A Song of the Angels' Souls

67. Berdua



67. Berdua

0Rava mengenakan jaketnya, berjalan meninggalkan lapak jualan, menghampiri Kacia yang duduk termenung di salah satu meja pasar kuliner.     
0

"Kacia," panggil Rava, sedikit mencolek tangan Kacia.     

Bidadari bertubuh mungil itu tersentak luar biasa. "Rava, jangan bikin kaget begitu, dong!"     

Rava mengangkat sebelah alis. Bidadari petarung seperti Kacia harusnya bisa merasakan keadaan sekitarnya. "Masa begitu aja kaget, sih? Kalau ada monster tiba-tiba yang muncul juga kamu nggak pernah kaget."     

"Kalau sampai menyentuh kulit .... Kulit ...." Kacia membuang mukanya yang mulai dihiasi sedikit rona merah.     

Rava menggaruk rambutnya. Wajahnya juga mulai terasa panas. Barangkali Kacia sudah menyadari kedatangannya, tetapi tak menduga akan dicolek seperti tadi.     

"Errrr ...." Kejadian barusan membuat Rava canggung. "Keluar jalan-jalan, yuk. Beberapa hari terakhir, kamu kelihatan down. Barangkali kamu butuh refreshing."     

"Dengan yang lain?"     

"Cuma kita berdua."     

Keheningan pun seketika menyelimuti mereka berdua. Mereka cuma bertatap-tatapan selama beberapa saat, sebelum akhirnya wajah keduanya semakin memerah.     

"Ke-ke-ke-kenapa?" Kacia bertanya dengan suara seperti orang tersedak.     

"Yaaah .... Mas Stefan sama Ione bilang sebentar lagi ada urusan .... Sementara Lyra nolak," terang Rava, tak mungkin berkata kalau dirinya dari awal memang ingin mengajak Kacia pergi berdua saja bersamanya. Bukan apa-apa, dia memang punya dana dari kerja lepas di internet yang tidak ada hubungannya dengan menggambar, tetapi itu cuma sedikit. Jadi, dia tak bisa mengajak yang lain untuk jalan-jalan. Namun, di saat yang sama dirinya ingin sekali menghibur Kacia. Rava juga tak mungkin meminta uang kepada Stefan.     

Kacia menghela napas panjang, kembali memandang ke depan. "Terimakasih, Rav. Tapi maaf, aku tidak bisa melakukannya. Kejadian beberapa hari terakhir ini membuatku ...."     

Kacia tercekat hebat. Di kejauhan, pandangannya bisa menangkap sosok ibu-ibu itu. Ibu-ibu yang ingin menjodohkan Kacia dengan anaknya. Wanita itu berjalan dengan wajah masam, terus menarik suaminya yang tampak tidak antusias.     

"Baiklah, aku mau, Rav!" ujar Kacia dengan intonasi sangat cepat, bangkit dari kursi. "Ayo!"     

Dengan langkah luar biasa kencang, Kacia pergi menuju tempat parkir. Rava yang belum bisa memproses apa yang terjadi pun cuma bisa melongo. Dia baru sadar ketika pasangan suami-istri itu sudah cukup dekat. Mata si ibu tertuju tajam kepada Rava, seperti mata predator yang memburu mangsa.     

Rava pun berlari, melambaikan tangan ke arah lapak. "Aku pergi dulu ya, Mas Stefan, Ione, Lyra."     

Ione balas melambaikan tangan dengan senyum sumringah. Stefan cuma mematung di tempatnya karena tidak bisa melihat Rava. Sementara itu, Lyra cuma duduk bersedekap, diam tanpa mau melihat tuannya itu.     

***     

Turun dari motor Rava, Kacia memerhatikan salah satu poster film berukuran besar yang dipajang di gedung bioskop.     

"Kamu baca komiknya, kan?" Rava menunjuk poster yang menampilkan pasangan suami istri dengan kondisi lusuh berantakan itu.     

"A-aku tahu ada dari iklan, komik itu memang ada filmnya, tapi aku tak memerhatikan tanggal penayangannya, karena .... Karena ...." Kacia memain-mainkan jarinya dengan muka yang lagi-lagi memerah.     

Barangkali Kacia ingin menonton film ini, tetapi terlalu segan untuk mengajak yang lain. Mau pergi sendiri juga, dia tidak terlalu tahu bagaimana caranya untuk menonton di bioskop. Paling tidak, itu dugaan Rava.     

"Tapi, terimakasih banyak, Rav." Kali ini Kacia terdengar lebih antusias. Meski wajahnya masih merona merah, matanya tampak berbinar. "Aku benar-benar ingin melihat film ini."     

Tersipu malu, Rava menggaruk rambutnya. "Y-yuk!     

Kenapa dirinya masih saja canggung setelah sekian lama? Bahkan Rava sendiri penasaran mengapa dirinya bisa begitu.     

Saat berjalan menuju gedung bioskop, tanpa diduga-duga Rava berpapasan dengan seseorang yang dikenalnya.     

"Eh, Rudi? Gimana kabar?" sapa Rava dengan nada kaku.     

Pria bertubuh tambun itu melirik Kacia sekilas, lantas memberikan tatapan seolah Rava adalah makhluk yang begitu menjijikan.     

"Errrr .... Kenalin, Rud. Ini temenku, Kacia," ujar Rava kepada temannya yang dulu menawarinya pekerjaan itu. Aneh, mengapa dia merasa bersalah terhadap Rudi. Karena Rudi tidak pernah bepergian dengan perempuan?     

Namun, Rudi tak menimpali. Bahkan melanjutkan perjalanan pun tidak ia lakukan. Seolah-olah kakinya terpaku di hamparan aspal lahan parkir itu. Ekspresi di wajahnya pun masih sama saja, seperti terlihat sedang melihat sesuatu yang menjijikkan.     

Rava langsung mengedarkan pandangannya. Sama saja, orang-orang yang ada di situ pun mematung total.     

"Sepertinya ada monster," desis Kacia, langsung mengaktifkan senjata dan baju tempur, maju dan memasang kuda-kuda. Pandangannya pun berkeliling dengan waspada.     

Mengapa harus di saat seperti ini? Rava benar-benar tak terima usahanya untuk menghibur Kacia dihancurkan begitu saja.     

"Kupanggil yang lain dulu." Rava merogoh saku celana jeansnya dan mematung untuk beberapa detik. "Eh?"     

Sedalam apa pun merogoh, tangan Rava tidak bisa mencapai dasar dari saku tersebut. Yang ada, dia malah bisa merasakan bulu-bulu tipis di pahanya. Buru-buru dia mengeluarkan sakunya itu dari celana.     

"Eeeeeeeeeehhhhhhhhhhh!!!???" Suara Rava begitu melengking bak bayi yang rewel saat dirinya menemukan lubang besar menganga di saku celananya tersebut.     

Dia lupa. Kalau memakai celana itu, seharusnya dia memasukkan ponsel ke saku kiri, yang masih belum berlubang.     

Rava mulai gelagapan mencari ke sana ke mari di lahan parkir motor itu.     

"Ini, pake punyaku saja, Rav," ujar Kacia, masih saja memeriksa keadaan. Karena posisi Rava agak jauh darinya, bidadari itu melemparkan ponselnya.     

Tak menduga hal itu, respon Rava jadi kurang cepat. Dan plung! Setelah sempat mengenai jari Rava, ponsel itu meluncur ke bawah, melewati celah di penutup selokan.     

Kali ini Rava membeku dengan ekspresi datar untuk beberapa saat, memastikan kalau apa yang dilihatnya benar-benar terjadi.     

"Eeeeeeeeeehhhhhhhhhhh!!!???" Rava mengambil posisi seperti bersujud, mengintip dari penutup selokan berbahan logam dengan bentuk seperti teralis itu. Dia bisa melihat dengan jelas, ponsel Kacia tergeletak di genangan lumpur di sana. Ia lantas membuka tutup selokan itu. Wajahnya seperti orang yang sedang mengejan karena penutup itu terpasang begitu kencang. "Arrrrgggggghhhhhh!!!"     

Rava terjengkang ke belakang, masih memegang penutup selokan. Akhirnya, tutup itu terlepas dan dari tempatnya. Rava langsung mengambil ponsel Kacia di sana dan mencoba menyalakannya. Setelah mencoba berkali-kali dan tidak berhasil, dia pun melenguh dengan suara seperti embikan kambing kelaparan.     

"Rava ...." Kacia mendesis, menodongkan panahnya kepada tuannya itu.     

Terhenyak hebat, Rava mengangkat kedua tangannya. Matanya melotot tanda tak percaya. "Kacia? Kamu lagi ngapain?"     

Kacia sedikit mengedikkan kepalanya ke depan. "Di belakangmu."     

Interval degup jantung Rava langsung meningkat berkali-kali lipat. Perlahan, dia menoleh ke belakang. Bukannya berteriak atau melonjak kaget, dia malah membisu. Pandangannya kosong bak ikan mati dan mulutnya membentuk garis lurus.     

Dia melihat sesuatu yang berbentuk mirip sosis raksasa, tetapi dengan warna dan tekstur seperti bakso. Benda itu berdiri tegak, tanpa mata atau apa pun yang menunjukkan kalau dia adalah makhluk hidup.     

Rava jadi ingat penjual pempek yang dulu sering lewat di depan rumahnya. Ya, benda itu bisa dibilang mirip seperti pempek lenjer raksasa yang belum digoreng.     

"I-ini apa, Kacia?" tanya Rava dengan nada datar. Otaknya belum bisa memproses kejanggalan yang ada di depannya itu.     

"Itu monsternya. Aku pernah bertemu dengan yang seperti dia. Hati-hati, Rav. Mungkin terlihat tidak berbahaya, tetapi tetap saja dia itu monster." Kacia pun mulai berjalan mendekati tuannya.     

"Hiiiii!!!" Rava sampai meloncat gara-gara monster itu jatuh ke depan.     

Kemudian, apa yang dilihat Rava selanjutnya adalah sesuatu yang mungkin paling absurd selama hidupnya. Monster itu mengeliat-geliat bak cacing kepanasan. Gerakan yang langsung memicu seluruh bulu kuduk Rava meremang hebat.     

Kalau monsternya bertaring, mungkin dia akan digigit. Kalau bercakar, ya dia dicakar. Paling tidak, dia bisa menebak apa yang akan dilakukan sang monster. Namun, kalau bentuknya seperti pempek lenjer yang menggeliat begini, bagaimana bisa dirinya memprediksi apa yang akan terjadi?     

Ada yang bilang, ketidak-tahuan adalah sumber ketakutan manusia yang paling besar. Karena tidak tahu, maka seseorang tak akan sanggup memikirkan solusi yang bisa digunakan. Semuanya serba tidak pasti.     

"Awas!!!" pekik Kacia.     

"Uwaaaaaaa!!!" Begitu monster pempek itu bergerak melata kepadanya, Rava langsung tancap gas melarikan diri.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.