A Song of the Angels' Souls

61. Keraguan



61. Keraguan

0"Rav, menurut kamu, misi ini bagaimana?" tanya Kacia kepada Rava yang sedang duduk terkantuk-kantuk di ruang tamu.     
0

Mereka sengaja menunggu sampai larut sebelum datang ke rumah Bagas, agar tidak ada lalu-lalang orang dan kendaraan. Itu untuk meminimalisir korban manusia. Zita jelas ingin langsung bertarung dan tidak akan mau diajak ke tempat sepi.     

Rava terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengangkat bahu. "Seperti yang aku bilang dulu. Walaupun nggak setuju sama pembunuhan, aku nggak punya pilihan lain. Polisi dan tentara menurutku nggak punya kemampuan melawan Zita. Pihak penyelenggara dari dunia lain juga pasti nggak akan membiarkan mereka ikut campur."     

Kacia pun duduk di samping Rava, langsung menunduk dalam-dalam.     

Rava bisa melihat kecemasan di raut wajah bidadari bertubuh mungil itu. Kacia memang sering terlihat cemas dan khawatir, tetapi kali ini Rava merasa kali ini ekspresi tersebut lebih tergambar jelas di wajah Kacia.     

"Errr .... Ada apa, Kacia?" tanya pemuda itu dengan nada hati-hati.     

Helaan napas pelan pun keluar dari mulut Kacia. Perlahan, ia pun menoleh kepada tuannya itu. "Barangkali, aku yang nantinya harus mengeksekusi Zita. Lyra tidak bisa membunuh, sementara seruling Ione bukanlah senjata yang bisa membunuh dengan cepat dan tepat. Ya, barangkali Ione masih bisa membunuh, tetapi dia butuh waktu karena senjatanya itu bukanlah benda tajam. Kalau terlalu lama Ione melakukan sesuatu kepadanya, Zita bisa saja melepaskan diri dan balas menyerang."     

"Aah. Kamu dengan anak panahmu ...." Rava tercekat dan ia sangat membenci dirinya yang seperti itu. Di saat seperti ini, seharusnya dia memberikan motivasi dan menenangkan bidadarinya. Sebentar lagi Kacia akan bertempur. Kalau ada sesuatu yang mengganggu di hati sang bidadari, itu bisa saja akan menjadi penghambat.     

"Aku sudah bertemu Zita berkali-kali. Aku juga sudah melihat kerusakan yang dibuatnya. Tapi, aku tetap saja merasa kalau mencabut nyawanya adalah sesuatu yang salah, Rav." Suara Kacia mulai terdengar parau.     

Rava menggigit ujung bibirnya, berpikir keras untuk mengatakan sesuatu. Sampai akhirnya, wajah anak balita yang tadi digendong Dini di pasar kuliner pun melintas di kepalanya.     

"B-barangkali, kamu jangan berpikir apa yang akan kamu lakukan, tetapi lihat bagaimana dampaknya," ujar Rava akhirnya, dengan suara lirih. "Kita fokus untuk menyelamatkan pak Bagas dan keluarganya saja. Biar kehidupan mereka nggak menderita lagi .... Yah, kita juga akan mencegah Zita merusak lagi, sih .... Errr .... Intinya begitu."     

Rava meringis karena tak yakin dengan perkataannya sendiri.     

Kacia memandang Rava, yang kini tampak kikuk. Tingkah yang sebenarnya sudah sering diperlihatkan pemuda itu. Perlahan, Kacia pun menyunggingkan senyum samar.     

"Benar juga katamu, Rav. Barangkali, aku memah harus fokus menyelamatkan keluarga itu," desah Kacia, tetapi masih terdengar tidak yakin.     

"Kadang kamu bisa mengatakan sesuatu yang bagus juga, Rav," ceplos Ione, tiba-tiba berjalan ke arah dua orang itu, kemudian menepuk pundak Kacia. "Kamu tenang saja, Kacia. Kalau kamu tidak yakin untuk mengeksekusi Zita, biar aku saja yang melakukannya. Aku punya teknik menghabisi secara cepat, tanpa menggunakan senjata tajam. Yang terpenting, kamu lakukan yang terbaik saja."     

Rava dan Kacia cuma terdiam. Ione pun tersenyum melihat dua orang itu.     

"Kalian tahu? Kalian ini benar-benar hebat!" lanjut Ione, lantas pergi begitu saja. "Oh ya, sebentar lagi kita berangkat."     

Setelah melihat Ione menjauh, Kacia dan Rava pun bertukar pandang penuh tanya.     

***     

Bagas sedikit mengintip ke ruang makan rumahnya. Seperti beberapa hari terakhir, Zita duduk di salah satu kursi, memangkukan wajahnya dengan kedua tangan dan tidak melakukan apa pun, hanya sesekali cengengesan dengan wajah merona.     

Barangkali keluarga Bagas jadi lebih aman karena itu. Zita tidak melakukan sesuatu yang menyeramkan. Namun, Bagas tidak bisa bersantai. Ini Zita. Tidak ada yang bisa memprediksi bidadari sinting itu.     

Bagas mengecek jam di ponselnya. Pukul dua belas malam lebih sedikit, tetapi rombongan Rava dan kawan-kawannya itu belum juga datang. Saat ditanya lewat chat, mereka cuma berkata sebentar lagi.     

Mau sampai kapan? Mumpung Zita terlihat lengah, seharusnya mereka segera melakukan sesuatu. Belum tentu nanti atau besok Zita masih seperti ini.     

"Varya ...." Zita meracau pelan, kemudian nyengir lebar. Matanya memandang lurus ke depan, tetapi sangat tidak fokus. "Aku ingin bertemu dengamu lagi, Varya .... Kamu di mana? Aaahn .... Varya ...."     

Mendadak saja, air muka Zita berubah total. Matanya membelalak. Sebuah alunan nada dari seruling mulai merasuk ke telinganya.     

Zita pernah mendengar alunan itu. Ia ingat, salah seorang tuan pernah berkata bahwa itu adalah nada untuk membekukan makhluk hidup.     

Awalnya Zita menutup telinganya, tetapi hanya sekilas saja. Itu tidak mempan. Dia masih bisa mendengar alunan seruling itu. Ia lalu bergegas meraih dua sendok makan dari wadah plastik di dekat rak piring. Tanpa pikir panjang, ia menghujamkan ujung bawah sendok-sendok itu ke lubang telinganya.     

"Arrrggggggghhhhhh!!!"     

***     

Sambil menggendong Stefan di punggungnya, Ione mendarat di halaman salah satu rumah penduduk, langsung menghadap Kacia, Lyra, serta Rava yang berjongkok di sana.     

"Aku tidak berhasil membekukannya. Sebelum aku menyelesaikan irama serulingku, dia melakukan sesuatu ke telinganya. Dia jadi tidak bisa mendengar lagi," desis Ione, ikut berjongkok.     

"Nggak bisa denger lagi? T-terus, kita harus gimana?" Mata Rava langsung membelalak. Belum apa-apa, mereka mendapatkan kendala. Rencana awalnya adalah paling tidak mengurangi energi pelindung Zita dengan menyerangnya saat membeku.     

"Kita tetap jalankan rencananya," ujar Stefan, memandang kosong ke depan. "Lyra, kamu tetap selamatkan istri dan anak Bagas, lalu bawa mereka ke mobil pak Herman. Habis itu, kamu kembali lagi ke sini buat bantu yang lain."     

Lyra pun mengangguk, langsung meloncat dari sana.     

Bibir Stefan merentangkan senyum tipis. "Dia mengangguk kepadaku, kan?"     

"Sial, aku tidak membekukan Bagas sekalian. Jadi, Zita pasti akan datang dengan kekuatan penuh." Ione mengusap wajahnya.     

"Ahahahahaha!!!" Tawa sinting Zita menggelegar di kejauhan. "Kalian ada di mana!? Ayo bermain! Ahahahahaha!!! Ayo bersenang-senang!!!"     

Ione menepuk pundak Kacia. "Kacia, kalau kamu sembunyi, kesempatanmu untuk menyerang bisa lebih besar. Dia tidak bisa mendengar langkah kaki dan suara panahmu."     

"Sebenernya, apa yang dilakukan Zita ke telinganya sampai nggak bisa denger?" tanya Rava lagi     

"Tidak ada gunanya membahas itu sekarang." Ione mengangkat bahu. "Kacia, lebih baik kamu sembunyi sekarang. Aku juga mau sembunyi untuk menyerangnya."     

"Ahahahahaha!!!" Tawa Zita terdengar semakin dekat. "Hai, kalian!!! Cepatlah keluar!!! Kenapa kalian selalu membuatku kesal begini, sih!?"     

Ione sedikit melongokkan kepalanya melewati pagar rumah, mengintip ke arah jalan. Ternyata, Zita tengah melangkah sempoyongan ke arah mereka. Bagas tampak mendampingi bidadari sinting itu dengan tubuh bergetar.     

"Dia mau datang ke sini. Rava dan Stefan sembunyi di sini saja, tapi tetap awasi keadaan." Ione kembali menepuk bahu Kacia. "Sekarang, Kacia."     

"Heiii!!! Aku tahu kalian ada di sini!!!" Zita berteriak kembali.     

Kacia mengangguk, lantas bergerak ke halaman belakang rumah terdekat. Sementara itu, Ione berpindah ke halaman tetangga sebelah, bersembunyi di balik sebuah pohon besar.     

Semakin lama, langkah Zita dan Bagas semakin terdengar jelas. Meski tubuhnya mulai gemetaran, Rava memberanikan diri untuk mengintip. Ia kembali membelalakkan matanya begitu mendapati darah segar yang terus mengalir dari kedua telinga Zita.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.