A Song of the Angels' Souls

58. Bencana



58. Bencana

0"Kenapa dia tahu rumahku?" desis Marcel. "Haruskah kupanggil yang lain?"     
0

"Aku punya rencana, tapi kalau ini gagal kamu baru hubungi mereka." Menelan ludah, Lois turun dari mobil, langsung mengganti busananya dengan baju tempur. Teringat akan pertarungannya dengan Varya dua hari lalu, Lois bisa merasakan tubuhnya mulai bergetar.     

Baru saja Lois menapakkan dua kakinya ke aspal, Varya mulai melesat maju.     

Bukannya mengaktifkan senjata dan memasang kuda-kuda, Lois malah berlutut dan menaruh tangan kanannya ke dada kiri.     

"Saya, Eloisia, putri dari Egan sang pemberi dari kota Ciestevan, dengan segala kerendahan hati memohon agar Anda merangkul saya dalam perjuangan Anda, wahai Varya sang pahlawan penakluk naga!" seru Lois, cepat dan lantang. "Saya akan membantu Anda untuk melawan para monster, sekaligus membawa Anda kepada kemenangan."     

Serta-merta Varya mengerem larinya, kemudian mengamati Lois, yang kini menunduk. "Ah, sebenarnya aku tahu tentang dirimu. Hanya saja, aku merasa kita ini musuh, sehingga tidak ada gunanya menyapamu."     

Lois sedikit membungkukkan tubuhnya. Jantungnya kini seperti akan meloncat dari tempatnya. Hanya ada dua kemungkinan, dirinya diterima atau tetap diserang. Lois sendiri justru tidak yakin akan kemungkinan pertama.     

"Aku mengenal ayahmu. Dia orang yang sangat terhormat. Dia benar-benar terhormat. Berbeda dengan, maaf saja, bangsawan-bangsawan lain yang tidak memberikan kontribusi apa pun untuk negeri," tutur Varya, lantas menoleh kepada tuannya yang tengah berjalan mendekat.     

"Aku melihat ada perkembangan yang menarik," ujar pria yang mengenakan kacamata hitam, topi, serta masker itu. Nada bicaranya terdengar antusias.     

"Angkat wajahmu, wahai Eloisia. Kalau kamu ikut denganku dan nantinya bidadari yang tersisa hanya kamu dan aku, apakah kamu siap untuk dibunuh?" tanya Varya tegas, kembali menatap Lois.     

Lois mengangkat wajahnya. "Saya akan meminta keringanan kepada pihak penyelenggara .... Tetapi, kalau memang itu yang harus terjadi, maka saya siap. Anda adalah orang yang pantas menjadi ratu, sementara saya hanyalah putri bangsawan yang keberadaannya tidak mempunyai nilai apa pun."     

Varya sedikit menelengkan kepala. "Apakah kamu rela bersumpah atas nama ayahmu, Egan sang pemberi dari kota Ciestevan?"     

"Saya bersumpah dengan kehormatan atas nama ayah saya, Egan sang pemberi dari kota Ciestevan!"     

Varya mengangguk, kemudian memberikan tepuk tangan ringan. "Baiklah, aku percaya kepadamu. Kamu adalah putri bangsawan yang terhormat."     

"Terimakasih!" Lois menundukkan kepalanya lagi. Ia pun menelan ludah, benar-benar tak menduga kalau Piv tak memberitahu Varya tentang hal itu. Tentang Lois yang mengingkari janji dan melukai Kacia. Aneh memang, kalau Varya diberitahu tentang kemampuan bertarung bidadari, kenapa tidak sekalian diberi info tentang yang lain?     

Namun, Lois jelas tak akan protes. Keadaan ini sangat menguntungkannya.     

"Kamu yakin mau melakukan ini, Varya?" tanya tuan Varya.     

"Aku yakin, Candra. Reputasi keluarganya sangat baik dan benar-benar terhormat. Hanya saja, mereka dizalimi cuma gara-gara membela mereka yang tertindas," jawab Varya.     

Marcel yang baru turun dari mobil pun langsung mengerutkan kening begitu mendengar nama Candra.     

"Yah, sudah terlanjur juga, sih. Dia sudah dengar namaku." Tuan Varya mulai melepaskan pernak-pernik penyamaran dari wajahnya. "Marcel itu anak pintar. Cepat atau lambat dia bisa menyimpulkan identitasku. Hanya ada satu nama Candra dengan postur tubuh begini yang tahu rumah Marcel Wiryawan."     

Marcel tersentak saat akhirnya melihat wajah pria itu. "Om Candra?"     

"Gimana kabar kamu, Cel?" Candra memberikan senyum lebar.     

"Kamu mengenalnya, Marcel?" tanya Lois, masih saja berlutut.     

"Aku ini bisa dikatakan rekan bisnis ayah Marcel," jawab Candra sebelum Marcel membuka mulut. "Lalu, bagaimana dengan adikmu, si Stefan? Apakah bidadarinya masih hidup? Apakah kamu akan mengajak mereka bergabung juga?"     

"Aku nggak tahu kalau bidadari Stefan itu masih hidup apa nggak, Om," timpal Marcel, jelas-jelas berbohong. "Yah, hubungan kami kan nggak bisa dibilang dekat, jadi aku nggak tahu keadaannya. Lagipula, dia itu naif dan ingin pertarungan ini dihentikan. Dia nggak mau ada bidadari yang mati lagi."     

"Ah, sebenarnya pertanyaan kedua itu retoris saja." Candra sedikit terkekeh. "Bidadari bernama Ione itu belum mati. Bidadariku ini belum mendapatkan kekuatannya. Harusnya, kalau Ione mati, ada tanda baru di tanganku, kan?"     

"Berdirilah." Varya sedikit menyentuh dagu Lois, menggerakkannya agar mendongak. "Putri bangsawan dengan kedudukan tinggi seperti kamu, sampai rela berlutut seperti ini, adalah hal yang luar biasa. Aku juga takjub saat melihat kamu dua hari lalu. Kamu benar-benar bisa bertarung, sangat berbeda dengan putri bangsawan lain yang terkenal manja."     

Lois kembali menelan ludah, kemudian bangkit berdiri, mati-matian menyembunyikan rasa gentarnya agar tak tampak di wajah. Bagaimanapun, dia masih ingat cara bertarung Varya waktu itu. Lois membayangkan dirinya babak belur dan sekarat seperti Ione. Terlebih lagi, Varya menguarkan aura yang benar-benar memberikan tekanan batin kepada Lois.     

"Errrr .... saya punya satu permintaan, Nona Varya." Lois memaksa dirinya untuk tersenyum. "Saya punya satu teman yang barangkali ingin bergabung."     

***     

Medora memasuki sebuah kafe dengan arsitektur penuh warna. Di bangunan yang setengahnya terisi itu, ia mencari-cari sebentar, sebelum akhirnya menemukan Lois yang duduk sendirian di meja paling pojok.     

Waktu berjalan ke sana pun, Medora terus mengedarkan pandangannya.     

"Aku benar-benar sendirian, kok," ujar Lois, mengaduk-ngaduk minuman coklatnya dengan tangan menyangga kepala. "Kamu lama sekali. Kamu tahu sudah berapa kali aku mengusir laki-laki yang ingin mengobrol denganku?"     

"Aku kan harus menidurkan Gilang dulu," timpal Medora, lantas duduk di hadapan Lois. Saat satu pelayan datang padanya, ia hanya memesan teh manis hangat. "Jadi, benarkah apa yang kamu katakan lewat telepon tadi? Varya mendatangimu dan kamu bersumpah untuk menjadi anak buahnya?"     

"Aku tidak punya pilihan lain." Lois mengusap wajahnya, sedikit tertawa getir. "Auranya gila sekali. Berdiri di hadapannya saja sudah bisa membuat hati dan tubuhku bergetar."     

Senyum kemenangan pun terbentuk di bibir Medora. "Aku tahu tujuanmu memanggilku ke sini. Aku tidak akan mengejekmu karena telah menolak ajakanku. Yang penting, sekarang kita sudah jadi rekan seperjuangan. Jadi, mohon kerjasamanya."     

"Cih!" Lois berdecak keras. "Sudah cukup basa-basinya! Sekarang, mari kita bahas tentang Varya untuk mencari kelemahannya. Selain kemungkinan bahwa pihak atas memberikan informasi tentang para bidadari kepada Varya, tak banyak yang kita ketahui tentangnya."     

"Yah, bahkan kita tidak tahu senjatanya seperti apa. Dia tidak mengeluarkannya saat kita bertarung dengannya. Atau memang senjatanya tangan kosong?"     

"Lebih tepatnya, sarung tangan logam dia itulah senjatanya. Kemampuan pedang panjangku bisa menusuk armor bidadari, tetapi tidak bisa menembus senjatanya. Nah, Varya bisa memegang pedang panjangku itu, bahkan menariknya."     

Medora manggut-manggut. "Pantas saja pukulannya keras sekali. Barangkali, sepatu, pelindung lutut, dan pelindung sikutnya itu juga senjata .... Lalu, kita melihatnya sudah punya tiga kemampuan. Antara dia terus membunuh banyak monster untuk membuka kemampuan yang terkunci, atau dia sudah membunuh bidadari lain dan mencuri kemampuannya."     

Pesanan Medora pun tiba. Kedua bidadari itu pun membisu, sibuk dengan pikiran masing-masing. Keadaan itu berlangsung cukup lama, sampai akhirnya Lois meremas kepalanya.     

"Sial, aku tidak bisa menemukan kelemahannya sama sekali," keluh Lois.     

"Kita harus bersabar." Medora menyeruput tehnya. "Jalan satu-satunya, kita harus sesering mungkin berada di sisinya. Kita harus terus mengamati Varya untuk mencari kelemahannya."     

Lois merapatkan gigi-giginya dan mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Melihat hal itu, Medora kembali tersenyum.     

"Ah, kamu khawatir kalau Varya keburu membunuh salah satu temanmu itu, ya? Barangkali si mata iblis itu? Lyra?" ucap Medora lagi. Mendapat tatapan tajam dari lawan bicaranya itu, Medora justru melebarkan senyumnya. "Dia yang pertama kali maju untuk menolongmu waktu itu, kan? Ah, dari tatapan matamu sekarang, aku jadi tahu kalau hubungannya denganmu itu lebih dari sekedar kerjasama ...."     

"Berisik, kamu tidak tahu apa-apa tentang kami." Lois bangkit dan menaruh selembar uang di meja. "Aku mau pulang!"     

"Ngomong-ngomong, kenapa kamu tidak bekerjasama dengan teman-temanmu itu dan malah memilih aku?"     

Bibir Lois langsung membentuk senyum kecut. "Karena mereka itu tidak rasional! Puas!?     

Mendengus keras, Lois berjalan cepat meninggalkan meja itu. Medora pun menyeruput minumannya, masih saja memajang senyum penuh kemenangan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.