A Song of the Angels' Souls

65. Lantunan Hujan



65. Lantunan Hujan

0Lois menengadahkan tangannya, merasakan butiran air lembut yang turun. Gerimis pun berubah menjadi hujan dalam waktu singkat. Medora menuntun Gilang untuk berteduh di pelataran gedung pemerintahan. Marcel juga ikut berteduh, tetapi Lois tetap berada di tempatnya.     
0

"Kamu nggak berteduh, Lois!?" panggil Marcel, sedikit merapatkan jaket karena tubuhnya mulai dihinggapi dingin menusuk.     

"Aku merasa tidak pantas berteduh, sementara nona Varya berada di tengah hujan! Karena tidak bertarung di sisinya, paling tidak aku ingin merasakan apa yang dirasakannya sekarang!" seru Lois, melawan kerasnya suara hujan. Rambut dan bajunya sudah mulai basah kuyup.     

"Kamu memang dididik dengan baik oleh kedua orangtuamu!" sahut Varya dengan suara yang sama kerasnya. "Terimakasih, tapi bagiku tidak masalah kalau kamu mau berteduh."     

Tak memberikan jawaban, Lois tetap berdiri di tempatnya.     

"Cih, nilai kebangsawanan yang memuakkan," decak Medora lirih.     

Marcel cuma melirik Medora sekilas. Sementara itu, Gilang tetap fokus kepada Varya dan Zita, jelas sekali tak mendengar ucapan bidadarinya     

"Padahal, aku yang tuannya saja pakai payung." Candra datang dengan membawa alat peneduh itu.     

Varya mulai berlari maju, memicu senyum di wajah Zita semakin lebar. Sebuah cahaya putih muncul di lengan bidadari berbusana putih itu, membentuk perisai yang sama persis dengan milik Zita, tetapi dengan warna putih, alih-alih kuning.     

Zita ikut melesat maju. Hanya dalam beberapa detik, serangan perisainya pun bertubrukkan dengan serangan perisai Varya.     

Bunyi denting perisai yang beradu pun terus menggema. Keduanya sama-sama tidak mau kalah. Awalnya mereka seimbang, tetapi sedikit demi sedikit serangan Varya berhasil masuk. Zita pun mulai terdesak mundur.     

"Aah! Aahn! Aaahhnn!!!" Kendati serangan-serangan Varya itu cukup telak mengenai tubuhnya, Zita masih saja mendesah-desah keras, seolah dia menikmati semua itu. "Aaaahhhnnnn!!!"     

"Kenapa kamu malah terdengar seperti sedang bercumbu, hah!" hardik Varya, terus saja memberikan kombinasi serangan perisai. "Kita ini sedang bertarung! Jangan mendesah seperti p*l*c*r begitu!"     

Tiba-tiba, Zita memutar tubuhnya dan berlari kabur. Tadinya, Varya akan mengejar, tetapi dia langsung menahan diri, membiarkan Zita bersembunyi dari balik salah satu mobil.     

Duar!     

Mobil itu terbang ke udara terkena kekuatan pendorong Zita. Bukannya menghindar, Varya malah berdiri di tempatnya, melempar perisainya ke mobil itu.     

Begitu perisai Varya menghantam tangki bensinnya, mobil itu pun meledak di udara, langsung menghamburkan potongan-potongan besi. Medora segera melindungi Gilang dengan tubuhnya, sementara Marcel dan Candra bersembunyi di balik pilar bangunan.     

Sementara itu, Lois tetap bergeming di tempatnya, bahkan membiarkan satu potongan besi menyerempet pipinya, meninggalkan luka memanjang yang berdarah.     

"Ahhhhhnnnnn ....." Tangan Zita mulai menjelajah tubuhnya sendiri. Rona merah di wajah bidadari itu makin kentara. Mulutnya pun sedikit terbuka. "Varya ...."     

Varya menghindari perisai Zita yang terbang ke arahnya, kemudian berlari ke arah musuhnya itu. Namun, Varya terus dihalangi oleh perisai yang berkali-kali terbang ke arahnya, sementara Zita masih saja terlihat seperti sedang bercumbu dengan dirinya sendiri.     

"Varya, kemarilah ...." Zita mengangkat sebelah tangan, hendak menangkap perisainya.     

Akan tetapi, Varya keburu melompat dan menyambar perisai itu. Hampir tanpa jeda, Varya pun memberikan hantaman perisai ke muka sang musuh.     

Saking kerasnya hantaman itu, Zita sampai terhempas dan berguling-guling cukup jauh.     

"Kamu benar-benar menjijikkan," desis Varya, berjalan pelan mendatangi musuhnya itu.     

"Berani-beraninya ...." Zita mengeluarkan suara seperti erangan. Ia pun bangkit dengan tubuh membungkuk, kepala menunduk, dan tangan terjuntai ke bawah. "Aku memang mencintaimu, Varya. Tapi, kalau sampai menggunakan senjataku .... Arrrrgggggghhhh!!!!"     

Zita berteriak dengan kepala mendongak dan dada membusung. Varya menghentikan langkahnya, mengamati Zita yang pekikannya tak kunjung selesai itu.     

"Semua yang keluar dari mulutmu itu tidak ada yang masuk akal," ucap Varya, terdengar begitu meremehkan.     

Begitu teriakannya berakhir, Zita memandang musuhnya itu dengan pandangan kosong dan wajah tanpa gairah.     

Tanpa pikir panjang lagi, Varya menerjang mau.     

Zita mengangkat kedua tangannya, berhasil menangkap serangan perisai dari Varya.     

Sempat mematung sejenak karena terkejut Zita melakukan hal itu, Varya pun menarik perisai. Akan tetapi, Zita bisa menahannya. Varya kembali mencoba, dan sama sekali tidak berhasil.     

"Ini Mya, perisaikuuuuu!!!! Berikan Mya kepadakuuuuu!!!" Zita membelalak dengan raut murka layaknya iblis. Ia menarik perisai itu begitu keras sampai tubuhnya sendiri rubuh ke belakang. Varya pun terbawa momentum tarikan Zita dan tumbang menindihi tubuh musuhnya itu.     

Terjadilah pergumulan sengit, dan akhirnya Zita berhasil mengambil perisainya.     

"Ahnnn .... Ini lebih baik, aku lebih suka kamu yang seperti ini," desah Zita, kembali jual beli serangan dengan Varya.     

Namun, perisai tersebut hanya sebentar saja berada di tangan Zita. Hanya dengan sedikit juluran tangan, perisai itu terlempar jauh. Ya, Varya baru saja menggunakan kemampuan melepaskan senjata lawan.     

"Myaaaaaaa!!!" Zita berusaha mengejar senjatanya tersebut, tetapi Varya keburu menangkap tubuhnya. Ia pun dibanting begitu keras ke hamparan paving.     

"Arrrrrggggghhhh!!!" Zita yang telentang pun memekik karena matanya terkena cahaya super menyilaukan dari tangan Varya.     

Tanpa ampun lagi, Varya menghujani Zita dengan pukulan-pukulan yang terdengar seperti palu godam menghantam batu.     

"Ahahahahaha!!! Ugh!!! Ahahahahaha!!!" Setelah sedari tadi mendesah penuh gairah, akhirnya mulut Zita mengeluarkan tawa khasnya. "Ahahahahaha!!!! Uuugh!!!"     

Gilang merapatkan tubuhnya kepada Medora. Medora pun memeluk bocah cilik itu dan menggesernya agar tak bisa melihat apa yang terjadi. Candra dan Marcel terdiam di tempatnya, memperhatikan kebrutalan itu dengan tubuh mulai gemetar.     

Darah dari wajah Zita mulai menghambur ke mana-mana, menodai busana Varya, menggenang di paving, dan bercampur dengan air hujan.     

"Ahahahahaha!!! Ugh!!! Kamu sama denganku!!! Ugh!!! Kamu menikmati semua ini!!! Akkkhhhhh" Gigi-gigi Zita pun beterbangan karena terhantam pukulan.     

Varya terus melancarkan pukulan. Wajah Zita tidak bisa disebut lebam lagi, tetapi sudah nyaris tak berbentuk. Semuanya didominasi warna merah, dan tulang-tulang yang membangun fitur wajahnya sudah hancur lebur.     

Sampai akhirnya, bidadari berbusana putih itu berhenti. Ia memandangi hasil kebrutalannya itu untuk beberapa saat, sebelum akhirnya bangkit berdiri. Begitu memutar tubuhnya, ia mendapati Lois sudah berdiri cukup dekat dengannya.     

"Mungkin kamu bertanya, mengapa aku harus menghancurkannya sampai seperti ini," ujar Varya, kali ini napasnya mulai tak terkendali. "Mungkin kamu berpikir, orang seperti aku harusnya menggunakan metode membunuh yang lebih manusiawi, lebih cepat dan tidak menyiksa. Sayangnya, bedebah ini tak pantas mendapatkannya."     

Lois terdiam, hanya menatap topeng atasannya itu.     

"Ah, barangkali kamu berpikir, mengapa aku juga menyiksa Ione sampai luka parah seperti itu," lanjut Varya, terdiam sejenak. "Percayalah, dia bisa menghalau metode pembunuhanku yang cepat. Aku terpaksa melukainya .... Saat terluka parah pun, dia masih bisa menghalau .... Maka, aku terus melukainya .... Aku harus membuatnya benar-benar tidak bisa bergerak lagi."     

"Apa pun yang terjadi, saya akan terus mengikuti Anda, Nona Varya," sahut Lois tegas. "Anda melakukan semua ini demi kebaikan. Saya memercayai hal itu."     

Mulut Varya mengeluarkan tawa sekilas. Ia pun menepuk pundak bawahannya itu. "Lebih baik begitu, kau tinggal menyetujuiku saja. Jangan sampai kamu menghalangi langkahku."     

Lois hanya bisa menelan ludah ketika Varya melewatinya.     

"Kali ini dia sudah benar-benar mati." Candra menunjukkan beberapa tanda baru berwarna kuning di lengannya. "Mau pilih yang mana?"     

"Nanti." Varya juga melewati tuannya itu begitu saja. "Lebih baik kita pulang sekarang. Biarkan saja mayat bidadari sinting itu. Dia tak pantas diurus oleh siapa pun."     

Hujan mulai mereda. Marcel pun mendekati Lois, yang masih berdiam diri dengan tubuh basah kuyup, terus saja memandang mayat Zita.     

"Yuk," ajak Marcel pendek.     

"Kalau waktu itu aku tidak berhasil kabur dari Zita ...," Lois memejamkan matanya erat-erat. Bayangan-bayangan adegan saat dirinya dihajar perisai Zita mulai mengelebat di kepalanya, ".... apa wujudku juga akan jadi seperti ini?"     

Marcel hanya melirik sekilas mayat Zita yang tampak mengenaskan itu, tak mampu memberikan jawaban.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.