A Song of the Angels' Souls

68. Teruslah Berlari, Rava!



68. Teruslah Berlari, Rava!

0Seumur hidupnya, Rava tidak pernah berlari sekencang itu.     
0

"Uwaaaaaa!!! Hussss! Hussss! Pergi!" teriak Rava, masih saja melesat ke sana ke mari, menghindari kejaran monster pempek itu. "Kenapa aku yang dikejaaaaarrrr!!!"     

Untuk kesekian kalinya, Kacia memanah monster itu. Panah itu memang menancap tepat ke tubuh si monster, seperti panah-panah yang barusan dilepaskannya, tetapi sama sekali tak memberikan dampak. Monster tersebut masih saja penuh energi, melata dan menggeliat-geliat layaknya cacing.     

Akhirnya, Kacia melompat dan menunggangi monster itu. Dia memukul-mukulkan busurnya kepada sang monster. Bukannya melemah, monster itu malah semakin giat menggeliat, bahkan sampai melompat-lompat. Kacia jadi tak bisa mempertahankan pegangannya. Tubuhnya pun terlempar.     

Rava yang baru saja muntah pun tak sempat menghindar sewaktu tubuh Kacia menghampirinya. Tahu-tahu, kepalanya dihantam nyeri, tubuhnya rubuh, dan yang ada di matanya hanyalah kegelapan pekat. Tak hanya itu, dia merasakan sesuatu yang empuk, hangat, dan terkesan lembut menekan wajahnya, sekaligus menghambat napasnya.     

"Uuggghhh ...." Kacia merintih kesakitan. Alih-alih langsung berdiri dan melawan monster itu lagi, dia malah membeku. Dia merasakan sesuatu yang janggal di selangkangannya. Butuh waktu beberapa detik sampai dia menyadari kalau kepala Rava tertutup roknya. Atau dengan kata lain, dia sedang menduduki kepala tuannya itu.     

"Kyaaaaa!!! Maaf, maaf, maaf, Rava!" Kacia meloncat dan langsung berdiri. Rava masih dalam posisinya, telentang dengan wajah seperti tomat matang. Hidungnya mulai mengucurkan darah segar. Entah karena benturan dari tubuh Kacia, atau gara-gara hal lain.     

Sadar kalau dirinya masih harus bertarung, Kacia menoleh kepada sang monster, yang kini posisinya tegak lurus kembali. Biadari itu buru-buru berlutut dan mengguncang-guncangkan tubuh tuannya. "Rava, bangun! Aku masih butuh kamu untuk melawannya!"     

"Aweawiawawiwe ...," racau Rava dengan bola mata yang memutar ke belakang. Selain nyeri, kepalanya juga dihinggapi sensasi melayang. Dan yang ada di pikirannya sekarang adalah: barusan, dia seperti merasakan kenikmatan surgawi.     

Plakkk!!!     

Rava langsung bangkit ke posisi duduk, melotot lebar-lebar, memegangi pipinya yang kini dihiasi bekas tangan merah, kemudian memandangi Kacia dengan ekspresi tanda tanya.     

"Maaf! Aku terpaksa menamparmu biar kamu sadar!" pekik Kacia dengan nada penuh permohonan. "Monster itu mungkin masih ingin mengejar kamu."     

Pandangan Rava pun perlahan tertuju kepada sang monster pempek, yang kembali menjatuhkan diri dan mulai menggeliat-geliat lagi.     

"Aaaaieeeeeeee!!!" Rava langsung melesat lagi, tetapi kali ini kecepatannya berkurang drastis. Selain letih dan kehabisan napas. Sensasi melayang di kepalanya juga membuat keseimbangannya berkurang. Beberapa kali dia sampai tersandung kakinya sendiri.     

Kacia tak kuasa menahan monster itu agar tidak mengejar Rava. Dia tak bisa lagi mengandalkan panahnya. Sepertinya, kulit monster itu terlalu tebal, sehingga panah yang menusuknya tak akan sampai ke bagian vital.     

Bidadari itu berpikir keras, sekaligus mengedarkan pandangan, mencari-cari sesuatu yang bisa dipakainya. Sampai akhirnya, dia melihat pilar-pilar logam yang menyangga atap pelindung dari tempat parkir motor.     

"Rava, berlarilah ke tempat parkir motor dan aktifkan panah penjerat!!!" seru Kacia sekuat tenaga.     

Rava menuruti perkataan biadarinya itu, berbelok ke tempat parkir dan memencet salah satu tanda di lengannya. Kacia pun melepaskan panahnya, yang langsung berubah menjadi rangkaian pita, menjerat tubuh si monster ke salah satu pilar penyangga atap.     

Begitu menyadari hal itu, Rava menjatuhkan tubuhnya ke hamparan aspal. Napasnya sudah begitu putus-putus, dan keringatnya sangatlah banyak, membuatnya terlihat seperti baru saja diguyur air.     

"Dia tidak memiliki tangan atau kaki, bentuknya juga cuma seperti itu, jadi percuma saja kalau dijerat dengan cara biasa. Dia tetap akan bisa mengejarmu," tutur Kacia, yang baru mendatangi tuannya, berlutut sambil meringis. "Tapi, ini cuma untuk sementara saja. Kita harus memikirkan cara untuk memusnahkannya."     

Derit keras terdengar dari struktur atap tempat parkir itu. Rava pun bangkit saking terkejutnya. Ternyata, monster itu menggeliat-geliat keras, berusaha membebaskan diri, membuat struktur atap tempat parkir tersebut sedikit bergoyang.     

"Kita harus ngapain, Kacia!?" Rava memegangi kepalanya, lagi-lagi panik.     

"Tenang dulu, Rav!" Meski berusaha menenangkan Rava yang celingukan bak anak ayam kehilangan induk, Kacia juga terdengar panik.     

Pandangan Rava tiba-tiba terpaku kepada deretan motor di tempat parkir itu. Di sana memang ada beberapa orang, tetapi tidak banyak.     

"Aku punya ide," celetuk Rava. Kini tangannya terkulai lemas ke bawah.     

***     

"Uggghhhh ...." Rava menarik orang terakhir dari tempat parkir, membawanya kepada orang-orang lainnya yang sudah diungsikan agak jauh.     

Pemuda itu pun membungkuk dan menghapus peluh, menahan diri untuk tak muntah lagi. Dia mengamati pemandangan luar biasa janggal di hadapannya. Orang-orang dengan berbagai pose terbaring begitu saja di aspal.     

Akan tetapi, hidup Rava sudah terlalu aneh, jadi semua itu tidak terlalu mengganggunya.     

Di sisi lain, Kacia menyeret salah satu motor dan menaruhnya di dekat si monster, yang masih saja menggeliat-geliat liar. Makin lama, deritan logam dari struktur atap tempat parkir itu semakin terdengar keras dan mengkhawatirkan.     

Mengamati sebentar tumpukan beberapa sepeda motor di dekat si monster, Kacia lalu berlari mendatangi Rava.     

"Semuanya berapa ratus juta ya?" celetuk Rava dengan suara datar, berharap dirinya tidak akan merasakan beban moral yang amat sangat nantinya.     

"Aku sudah siap, Rav." Menjejeri tuannya, Kacia pun mulai menarik busur panah. "Ah, sepertinya kita harus mundur sedikit."     

Rava pun mengikuti Kacia mengambil beberapa langkah mundur. Setelah mendapat anggukan dari bidadarinya itu, Rava memencet salah satu tanda di lengannya, lantas buru-buru menutup kedua telinganya dengan tangan.     

Satu anak panah pun terlepas dari busur Kacia.     

DUARRRR!!! BOOM!!! BOOM!!! BOOM!!! BOOM!!!     

Satu ledakan besar membumbung tinggi begitu anak panah itu mengenai tangki bensin salah satu motor. Ledakan tersebut menyambar sepeda motor lain, menimbulkan ledakan-ledakan lain yang bergabung menjadi satu ledakan luar biasa masif.     

Saking besarnya ledakan itu, Rava sampai hampir terjengkang gara-gara sambaran angin panas yang ditimbulkan.     

"Errrr .... Sepertinya. kita terlalu berlebihan." Kacia meringis kaku, memandangi api raksasa yang seperti akan menjilat-jilat langit malam.     

Terdengar suara orang-orang yang terkejut, keheranan, dan ketakutan di sekeliling mereka. Ya, orang-orang itu sudah bangkit dari posisi mereka tadi.     

"Aah ...." Rava menggaruk-garuk rambutnya, memerhatikan orang-orang di sekelilingnya yang jelas kebingungan. "Karena orang-orang sudah sadar, paling tidak ini artinya monster itu sudah musnah, kan?"     

"Jadi, kita tidak jadi menonton, ya?" ceplos Kacia.     

"Kayaknya sih, gitu ...." Rava tercekat. Ia baru ingat, motornya tak ikut diungsikan.     

***     

"Loh, kok sudah pulang? Memangnya filmnya sudah selesai? Kenapa kalian tidak jalan-jalan saja dulu? Memangnya kalian tidak ingin berdua lebih lama tanpa ada yang mengganggu?" serbu Ione saat membukakan pintu rumah kontrakan untuk Rava dan Kacia. "Eh, kamu kenapa, Rav?"     

Rava yang wajahnya kuyu, bajunya sangat kotor, dan pipinya dihiasi bekas tamparan pun menghela napas. "Nggak jadi nonton ke bioskop, tapi malah ke dokter."     

Ione menelengkan kepala tanda tak mengerti.     

"Ada monster." Kacia meringis kaku. "Jadi .... Bioskopnya tidak bisa menayangkan film karena ada banyak kerusakan."     

"Eeh!? Kenapa tidak mengabari kami?" tanya Ione penuh selidik.     

"Hapeku jatuh, hapenya Kacia masuk got. Mau pake hape orang lain, kami nggak hapal nomor kalian," tutur Rava, datar dan cepat.     

Ione pun memeriksa kondisi kepala Rava, menolehkannya ke kanan dan kiri. "Kamu terluka? Kenapa pipinya merah begini? Monsternya suka menampar?"     

"Nggak ada luka serius .... Cuman, aku capek habis dikejar monster. Sekarang aku laper. Pengen makan." Rava yang canggung karena kepalanya dipegang-pegang Ione, tak bisa memberikan perlawanan.     

Untung mualnya sudah hilang, jadi Rava bisa segera mengisi perutnya yang kini keroncongan. Setelah Ione selesai, ia pun bergegas menuju dapur yang menjadi satu dengan ruang makan di belakang rumah.     

"Aah! Lyra membuat masakan spesial, loh!" ujar Ione, terdengar bersemangat.     

Rava tak peduli makanan yang tersedia itu spesial atau tidak. Baginya sekarang, yang penting makanan itu bisa dikonsumsi manusia seperti dirinya.     

"Kamu sudah pulang, Rav?" Lyra yang menunggu di meja makan pun bangkit. "Kamu lapar, kan? Aku gorengkan sebentar ya makanannya." Lyra pun menoleh kepada Kacia. "Kamu juga mau, Kacia?"     

Tanpa alasan yang jelas, suara Lyra menjadi begitu datar di kalimat terakhir. Kacia pun jadi salah tingkah karenanya. "B-boleh."     

Kacia pun sudah kelaparan. Waktu memang sudah lewat dari jam makan malam.     

Lyra mengambil piring yang ditutupi plastik bening. Rava pun duduk di kursi.     

"Lyra dan bu Sinta tadi belajar untuk membuat ini," terang Ione, makin terdengar antusias. "Katanya, nanti bakal dijual di lapak juga."     

Begitu piring itu ditaruh di hadapannya, pandangan Rava seketika kosong. Isi piring itu bentuknya seperti sosis dengan versi lebih gemuk, serta berwarna dan bertekstur seperti bakso. Jumlahnya ada enam dan semuanya mengingatkan Rava kepada monster yang barusan ditemuinya di bioskop.     

Ya, itu pempek lenjer yang belum digoreng.     

"Maaf, terimakasih, tapi aku nggak bisa," ujar Rava dengan intonasi tak bersemngat, mendorong piring itu jauh-jauh, lantas berdiri dari kursi. "Aku cari makan di luar aja."     

"Hah?" Ibu Rava yang baru muncul pun tercengang hebat. "Itu kan makanan kesukaan kamu, Rav? Eh, kenapa kamu kucel banget? Kenapa pipimu kayak habis ditampar?"     

"Begitulah, Bu. Kadang, kehidupan emang suka becanda sama kita." Rava meracau bak orang mabuk. "Aku keluar dulu, Bu."     

Rava ngeloyor pergi begitu saja, membuat Lyra yang sedang bersiap menggoreng dan Ione yang mengeluarkan kuah pempek dari kulkas pun membeku.     

"Eeh ...." Kacia pun gelagapan. "Aku mau susul dia! Dia tidak bermaksud jahat sama kamu kok, Lyra! Nanti kuterangkan alasannya!"     

Setelah mengatakan hal itu, Kacia menyusul Rava pergi ke luar rumah. Kacia tentu tak bisa mengatakan penyebab Rava seperti itu. Ibu Rava masih ada di sana.     

"Kalau kamu mau memintaku kembali, lupakan aja, Kacia. Aku nggak sudi satu atap dengan makanan itu," ujar Rava saat dirinya dan Kacia sudah sampai ke jalanan.     

Rava sendiri merasa kalau perkataannya itu aneh.     

"Tidak, kok. Aku cuma mau menemanimu saja. Ini hari yang berat buat kamu. Mungkin kamu butuh teman," sahut Kacia dengan pipi yang sedikit merona merah.     

Sebuah ledakan kecil pun seolah muncul di dada Rava. "Aah, hapeku ilang, hapemu masuk got, motorku kebakar .... Terus, kita nggak jadi nonton, padahal aku pengen banget ngehibur kamu."     

"Kamu mengajakku saja, aku sudah senang, kok. Itu sudah lebih dari cukup." Kacia pun memajang senyumnya.     

Rava balas tersenyum. Rava yakin, dirinya tak akan bosan melihat senyum yang selalu menghangatkan hatinya itu.     

"Terimakasih ya, Kacia," ucapnya lembut.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.