A Song of the Angels' Souls

94. Anggun



94. Anggun

0Marcel melepaskan jasnya, menggulung lengan kemejanya, kemudian turun dari mobil. Ia menghampiri seorang wanita bergaun merah yang berdiri di tepi jalan, memandangi lapangan kosong yang diselimuti gelapnya malam.     
0

"Maaf, ya. Aku malah pengen ke sini, padahal kamu udah booking restorannya," desah wanita berkulit cerah, berlesung pipi, dan mengenakan sanggul modern itu.     

Marcel mengerudungkan jasnya ke tubuh ramping wanita itu. Si wanita pun merapatkan jas tersebut, melindungi pundaknya yang terbuka dari dinginnya angin malam.     

"Nggak apa-apa kok, Nggun." Marcel memasukkan kedua tangannya ke saku celana, ikut memandangi lapangan tersebut. "Sekalian nostalgia juga. Sayang banget pasar malemnya lagi nggak mangkal di sini."     

Anggun menatap Marcel dengan sendu, kemudian berkata lirih, "Kamu beneran nggak apa-apa, Cel? Kamu kelihatan pucat, loh. Badan kamu juga kurus banget."     

Marcel merentangkan senyum tipisnya. "Kan, udah kubilang dari tadi. Aku cuma kecapekan gara-gara beban kerja .... Oke, deh. Aku ngaku. Aku sempat sakit gara-gara kecapekan, tapi sekarang udah sembuh, kok. Masih dalam tahap pemulihan."     

"Tuh, kan." Anggun mendengus, sedikit mencubit lengan kekasihnya itu. Marcel pun mengaduh dan terkekeh. "Daridulu kamu tuh ya, sukanya nyembunyiin sesuatu dari aku. Dasar."     

"Iya, maaf."     

Anggun pun mengedarkan pandangan. "Nasi goreng yang biasa kita datengin kalau pas ke pasar malem mana, ya? Apa dia datengnya kalau pas pasar malem aja?"     

"Itu kali." Marcel menunjuk ke sisi jalan yang lain, agak jauh dari tempat mereka berada. Di sana, ada sebuah gerobak bertenda kuning yang mangkal.     

"Dari spanduknya sih kayaknya itu." Anggun menyipitkan matanya untuk mengamati lebih jelas. "Yuk! Udah lama nggak makan nasi goreng yang otentik, nih."     

Marcel pun mengangkat bahunya. "Ternyata, di mata Anggun, fine dining itu kalah sama tenda kaki lima."     

"Fine dining itu kurang micin. Aku kan pecinta micin," canda Anggun, tertawa renyah. "Eh, tapi kamu nggak apa-apa makan di pinggir jalan abis sakit gitu?"     

"Nggak masalah." Marcel tersenyum lagi.     

Mereka pun kembali memasuki mobil. Marcel memindahkan mobilnya itu agar lebih dekat dengan tenda penjual nasi goreng. Begitu turun dan memasuki tenda tersebut, mereka langsung disambut senyuman oleh seorang pria tua penuh uban dan memakai peci.     

"Wah, tumben. Mbak sama Masnya dateng ke sini pas nggak ada pasar malem," kekeh pria tua bertubuh kurus itu, menunjukkan gigi-giginya yang ompong.     

"Eh, ternyata Bapak masih ingat sama kami, padahal dulu juga kami jarang-jarang ke sini, loh," timpal Anggun, memberikan senyum yang makin menonjolkan lesung pipinya.     

"Bapak ini, kalau ada pengunjung yang datang lebih dari sekali, pasti langsung hapal, Mbak." Si Bapak kembali terkekeh. "Mbaknya ini sukanya yang pedes banget, sementara masnya nggak suka pedes sama nggak pake sayuran."     

Anggun menoleh kepada kekasihnya itu. "Apa kamu masih cemen nggak bisa makan pedes, Cel?"     

"Berisik, ah."     

Keduanya pun tertawa.     

Sementara si bapak mulai memasak, keduanya duduk di kursi plastik kusam. Karena tak ada yang pengunjung lain yang datang, suasana sangat sepi, hanya ada suara peralatan masak si bapak dan satu-dua kendaraan yang lewat.     

Meski booking tempat di restoran itu menjadi sia-sia, Marcel sama sekali tidak kesal, apalagi marah. Justru dia bersyukur datang ke tempat sederhana itu. Suasananya lebih intim daripada restoran fine dining yang dipenuhi orang, walau mejanya berjauhan. Terlebih lagi, tempat itulah yang membuatnya menjadi lebih dekat dengan Anggun, bertahun-tahun yang lalu, ketika mereka masih sangat muda.     

Warung tenda itu seperti tempat khusus untuk mereka berdua.     

Mereka pun terus bercengkrama. Anggun tampak lebih banyak bicara daripada biasanya. Wanita itu berkali-kali mengenang momen-momen saat mereka belum terpisahkan oleh batas benua. Marcel pun lebih banyak mendengarkan, terus memandang wajah kekasihnya yang begitu cantik disiram cahaya lampu bohlam yang remang.     

Kendati tubuhnya sudah begitu lemas, kepalanya mulai diserang nyeri kembali, serta harus memaksakan nasi goreng yang sebenarnya enak itu masuk ke mulut, Marcel sangat bersyukur dirinya masih bisa dipertemukan dengan kekasihnya itu.     

Anggun-lah yang membuatnya bisa bertahan. Tekad berjuang dalam diri Marcel yang akhir-akhir ini meredup, akhirnya menggelora kembali.     

Dirinya harus hidup agar bisa terus bersama Anggun.     

***     

Marcel menghentikan mobilnya di depan rumah Anggun. "Aku ikut turun, ya? Aku mau ketemu Papa-Mamamu."     

Bukannya menjawab, Anggun malah membisu. Pandangannya yang sendu terhujam lurus ke depan.     

"Anggun, kamu kenapa?" tanya Marcel dengan kening berkerut.     

Cairan bening mulai mengalir dari mata Anggun. Marcel makin tak mengerti. Bukannya mereka baru saja bercengkrama, mengenang saat-saat indah yang mereka lalui selama ini?     

"Serius, deh. Kamu kenapa, Nggun?" Marcel akan menggenggam tangan Anggun, tetapi kekasihnya itu justru menjauhkan diri.     

Tanpa menatap Marcel, Anggun pun berucap parau. "Maaf, Marcel. Aku sudah punya seseorang di sana."     

Jantung Marcel seperti dihantam sesuatu yang sangat keras. Ia membeku untuk beberapa saat, sementara Anggun terus saja menyeka air mata. Sampai akhirnya, Marcel menggeleng-gelengkan kepala.     

Ini tidak mungkin. Marcel merasa hubungannya dengan Anggun sangatlah dekat, meski mereka dipisahkan jarak yang sangat jauh. Buktinya, tadi mereka terlihat seperti sepasang kekasih yang tidak pernah berpisah.     

"Jangan becanda, Nggun." Marcel tertawa kaku. "Ini nggak lucu, tahu."     

"Aku mencintainya, Marcel. Seperti aku mencintaimu. Tapi, aku tidak bisa mempertahankan kalian berdua." Akhirnya, Anggun menatap Marcel, kendati air matanya turun semakin deras. "Ini hanya masalah pilihan, Marcel. Aku memilihnya daripada kamu. Bukan kamu yang salah. Aku yang jahat karena udah mengkhianati kamu."     

Dengan tubuh bergetar hebat, Marcel mengalihkan pandangannya dari Anggun. Cairan bening mulai menyelimuti pria itu. Dia benar-benar tak bisa berucap lagi. Semua kenangan yang dilaluinya bersama Anggun seolah hanyalah khayalan yang tak nyata.     

Jadi, buat apa selama ini dia berjuang melawan penyakit ganas yang menggerogotinya ini?     

"Bulan depan kami akan menikah .... Maaf, aku memberitahumu mendadak begini. Sebenarnya kami sudah menjalin hubungan cukup lama .... Sekali lagi maaf, sudah menjalin hubungan dengan yang lain di belakangmu." Anggun mengusap air matanya, menarik napas dalam-dalam, kemudian tersenyum pahit.     

"Kalau akan bersama yang lain, kenapa kamu mengajakku jalan-jalan seperti tadi?" tanya Marcel dengan suara mirip geraman, lantas tertawa getir sambil menundukkan kepala. "Ah, kamu ingin mengenang kebersamaan kita untuk yang terakhir kali."     

"Kita mungkin bukanlah sepasang kekasih lagi, tapi aku harap hubungan kita tetap ...."     

"Pergi," sela Marcel sambil mengusap mukanya.     

"Mungkin kamu sangat marah ...."     

"Aku bilang pergi ya pergi!!!" hardik Marcel sambil memukul dasbor motor. Matanya pun nyalang memandang wanita yang sudah menjadi mantan kekasihnya itu.     

Air mata Anggun pun kembali deras mengalir. "Aku masih ingin kita menjalin hubungan sebagai teman ...."     

"Pergiiiii!!!" Marcel meraung di depan muka Anggun.     

Anggun yang tersentak hebat pun buru-buru keluar dari mobil, langsung berlari memasuki rumahnya, meninggalkan Marcel sendirian saja.     

Masih dengan tubuh yang bergetar, Marcel mengalihkan pandangannya dari wanita itu, kemudian menutupi matanya yang juga mulai mengalirkan air mata. Ia ingin berteriak sekeras-kerasnya, tetapi dirinya tahu itu tak akan mengubah apa pun.     

Hanya dalam sekejap saja, alasannya untuk tetap bertahan hidup lenyap sudah.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.