A Song of the Angels' Souls

60. Permintaan



60. Permintaan

0Melamun di salah satu meja pasar kuliner, Rava terhenyak ketika pipinya merasakan dingin dan basah. Ternyata Kacia sudah berdiri di sampingnya, membawa dua gelas jus alpukat. Bidadari bertubuh mungil itu baru menempelkan salah satu gelas ke pipi Rava.     
0

"Kok, malah melamun?" tanya Kacia, duduk di hadapan Rava dan menyodorkan gelas itu.     

Agar ibu Rava merasa semuanya baik-baik saja, mereka memang tetap berjualan. Namun, kali ini minus Ione dan Stefan. Dan seperti biasa, dagangan mereka terjual dengan cepat.     

"Ah, nggak apa-apa, kok," ujar Rava, tak berani menatap Kacia. Aneh. Mukanya terasa panas, padahal tidak ada peristiwa yang membuatnya gugup. Dia juga tak sanggup mengungkapkan apa yang sedang dipikirkannya, yakni tentang Stefan dan Ione yang berciuman. "Pak Herman agak telat jemputnya. Dia ada urusan sama Mas Stefan, sama Ione juga."     

"Ooh ...." Tiba-tiba Kacia melongo dengan mata yang membelalak. "Aku mau sembunyi! Jangan kasih tahu mereka!" bisiknya.     

Belum juga Rava bertanya ada apa, Kacia melesat ke lapak jualan dan bersembunyi di kolongnya. Tubuh Kacia mengelebat nyaris tak terlihat karena dia menggunakan kecepatan bidadarinya. Lyra yang duduk di belakang lapak itu cuma sekilas melihat Kacia yang menempelkan jari telunjuk ke mulut, kemudian kembali sibuk memainkan ponsel.     

Rava menengok ke arah yang tadi dilihat Kacia. Pemuda itu langsung meringis kaku. Ibu-ibu yang biasa meminta Kacia menikah dengan putranya muncul lagi. Kali ini menarik seorang pria paruh baya berkulit sawo matang, bertubuh kurus, dan dengan rambut keriting kecil-kecil.     

"Kan, sudah kubilang, Buk. Dari fotonya, Bapak udah tahu kalau dia itu sebenarnya masih bocah!" gerutu si bapak berambut keriting.     

Si ibu mendengus. "Kalau bocah, memangnya kenapa, toh! Asal udah delapan belas tahun, dia udah bisa nikah! Aku pengen punya cucu yang imut-imut, terus besarnya jadi cakep! Nggak kayak kita yang standar-standar saja! Dia itu bisa memperbaiki keturunan kita!"     

Rava mengalihkan pandangannya dari pasangan suami istri itu, pura-pura sibuk dengan ponselnya.     

"Hei, kamu!" hardik si ibu, menepuk pundak Rava. "Mana temen kamu yang itu?"     

Dengan kikuknya, Rava memajang senyumnya, mengangguk kepada mereka secara bergantian. "Lagi nggak berangkat, Bu."     

"Bohong! Kenapa kamu beli dua minuman?" desak si ibu.     

"I-itu ...." Rava langsung gelagapan. Namun, saat merasa dirinya tak bisa mengelak lagi, dia melihat Janu yang hendak berjalan melewatinya. "Mas ini!"     

Janu tentu saja kebingungan saat disodori jus alpukat itu, tetapi secara refleks dia menerimanya, meski sambil mengernyitkan kening. "Eh? Makasih?"     

Walau masih dengan wajah kebingungan, Janu melanjutkan langkahnya sambil menyedot minuman tersebut.     

Rava pun cuma bisa duduk sambil memainkan jari-jemarinya, tak berani menatap mata si ibu. "Itu .... Anu .... Tadi dia minta saya beliin jus alpukat ...."     

Ucapan Rava terhenti karena si ibu mengamatinya lebih saksama. Rava tak habis pikir, ternyata tatapan curiga seorang ibu-ibu bisa menekan mentalnya.     

Mendengus keras, ibu itu lalu berjalan ke lapak. Rava sudah akan mencegah, tetapi mendapat lirikan sinis nan tajam dari si ibu, dia jadi tak berkutik.     

Sementara itu, Lyra masih sibuk dengan ponselnya.     

Si ibu memeriksa bagian bawah meja lapak, kemudian celingak-celinguk sambil menggaruk kepalanya. Saat bertanya kepada Lyra, dia cuma mendapat gelengan pelan.     

"Udahlah, masalah jodoh biar anak kita yang mikirin," bujuk si bapak, menguap lebar. "Lebih baik kita makan, mumpung ada di sini."     

Kembali mendengus, si ibu menarik tangan si bapak untuk meninggalkan tempat itu. Setelah mereka tak kelihatan lagi, kepala Kacia muncul dari lapak batagor di sebelah lapak jualan. Ia celingak-celinguk untuk memeriksa keadaan, sebelum akhirnya berdiri tegak. Pemuda yang menjaga lapak itu sampai memiringkan kepalanya, saking herannya dengan kelakuan Kacia.     

"Huft .... Aku deg-degan sekali kalau ketemu Ibu itu. Entah ya, auranya tidak biasa," desah Kacia, menghampiri Rava.     

"Maaf, jus alpukatnya udah kukasih ke Mas Janu. Yah, itu buat ngehindarin .... Kok, aku jadi susah neranginnya?" ceplos Rava begitu Kacia duduk di sebelahnya. Ya, Rava memang kesulitan melukiskan kejadian absurd tadi dengan kata-kata.     

Kacia mengangkat bahu. "Tidak masalah, kok."     

Keduanya lantas bertukar pandang. Mulut mereka pun mulai mengeluarkan tawa. Awalnya kecil saja, tetapi lama-kelamaan keduanya terbahak keras.     

"Aku tidak bisa membayangkan kalau menikah dengan anak ibu itu." Kacia menyeka setetes cairan bening di ujung matanya. "Kalau sampai menikah, aku tidak mungkin ...."     

Tiba-tiba Kacia tercekat. Rava langsung mengerutkan kening memergoki kelakuan bidadarinya itu. "Ada apa, Kacia?"     

"Tidak ada apa-apa, kok. Aneh saja rasanya menikah dengan orang Bumi." Kacia menggeleng pelan. Di mulutnya tersungging senyum samar.     

Walaupun penasaran dengan ucapan Kacia barusan, Rava memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut. Barangkali Kacia tidak nyaman sehingga tak mau melanjutkan kalimatnya.     

"Ada yang bisa kami bantu, Bu?" tanya Kacia kepada seorang wanita kurus yang tahu-tahu berdiri di hadapannya sambil menggendong balita. Kacia pun tersenyum dan melambaikan tangan kepada si balita. Namun, balita yang sepertinya habis menangis itu malah memalingkan muka.     

Wanita itu memandang sekeliling sejenak, kemudian berbisik, "Saya Dini, istri Bagas yang menjadi tuan dari Zita."     

Rava hampir meloncat dari kursi saking terkejutnya. Ada apa ini? Apakah Zita juga ada di sini?     

"Zita ada di sini. Dia sedang sama suami saya. Suami saya melihat kalian dari jauh, lalu meminta saya ke sini," ujar Dini cepat. Tubuhnya gemetaran tak tekendali. "Saya cuma mau mengasihkan alamat rumah saya, supaya kalian bisa menyelamatkan kami. Apa ada bolpoin sama kertas?"     

Gelagapan, Rava bergegas kembali ke lapak, langsung mengambil bolpoin dan buku nota.     

"Sini, Bu," ajak Kacia, memberi isyarat agar Dini ikut ke lapak.     

"Ada apa, Rav?" tanya Lyra penuh selidik.     

"Zita ada di sini," desis Rava, memberikan buku nota dan bolpoin itu kepada Dini. "Nanti kuterangin detailnya. Sekarang, kamu jaga-jaga aja dulu."     

Serta-merta Lyra bangkit dari duduknya, keluar dari lapak dan mengedarkan pandangan penuh waspada. Orang-orang masih berlalu-lalang, belum ada yang membeku. Artinya, Zita belum melakukan sesuatu yang berarti, tetapi bukan berarti mereka boleh lengah.     

"Ada urusan apa Zita datang ke sini, Bu?" tanya Kacia.     

"Dia cuma mau jalan-jalan saja. Ini kebetulan sekali suami saya melihat kalian." Setelah menuliskan alamatnya dengan tangan bergetar, Dini pun memandang Kacia, Lyra, dan Rava secara bergantian. "Saya mohon, tolong kami. Karena Zita, hidup kami jadi seperti neraka."     

Tersenyum hangat, Kacia pun menggenggam erat tangan Dini. "Tenang saja, Bu. Kami pasti akan menolong keluarga ibu."     

Jantung Rava langsung berdesir. Ia seperti sedang melihat malaikat berwujud manusia. Suara lembut dari mulut bidadarinya itu juga seperti nyanyian surga yang merdu dan menenangkan.     

"Saya harus cepat-cepat pergi." Dini terpaksa melepaskan tangannya. "Sekali lagi, saya mohon."     

Dini kemudian bertolak dari tempat itu dengan langkah begitu cepat. Rava menyobek satu lembar nota yang tadi ditulisi oleh Dini. Matanya menyipit ketika membaca alamat dan nomor ponsel di balik nota tersebut. Apakah ini kesempatan emas mereka untuk menghabisi Zita? Ataukah mereka justru akan mendapat kesialan lagi?     

***     

"Lois tidak mengangkat teleponku," ujar Lyra, kali ini berdiri di ruang tengah rumah kontrakan sambil memegang ponsel. "Chat-ku juga tidak dibalas."     

Rekan-rekannya duduk di sofa, mengamati seonggok kertas bertuliskan alamat yang ada di atas meja. Kecuali Stefan tentunya. Pandangannya tetap lurus ke depan. Mereka semua membisu, sibuk dengan pikirannya masing-masing.     

"Aku rasa, kita harus segera menyelamatkan mereka," ujar Kacia, menelan ludah. "Aku lihat anak kecil yang digendong itu .... Dia jelas ketakutan sekali."     

"Apa ini bukan jebakan?" timpal Rava, terdengar takut-takut.     

Ione menggeleng pelan. "Kurasa tidak. Zita itu orang yang tidak akan peduli dengan sekitarnya. Kalau tadi melihat kalian, dia pasti akan langsung menyerang."     

"Jadi, apa yang akan kita lakukan?" tanya Kacia.     

"Bagaimana kalau penyelamatannya kita lakukan malam ini saja sekalian?" celetuk Ione, langsung menarik perhatian yang lain. "Kalian belum capek dan mengantuk, kan?"     

Kacia meringis. "Bagaimana dengan Stefan?"     

"Dia masih sama saja seperti biasa, cuma ya itu .... Sekarang, dia tidak bisa melihat. Tapi tenang saja, aku akan menyesuaikan. Aku tinggal berteriak untuk meminta kekuatanku diaktifkan," tegas Ione, lantas menatap Rava, yang langsung berjengit sedikit. "Kamu juga bantu lihat kondisi ya, Rav. Bilang ke dia kalau kamu merasa sudah waktunya mengaktifkan kekuatanku."     

Rava cuma bisa mengangguk kaku. Meski sekarang tugasnya bertambah berat karena harus mengawasi tiga bidadari sekaligus, ia merasa tak bisa menolak, padahal kepalanya sudah memikirkan hal yang tidak-tidak. Sanggupkah dia mengawasi mereka sendirian? Bagaimana kalau dia salah memberi instruksi kepada Stefan?     

Mengusap wajahnya, Rava menghela napas.     

"Kamu pasti bisa, Rav." Kacia memberikan senyuman yang walaupun samar saja, tetapi sudah mampu memantik kembali degup jantung Rava.     

"Iya, Kacia." Akhirnya, Rava bisa berbicara. Barangkali keragu-raguan dan ketakutan masih menyelimuti dirinya. Namun, di hatinya mulai tumbuh sebuah rasa. Ya, rasa bahwa keberadaan Kacia akan membuat semuanya baik-baik saja. "Baiklah, aku siap."     

Melihat Rava yang balas tersenyum, Lyra memalingkan muka. Napasnya sempat agak memberat, tetapi hanya dalam sedetik dia bisa mengembalikannya seperti semula.     

"Aku juga siap." Stefan pun ikut berbicara.     

"Sepertinya, semua yang ada di sini setuju," ujar Ione tegas. "Kita akan berangkat malam ini."     

Lyra mendesah pelan. "Yah, semoga saja tidak ada apa pun lagi yang akan menghalangi kita."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.