cukup jelas, tetapi bidadari itu sudah bisa berdiri tegak. Tidak terpincang dan sempoyongan seperti tadi.     

Namun, untuk mencapai itu, Bagas lah yang menjadi korbannya.     

"Aaaaah .... Aaaaah ...." Gairah Zita semakin meninggi. Ia pun bersimpuh ke lantai. Salah satu tangannya mulai merambah bagian yang tidak seharusnya, tepatnya di area bawah tubuhnya. "Aaahn .... Aaahn .... Varya .... Aaahn .... Aku akan mengalahkanmu .... Tak akan kubiarkan orang lain merenggutmu dariku .... Aaaaaaahhhh ....."     

Mendengar desahan penuh nikmat itu, Bagas malah semakin merapatkan tubuhnya. Semua itu terdengar begitu salah di telinganya.     

"Bagaaas .... Kamu sudah bangun?" desah Zita lagi. "Kenapa kamu diam sajaaaa ...."     

Jantung Bagas seperti baru saja dirajami ribuan jarum. Apakah mimpi buruknya ini belum berakhir?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.