A Song of the Angels' Souls

69. Sang Pemimpin



69. Sang Pemimpin

0"Agh!" Di halaman belakang rumah Candra, Medora jatuh terjengkang karena terjangan tendangan Varya di perutnya.     
0

"Kita sudahi dulu latihan ini," ucap Varya, memakai topeng, bra olahraga, dan celana pendek ketat. Tubuhnya memang berkeringat, tetapi napasnya masih biasa saja. Berbeda sekali dengan Medora dan Lois yang begitu ngos-ngosan.     

Candra yang duduk di sebuah kursi kayu panjang pun memberikan tepuk tangan ringan. "Kamu memang tidak ada tandingnya, Varya."     

Di sebelah Candra, Gilang tengah asyik bermain dengan sebuah konsol portabel. Karena hari itu tanggal merah, dia bisa ikut bidadarinya meski bidadari masih cukup rendah. Sementara itu, Marcel yang duduk di sisi Gilang cuma bisa membisu. Beberapa hari Lois dan Medora berlatih dengan Varya, tetapi Marcel tidak yakin mereka bisa menemukan kelemahan bidadari bertopeng itu.     

Varya melepaskan hand wrap atau perban tebal yang membungkus tangannya. "Medora, Lois, aku ingin bertanya kepada kalian. Kalau aku jadi ratu nantinya, apa permintaan kalian kepadaku?"     

Lois yang terduduk di rerumputan pun sedikit mengangkat bahu. "Yang jelas, saya ingin memperbaiki nama baik keluarga saya, Nona. Itu saja. Selebihnya .... Yah, saya yakin Nona Varya akan memberikan yang terbaik untuk kemaslahatan rakyat."     

"Begitu, ya." Varya mengangkat sedikit topengnya, kemudian minum dari botol air mineral. "Kalau kamu bagaimana, Medora?"     

"Keinginan saya sederhana saja, Nona." Medora memberikan senyum andalannya. "Saya ingin diri saya dan saudara-saudara saya lebih sejahtera, tidak lebih ...."     

"Benarkah kamu punya saudara? Dari dulu kamu selalu berkeliaran sendirian di pinggiran kota Ciestevan, kan?" potong Varya, tidak memandang Medora sama sekali.     

Senyum Medora lenyap seketika. Matanya langsung waspada. Ucapan itu sangat tidak terduga, sehingga Medora tak bisa menanggapi apa pun.     

"Maaf, tapi aku tahu kalau wajah dan tubuh kamu itu sudah tidak asli. Aku pernah melihat wajah kamu yang sebenarnya," lanjut Varya, akhirnya memandang Medora. "Ah, tidak usah ketakutan begitu. Aku tidak akan menghujatmu atau bagaimana, kok. Aku juga tidak peduli alasanmu berbohong."     

Senyum yang terbentuk di wajah Medora pun kini bernuansa getir. Ia tahu, kebohongan tidak akan berguna lagi. "Benar sekali, Nona Varya. Saya ini dibuang ibu saat masih anak-anak. Lalu, saya hidup sebatang-kara di jalanan. Jadi, saya ini bukan orang yang benar-benar istimewa."     

Medora menatap Medora, yang kini memandangnya dengan tajam.     

"Kamu itu adalah anak dari sepasang suami-istri pekerja sirkus. Kamu pernah diajari mereka untuk berakrobat, kan? Karena itulah, tubuh kamu cukup lentur," terang Varya, mulai berjalan mendekati Medora. "Aku bisa menebak, cara bertarungmu itu kamu buat sendiri, kan? Kamu memanfaatkan pengetahuan dan pengalamanmu tentang akrobat. Itu sangat luar biasa. Tidak semua orang bisa membentuk gaya bertarungnya sendiri tanpa dilatih."     

Medora tak mengerti, mengapa perkataan Varya itu memicu panas di matanya. "Begitulah, jalanan itu keras. Saya harus punya kemampuan mempertahankan diri."     

"Sirkus itu bangkrut, lalu .... Ah, maaf. Aku tidak akan membahas hal itu. Mungkin bisa membuat hatimu terluka."     

"Terimakasih, Nona."     

Sekarang, wajah Medora sudah begitu dekat dengan Varya. Keberadaan bidadari bertopeng itu saja sudah bisa memberikan atmosfer menekan. Apalagi kalau sedekat itu, Medora benar-benar ingin berlari saja dari sana.     

"Dulu kamu pernah bertemu ajudanku. Namanya Nidia, rambutnya coklat dan matanya hijau. Kamu ingat?" tanya Varya.     

Medora membisu sejenak, berusaha mengingat-ingat. Ada banyak orang yang membantunya, tetapi kebanyakan pergi begitu saja, jadi dia melupakan semuanya. "Maaf, saya tidak ingat."     

"Waktu itu, aku kasihan melihatmu yang kurus kering dan sendirian. Jadi, aku membelikanmu makanan dan menyuruh Nidia mengantarkannya kepadamu, sementara aku mengamatinya agak jauh."     

"Ah, saya ingat. Yang waktu itu memakai seragam militer lengkap?" Akhirnya, Medora menganggukan kepala.     

"Benar, aku dan dia waktu itu sedang ada tugas keprajuritan." Varya sedikit menghela napas, kemudian membelakangi Medora. "Saat akan pergi, aku melihatmu membagi makananmu dengan seekor anjing. Padahal, aku yakin sekali waktu itu kamu sangat kelaparan."     

Ya, Medora juga ingat kalau waktu itu dia bertemu anjing hitam yang tubuhnya kurus kering dan penuh luka. Medora memang membagi makanannya kepada anjing itu. Namun, itu dilakukannya bukan karena semata-mata ingin berbuat baik, dia hanya merasa dirinya senasib dengan anjing itu. Sendirian, kelaparan, dan tak ada yang peduli.     

"Aah .... Aku tidak ahli mengatakan hal seperti ini. Intinya, aku tersentuh dengan apa yang kamu perbuat. Kamu itu orang baik. Aku jadi ingin membawamu ke rumahku. Namun, karena waktu itu sedang bertugas, aku tak bisa langsung membawamu." Varya sedikit menunduk.     

Dahi Medora mengernyit. "Eh, membawa saya ke rumah Anda?"     

"Kamu tahu .... Kehidupan prajurit dengan pangkat seperti diriku .... Terkadang aku merasa kesepiam .... Aku hanya butuh teman mengobrol. Namun, orang-orang di sekelilingku semuanya punya motif sendiri-sendiri ...." Varya kembali menghela napas. "Sayang, saat aku kembali ke tempat itu, kamu sudah tidak ada. Tapi, aku tidak mau menyerah. Aku terus datang ke sana, bertanya kepada orang-orang, tetapi tidak ada yang melihatmu lagi. Aku melakukannya berbulan-bulan, Medora .... Tak kusangka, aku bertemu denganmu dalam situasi seperti ini."     

Tubuh Medora mulai bergetar. Dia tak memercayai pendengarannya sendiri. Dia nyaris diselamatkan oleh Varya?     

Waktu itu, anjing yang ditolong Medora malah disiksa sampai mati oleh anak-anak sekitar. Dirinya yang frustasi karena hal itu pun memilih pindah.     

Andai dia bertahan sebentar saja di daerah itu, barangkali kehidupannya akan jauh lebih baik. Dia tak harus sendirian dan bertahan hidup di jalanan yang keras.     

"M-maaf ...." Medora menundukkan kepalanya. Sekarang, suaranya terdengar mulai parau. "Maaf, tetapi saya tidak memercayai cerita Anda, Nona Varya."     

Untuk kesekian kalinya, Varya menghela napas. "Aah, mungkin itu karena penyampaianku. Aku memang tidak pandai dalam hal sentimentil begini."     

Varya pun melepaskan topengnya, langsung membuat Gilang dan Marcel terkesiap akan kecantikannya. Ia lalu menghadap Medora kembali, memberikan senyuman hangat. Candra sampai terhenyak melihatnya. Bahkan ia pun tak pernah melihat senyuman Varya yang seperti itu.     

"Lihat wajahku, Medora," desah Varya lembut. "Apakah aku ini terlihat sedang berbohong."     

Begitu mengangkat wajahnya, Medora ikut terkesiap. Dari pancaran mata indah Varya, Medora langsung tahu kalau bidadari itu tidak berbohong.     

Varya pun memeluk erat tubuh Medora. "Bahkan sesaat sebelum datang ke bumi, aku masih mencarimu, Medora."     

Awalnya Medora membeku, tetapi lama-kelamaan dia balas memeluk tubuh nonanya itu. Satu-persatu tetes air mata Medora pun turun. Pandangannya tertuju kepada Lois, yang langsung membuang muka.     

"Aah, akhirnya aku bisa mengungkapkan semua ini." Varya melepaskan pelukannya. "Maaf, seperti yang kubilang tadi, aku tidak pandai dalam hal begini."     

"Jadi, setelah hatimu lega, sekarang kita akan melakukan itu, Varya?" Candra bangkit dari kursi, tersenyum penuh arti.     

Dahi Lois langsung mengerut. "Melakukan apa, Nona?"     

"Kita akan bertarung melawan trio bidadari itu." Kali ini Varya menoleh kepada Lois. "Kamu mengenal mereka, kan? Hubungi mereka sekarang juga."     

***     

Menempelkan ponselnya di telinga, Lyra terpaku di tempatnya. Suara Lois terdengar di seberang sana, sedang menjelaskan sesuatu kepada Lyra. Beberapa menit berlalu, Lyra tak memberikan tanggapan apa pun, bahkan sampai panggilan itu ditutup oleh Lois.     

Lyra pun menurunkan ponselnya. Apa dia tidak salah dengar? Ia pun bergegas pergi dari kamarnya, menuju menuju ruang tengah.     

"Aah, pempekmu beneran enak, Lyra," ujar Rava, mengangkat piring berisi pempeknya. Karena sekarang Lyra membuatnya dengan bentuk lain setelah mendapat info dari Kacia, Rava jadi bisa memakannya. "Sekali lagi, maaf banget. Kemarin aku rada linglung."     

"Iya .... Haah .... Haah ...." Kacia yang juga sedang menikmati pempek itu pun mengipasi lidahnya. "Ini enak sekali, walaupun pedas .... Haah .... Hah ...."     

Ione cekikikan sembari menikmati bagiannya, sementara Stefan hanya tersenyum.     

"Lois bergabung dengan Varya dan Medora, besok mereka mengundang kita ke suatu tempat," tutur Lyra, cepat dan lugas.     

Keheningan pun seketika menyelimuti ruangan itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.