A Song of the Angels' Souls

56. Tubuh



56. Tubuh

0Pria paruh baya berperut buncit itu duduk di sofa mewah dengan aksen bulu lembut warna biru terang. Di ruangan dengan hiasan hewan-hewan yang diawetkan itu, dia berteman dengan sunyi. Suara yang terdengar hanyalah nada tunggu dari ponsel yang ia tempelkan di telinganya.     
0

Cukup lama menanti, akhirnya panggilan itu diangkat.     

"Halo, Yah?" Suara perempuan terdengar dari ponsel itu.     

"Ah, halo Tiara. Gimana kabar keluarga kamu di sana?" sapa pria itu.     

"Kami baik kok, Yah," jawab perempuan yang dipanggil Tiara itu, terdengar datar, bahkan terkesan kurang bersemangat. "Ayah gimana?"     

Obrolan mereka pun berlanjut. Di antara kalimat-kalimat yang mereka ucapkan, terkadang ada jeda beberapa detik. Mereka seperti kesulitan melanjutkan topik pembicaraan. Padahal, pada intinya mereka berdua mengobrol tentang kehidupan masing-masing saja, seperti layaknya anak dan orangtua yang terpisah jauh.     

"Eh, Oliver di mana? Sudah lama Ayah tidak mengobrol dengan cucu Ayah, nih," pinta si pria.     

"Dia sedang keluar sama daddy-nya ...." Tiara tercekat, kemudian menghela napas. "Yah .... Sepertinya, kita harus mengakui kalau ini nggak akan akan berhasil .... It doesn't work. Hubungan kita sebagai keluarga sudah terlalu renggang, Yah. Ayah ngerasa nggak kalau obrolan kita tadi itu aneh banget?"     

Emosi si pria seketika menggelegak, tetapi dia mati-matian menahan diri untuk tak menghardik. "Maka dari itu, Tiara. Ayah ingin memperbaiki hubungan kita. Tidak hanya dengan kamu saja, tetapi juga dengan saudara-saudara kamu dan Mami kamu."     

"Aku dan adik-adikku masih belum bisa lupa dengan semua yang Ayah lakukan. Kenangan tentang tuntutan-tuntuan agar kami menjadi yang terbaik, juga hukuman-hukuman yang kami dapatkan kalau kami tidak memenuhi ekspektasi Ayah, semua itu terus membekas dalam pikiran kami, Yah," tutur Tiara, juga terdengar menjaga nada bicaranya agar tidak meninggi. "Paling kasihan itu Andre. Karena aku dan Febian sebagai kakaknya tidak bisa menjadi orang yang Ayah harapkan, Ayah mendorong Andre terlalu keras .... Sekarang, dia sampai harus rebah narkoba begitu."     

Si pria hampir berkata itu semua dilakukannya demi mereka. Namun, dia sadar hal itu tidak akan membuat semuanya menjadi baik. Kata-kata seperti itu tidak akan mengembalikan keluarganya.     

"Dan aku nggak akan lupa perlakuan Ayah kepada Josh sebelum aku menikah dengannya." Tiara mulai menangis sesenggukan. "Hanya karena Ayah nggak setuju aku menikah sama dia, Ayah sampai membuat Josh dikeluarkan dari pekerjaannya. Keluarga Josh juga diancam ...."     

"Hei, hei. Harus berapa kali Ayah meminta maaf? Ayah benar-benar menyesal. Perbuatan Ayah itu memang kelewatan, Tiara," potong si pria dengan napas mulai memburu. "Ayah ini ...."     

"Sudah cukup." Tiara balas memotong ucapan ayahnya itu. Suaranya terdengar parau karena tangis. "Aku nggak mau ngomong sama Ayah lagi. Barangkali nantinya aku akan mau bicara sama Ayah, tapi yang jelas bukan sekarang waktunya."     

Hasrat si pria untuk membentak sudah begitu mendesak dari dalam dirinya. Namun, sekali lagi dia tahu hal itu hanya akan memperburuk keadaan.     

"Ya, sudah. Selamat malam .... Ah, di sana masih sore, ya?" ucap pria itu akhirnya, memegangi kening.     

Tiara tak membalas ucapan sang ayah dan langsung menutup panggilan tersebut.     

Pria itu mengusap wajahnya, kemudian membuka aplikasi chat di ponselnya. Ia membuka direktori chat anak keduanya. Bahkan setelah beberapa hari dirinya berhasil mendapatkan nomor itu, ia masih belum mendapatkan balasan pesan. Padahal, setiap hari dia pasti mengirim pesan kepada anak keduanya itu. Dari mulai menanyakan kabar, sampai bertanya apa yang dibutuhkan. Dia juga sudah beberapa kali mencoba menelepon, tetapi tidak pernah diangkat.     

Anaknya itu cuma membaca pesannya saja.     

Setelah mengirimkan kalimat permintaan maaf yang kesekian, pria itu membuka media sosial. Status yang dilihatnya pertama kali adalah foto istrinya di depan menara Eiffel. Sudah berapa lama dia tidak menjalin komunikasi dengan istrinya itu? Dua bulan? Tiga bulan? Lebih?     

Dia tak akan heran kalau besok dirinya mendapat surat panggilan untuk sidang cerai.     

Senyum getir terbentuk di wajahnya. Barangkali dirinya pantas mendapatkan semua ini. Namun, tentu saja itu tetap menyakitkan. Semua harta yang dikumpulkannya untuk membesarkan anak-anak itu dan juga yang diberikan kepada istrinya seolah semuanya sia-sia saja. Mereka tak memberi timbal balik. Buktinya, sekarang dia sendirian.     

Kali ini dia meremas kepalanya. Lagi-lagi, ego menguasai pikirannya.     

***     

Mengenakan kimono tidur tipis yang begitu menerawang dan menunjukkan lekuk tubuhnya, Varya duduk bersila di atas kasur. Rambut abu-abunya dibiarkan tergerai. Matanya memejam dan napasnya begitu teratur.     

"Kami baru sadar kalau di kamarmu ini tidak ada cermin," celetuk Piv, yang berdiri di hadapan bidadari berkulit seputih pualam itu.     

Varya sedikit menghela napas. "Kalau tidak akan memberikan informasi penting, lebih baik kamu pergi saja."     

Karena menurutnya wajahnya ini cuma membawa petaka, Varya tak mau memandangnya sama sekali. Dia selalu menghindari cermin.     

"Aku cuma mau bilang, pihak atas kurang puas dengan kinerjamu tadi. Seharusnya, kamu paling tidak bisa menghabisi salah satu dari mereka. Seharusnya, kamu memilih untuk menghabisi Zita terlebih dahulu ...."     

"Aku sudah tahu inti dari apa yang akan kamu ucapkan," potong Varya datar. "Kinerjaku tidak maksimal. Aku salah mengambil keputusan. Aku meminta maaf, sampaikan kepada mereka dan pergilah sekarang juga."     

Tanpa mengucapkan apa pun lagi, Piv pergi begitu saja.     

Varya membuka matanya. Mendengar berita dari pihak atas membuat konsentrasinya untuk bermeditasi buyar. Mereka yang cuma ongkang-ongkang kaki, tidak tahu tentang apa yang terjadi di lapangan.     

Sejak dulu, Varya sangat mengutuk mereka. Namun, sebagai prajurit, dia harus mengikuti perintah orang-orang itu.     

Salah mereka juga memintanya melawan banyak bidadari sekaligus. Mereka beralasan itu untuk mempertunjukkan kalau dia pantas menjadi ratu. Namun, pada akhirnya semua itu menjadi kacau. Dia pulang dengan tangan hampa.     

Mendengar ketukan dengan nada khusus dari pintu kamar, Varya menarik napas panjang. "Masuk."     

Pintu itu berderit terbuka. Tuan Varya—pria paruh baya berperut buncit itu—pun masuk dan mengunci pintu dari dalam.     

"Coba kutebak." Varya memajang senyum angkuhnya. "Kamu kesepian lagi kan, Candra?"     

Pria bernama Candra itu mengangkat bahu, kemudian mendatangi Varya sambil tersenyum samar. "Begitulah."     

Varya turun dari dipan, langsung membuka ikatan kimononya. Mulutnya sedikit membuka dan gerakannya begitu menggoda, memicu rona kemerahan di wajah Candra dan membuat napas pria itu memberat.     

Begitu kimono itu luruh ke lantai, Candra bergegas menanggalkan pakaiannya. Pemandangan kontras pun terjadi. Seorang wanita bertubuh indah yang dihiasi otot-otot yang agak menonjol, berhadapan dengan seorang pria paruh baya dengan tubuh penuh lemak dan kulit yang mulai mengeriput. Mereka berdua pun berjalan saling mendekat.     

Varya sudah biasa melakukan ini. Sejak dulu masih di militer, kecantikan dan keindahan tubuhnya sudah dimanfaatkan. Dia berkali-kali disuruh melayani atasan demi bisa naik pangkat, atau tidur dengan pejabat politik agar setiap usulannya untuk keprajuritan paling tidak dajikan ke rapat dewan. Tak hanya dua itu saja, masih banyak lagi alasan pria-pria itu menikmati tubuhnya.     

Semua itu selalu membuatnya ingin muntah. Apakah dia sudi tubuhnya diraba-raba, diendus-endus, dan diremas-remas seperti yang dilakukan Candra sekarang? Tentu saja tidak. Namun, dia tetap meresponnya dengan desahan bergairah dan gestur yang menggoda.     

Dia sudah terbiasa. Jadi, ketika tahu dengan menyenangkan tuannya ini energi kehidupan yang mengalir ke tubuhnya jadi lebih lancar, Varya tidak perlu berpikir dua kali ketika Candra mengajaknya bercumbu.     

Meskipun demikian, dia tidak mau prajurit-prajurit di dunianya sekarang dan di masa depan mendapat perlakuan seperti dirinya. Dia ingin menghentikan praktik menjijikan seperti itu. Bertahun-tahun di militer dan tak bisa membuat perubahan, dia pun menyimpulkan satu hal: dirinya harus menjadi seseorang yang punya pengaruh besar.     

Begitu menjadi ratu, dia akan merombak semuanya. Maka dari itu, dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang datang padanya ini. Dia harus menjadi yang terakhir bertahan.     

Varya mendorong Candra ke kasur, kemudian naik ke atas tubuh pria itu. Tanpa pikir panjang, dia memasukkan bagian tubuh Candra itu ke dalam dirinya. Kemudian, pinggangnya pun mulai bergerak liar.     

"Aaaahn .... Aaaahn .... Ahnnnn ...." Desahan penuh kenikmatan pun terus lolos dari mulut Varya. Sementara itu, Candra malah menggeram-geram bak binatang buas yang sedang memburu mangsa.     

Gerakan pinggul Varya semakin menggila, sampai-sampai membuat dipan tempat mereka berada jadi berderit. Tangan Candra pun semakin tak terkendali menjelajahi tubuh bidadarinya itu.     

Varya memeluk Candra, lantas mendesakkan bibirnya ke mulut tuannya itu. Bibir dan lidah keduanya pun beradu, membasahi satu sama lain.     

Varya mendongak. Tubuhnya melengkuk ke belakang. Desahannya berubah menjadi lenguhan binal. "Aaaaaahhhhnnnn!!!"     

Namun, tetap saja Varya tidak menikmati semua itu.     

***     

Candra berbaring di kasur dengan terengah-engah dan keringat membasahi sekujur tubuh telanjangnya. Dia tak menghitung sudah berapa kali dirinya melakukan hal itu dengan Varya. Lebih dari satu yang jelas. Sementara itu, Varya yang dirangkulnya tampak biasa saja. Sang bidadari memang berkeringat, tetapi itu pun sangat sedikit. Napasnya juga normal-normal saja. Seolah-olah, tadi itu hanyalah aktivitas ringan baginya.     

"Kamu memang luar biasa, Bidadariku. Kamu yang terbaik," desis Candra di telinga Varya.     

Meski kata-kata itu memicu mual di kerongkongannya, Varya tetap saja tersenyum. "Terimakasih, Candra."     

"Jadi, apa kamu sudah mau menceritakan alasanmu menjadi ratu?" tanya Candra, mulai meraba tubuh Varya lagi.     

"Kamu menanyakan hal itu lagi?" decak Varya, ingin sekali menepis tangan berkulit kasar itu dari badannya. "Kamu sendiri belum mengatakan apa keinginanmu .... Ahn ...."     

Varya sedikit berjengit ketika tangan Candra menggapai bagian yang tak seharusnya dan melakukan sesuatu di sana.     

"Sudah kubilang, aku ini cuma ingin membantu kamu menjadi ratu, tidak lebih."     

"Kamu masih berharap aku mempercayai omong kosongmu itu?" tanya Varya dengan nada sangsi, merasa bagian bawah tubuhnya semakin tidak nyaman. Ia sudah akan mengalihkan pertanyaan Candra dengan melakukan cumbu kembali, seperti yang sudah-sudah. Ia tak ingin Candra merasa lebih dekat secara emosional dengannya hanya karena dia terkesan sudah lebih terbuka. Di sisi lain, pertanyaan itu akan terus menganggunya di setiap malam kalau tak kunjung dijawab. Varya sudah mulai jengah. "Baiklah, akan aku ceritakan alasanku .... Hei, aku tidak bisa berbicara kalau kamu melakukan ini terus!"     

Perlahan, Candra menarik tangannya dari bagian bawah tubuh Varya. Tangan itu tampak berlendir. Memikirkan ada bagian yang keluar dari dirinya dan menempel di jari-jemari pria itu, Varya merasa begitu hina.     

"Intinya, karena orang-orang di atas membuat aturan yang tidak menguntungkan kemiliteran kami, tetapi ratu tidak melakukan apa-apa," tutur Varya akhirnya.     

Candra memandangi kilatan lendir di jari-jemarinya itu. "Hooo .... Begitu, toh? Kukira kamu punya alasan yang lebih personal."     

Varya tertawa getir. Dia tak mengerti mengapa respon Candra yang seperti tidak bersemangat itu membuatnya ingin meluapkan emosi.     

"Salah satu contohnya sewaktu naga raksasa dan pasukannya itu datang." Varya melanjutkan ceritanya. "Pasukan dan peralatan yang dikirim untuk kami itu sangat tidak memadai. Bukannya menambah bala bantuan ke medan perang, para pejabat malah meminta beberapa pasukan untuk menjaga kediaman mereka. Aku masih bisa maklum kalau mereka berkumpul di suatu tempat dan mini dilindungi .... Laknatnya adalah, mereka meminta banyak pasukan dan persenjataan untuk melindungi rumah mereka masing-masing."     

Varya sedang tidak berbohong atau mengada-ngada. Itu adalah alasan lain dirinya ingin menjadi ratu. Intinya, dia benar-benar ingin merombak sistem yang sudah ada.     

"Ah, tapi untungnya kalian menang, kan? Kamu berhasil mengalahkan naga itu dengan tangan kosong?"     

"Apa yang dikatakan bidadari berbaju merah itu hanya omong-kosong belaka. Aku sendiri tidak tahu rumor itu datang dari mana." Varya lalu memiringkan tubuhnya untuk menghadap sang tuan. Dengan senyum penuh gairah, dia pun mendesah, "Daripada membicarakan hal membosankan seperti ini, bagaimana kalau kamu menghangatkan tubuhku lagi."     

Senyum sumringah pun langsung terbentuk di bibir Candra. Tanpa pikir panjang, pria itu kembali menjamah tubuh Varya dengan tangannya. Kemudian, bibir mereka pun bertemu kembali.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.