A Song of the Angels' Souls

95. Krisis



95. Krisis

0Lyra melompat dan mengayunkan pedangnya ke tubuh monster bermoncong panjang tersebut, langsung mengukirkan luka memanjang. Monster dengan warna tubuh coklat tua itu pun mengeluarkan suara pekikan tinggi. Kemudian, ia harus pasrah menerima kombinasi tusukan pedang dari Lois, disusul dengan panah ledakan dari Kacia.     
0

Karena ukurannya nyaris sebesar bangunan dua tingkat, tubuh monster itu menimbulkan debam keras saat rubuh ke sebuah jalan besar. Ia pun menggelungkan diri, membuatnya seperti bola. Ione, Kacia, Lois, dan Lyra pun memberikan serangan kembali. Namun, mereka sama sekali tidak bisa memberikan dampak apa pun pada sisik-sisik keras yang melindungi monster itu.     

"Dia sekarang kayak trenggiling, Mas. Bagian tubuhnya yang lunak udah nggak kelihatan sama sekali," terang Rava kepada Stefan. Mereka berdua mengamati dari jarak yang agak jauh. Sementara itu, Etria yang menjaga mereka pun terus celingak-celinguk waspada dengan tangan memegang palu raksasanya.     

Rava tahu. Sebenarnya Lois memberi 'tugas' itu agar Etria jauh-jauh dari pertarungan dan tidak menghalangi yang lain. Daripada meninggalkannya di rumah, semangat Etria bisa turun kembali. Bagaimanapun, Kacia yang kebanyakan menyerang dari jarak jauh sebenarnya sudah cukup menjaga Rava dan Lois.     

"Ugh! Menyebalkan!" gerutu Ione, memukuli makhluk itu dengan serulingnya. Kegiatan yang lebih ditujukan untuk melampiaskan emosi, daripada melukai.     

"Etria, coba pukul dia dengan palu besarmu," pinta Lois, menempelkan ponselnya di telinga.     

"Baik!" Etria berlari kegirangan, sama sekali tanpa berkomunikasi dengan tuannya terlebih dahulu. Untungnya, Rava mendengar perintah Lois, sehingga tahu harus memencet tanda Etria di lengannya.     

Begitu Etria melompat, mata palunya membesar. Bidadari itu pun memukul keras-keras monster itu dengan palunya tersebut. Namun, monster itu masih saja berdiam di tempatnya, tak memberi respon apa-apa.     

"Awawawa ...." Justru Etria yang kini terhuyung dengan tangan gemetaran. Efek dari kerasnya sisik yang ia pukul menjalar ke kedua tangannya itu.     

"Kucoba dengan pedang cahayaku," ucap Lyra. Ia pun langsung memberikan kombinasi serangan setelah Rava mengaktifkan kemampuannya itu. Sayangnya, hal itu pun masih tak bisa membuat si monster terluka. Lyra hanya bisa membekaskan goresan-goresan tak berarti.     

Lois masih berusaha menghubungi Marcel. Akan tetapi, sedari tadi dia cuma mendengar nada tunggu, disusul dengan suara agar dirinya meninggalkan pesan.     

"Tuanmu tidak bisa dihubungi?" tanya Lyra, mendekati saudari angkatnya itu. "Ada kemungkinan sisik monster ini bisa ditembus dengan kemampuan pedang panjangmu. Jemput saja dia."     

"Belum tentu dia di rumah. Hari ini kan dia pergi dengan Anggun." Lois berdecak setelah meninggalkan pesan untuk kedua kalinya. "Dari dulu aku sebal dengan pihak atas yang menyegel kekuatan kita, lalu membuat peraturan aneh. Untuk membuka segelnya kita harus bertarung, tetapi tidak tahu harus berapa kali. Belum lagi untuk mengaktifkannya harus mengandalkan tuan. Lebih gilanya lagi, mereka tidak memberitahu mengapa hal itu dilakukan."     

"Sudah, sudah. Omelanmu jadi terdengar mirip Etria." Ione terkekeh mendengar hal itu. "Lebih baik kamu hubungi orang rumah Marcel. Siapa tahu dia sudah pulang, tapi ketiduran atau sibuk dengan pacarnya. Malas juga menunggu monster ini membuka lagi. Kalau sebentar masih oke, kalau lama kan repot. Kalau ada yang ingin buang air besar bagaimana?"     

Lois pun menghubungi salah satu ajudan Marcel. Baru saja bertanya di mana tuannya itu, Lois mengerutkan dahi. Ia pun mendengarkan penjelasan sang ajudan dengan saksama. Setelah selesai, ia menoleh kepada Stefan.     

"Stefan, sepertinya kamu harus ikut denganku," ucapnya pelan. Ekspresinya dipenuhi kekhawatiran.     

***     

Lois sudah mengetuk pintu kamar Marcel dan memanggilnya berkali-kali, tetapi tuannya itu tak kunjung merespon.     

"Dobrak saja, Lois," desis Stefan.     

Lois tercenung sejenak, sebelum akhirnya menjawab, "Baiklah."     

Tendangan Lois mendarat keras di daun pintu itu, memaksanya terbuka lebar-lebar.     

"Aah." Ione menelan ludah saat melongok ke dalam kamar Marcel itu. "Kamar kakakmu ini berantakan sekali, Stef. Sepertinya, kakakmu memang baru saja mengamuk. Ini menjelaskan tentang suara-suara yang didengar penghuni rumah ini."     

Pandangan Lois beredar ke tirai dan sprei yang sobek-sobek, kaca rias yang pecah berkeping-keping, lampu tidur yang pecah jauh dari tempatnya, laptop dan televisi yang hancur dan berserak di lantai, sampai kursi-kursi dan meja yang terbalik. Sebuah pertarungan sengit seperti baru saja terjadi di tempa titu.     

"Kakakku bagaimana?" tanya Stefan pelan.     

Lois pun menghampiri tuannya yang meringkuk di salah satu sudut kamar dalam diam. Ione pun menuntun Stefan mengikuti Lois.     

"Apa yang terjadi Marcel?" tanya Lois, berhenti di hadapan tuannya itu. Marcel hanya mengangkat wajahnya dengan gerakan kaku. Ione langsung meringis begitu melihat wajah Marcel yang mengenaskan, begitu kuyu, dengan mata yang sembab dan tatapan kosong, serta kulit begitu pucat. Tak bersisa lagi keangkuhan dan determinasi yang biasa pria itu tunjukkan.     

Lois melirik sobekan-sobekan foto yang berserak di lantai. Ia langsung tahu kalau itu adalah foto Marcel bersama Anggun yang sebelumnya dipajang di dinding menggunakan pigura.     

Tak kunjung mendapat jawaban dari tuannya itu, Lois pun bertanya lagi, kali ini dengan nada yang begitu dingin, "Coba kutebak, kamu dicampakkan oleh kekasihmu itu?"     

Stefan sedikit berkedik mendengar hal itu, kemudian berbisik kepada Ione, "Apa keadaan kakakku menyedihkan? Aku tidak bisa mendengar suaranya sama sekali."     

"Sangat-sangat menyedihkan, Stefan. Dia seperti tidak punya semangat hidup lagi," balas Ione, sama lirihnya.     

Marcel pun kembali membenamkan wajahnya ke lutut, lantas berkata dengan suara sangat parau, "Tinggalkan aku sendiri."     

Stefan menelan ludah. "Aku tahu kakak mencintai kak Anggun, tetapi kenapa kakak sampai seperti ini?"     

Alih-alih menjawab, Marcel justru merapatkan tubuhnya.     

"Mau kamu jelaskan sendiri kepada adikmu, atau aku saja yang menjelaskan?" Nada bicara Lois berubah menjadi sedikit sinis. Lagi-lagi tak mendapat tanggapan, ia pun mendesah lelah. "Kuanggap kamu setuju kalau aku menjelaskan semuanya kepada Stefan, ya?"     

***     

Waktu sudah cukup lama berlalu, Rava duduk dengan posisi canggung di tepi trotoar. Interval degup jantungnya sudah sangat tinggi. Dan tentu saja, wajahnya seperti dialiri hawa panas. Kepala Etria sedang bersandar di salah satu pundaknya. Sedikit saja melirik, Rava bisa melihat belahan dada Etria yang kencang, berisi, dan begitu mulus.     

Barangkali kalau dirinya orang mesum, Rava sudah meneteskan air liur.     

Keadaan itu saja sudah cukup menyiksa Rava. Ditambah lagi dengan Kacia yang duduk di sampingnya. Bidadari bertubuh mungil itu duduk dengan posisi miring, sambil memangkukan dagunya ke tangan, memunggungi tuannya itu. Rava jadi tidak bisa melihat ekspresi Kacia. Rava khawatir Kacia marah padanya.     

"Nyem .... Nyem .... Nyem ...." Tiba-tiba saja Etria memeluk lengan Rava.     

Rava pun berjengit hebat. Dia bisa merasakan sensasi empuk, sedikit kenyal, dan lembut di tangannya itu, membuat wajahnya makin terasa panas. Posisi duduknya jadi tambah canggung, tetapi di saat yang sama dia tidak tega untuk membangunkan Etria.     

Tatapan mata Rava lalu bertemu dengan Lyra. Sambil berjalan ke sana ke mari, bidadari berambut coklat itu melipat tangan di dada, sedikit menaikkan dagunya, memberikan pandangan sinis kepada Rava. Rava pun jadi merasa seperti penjahat karena tatapan itu.     

Keadaan itu semakin parah ketika Etria mulai menggeliat. Sensasi dada Etria yang naik-turun, ke kiri dan ke kanan di lengannya itu, membuat Rava makin salah tingkah. Wajahnya sudah begitu merah bak tomat matang.     

Inikah harga yang harus dibayar karena memiliki tiga bidadari?     

"Kalian, bersiaplah!" seru Lyra, tiba-tiba memasang kuda-kuda dengan pedangnya.     

Kacia pun melompat dan mengaktifkan busur panahnya. Sementara itu, Etria harus diguncang-guncang dulu oleh Rava sebelum akhirnya bisa bangun. Bidadari itu mengucek-ngucek matanya dan menghapusi bekas liur di ujung bibirnya, langsung melotot dan berdiri ketika melihat si monster yang mulai bangkit.     

Monster itu bergerak, membuka dirinya dari posisi bergelung, kemudian berdiri dengan dua kaki. "Iiiiiii!!!"     

"T-tidak mungkin," desis Etria, terdengar begitu lesu. Bidadari yang lain pun semakin waspada, memutuskan untuk tidak langsung menyerang.     

Rava cuma bisa melongo, menatap bagian depan si monster. Bagian yang lunak. Tidak ada luka tebasan atau bekas ledakan di sana. Monster itu benar-benar sudah sembuh total.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.