A Song of the Angels' Souls

98. Krisis 4



98. Krisis 4

0"Apakah ini ide bagus?" tanya Kacia yang sudah bersiap membidik.     
0

Etria kembali memberontak. Dia sudah sadar akan apa yang terjadi padanya. "Lepaskan! Aku tidak mau! Di dalam sana pasti sangat menjijikan!"     

"Diam!!!" bentak Lyra keras sekali, langsung memaksa Etria diam seribu bahasa.     

"Aku dengar dari Lois. Selain bisa membuat boneka, kamu juga jago menahan napas dalam waktu cukup lama. Sekali lagi, kamu adalah orang yang paling cocok menjalankan tugas ini." Ione memberikan senyum lebar kepada Etria. "Kamu akan berjasa sekali."     

Mata Etria kembali diselimuti cairan bening. Bibir bagian bawahnya juga sudah ditarik ke dalam kembali. Namun, yang lain tidak peduli. Hanya Kacia dan Rava yang meringis khawatir, sementara Stefan cuma terdiam karena tak bisa melihat apa-apa. Setelah diterangkan Rava apa yang akan terjadi, Stefan malah berkata, "Wah, sayang sekali, aku ingin melihatnya."     

"Siap, ya!? Aku akan menusuk kepala monster ini lagi!" seru Lois yang sudah ada di dekat sang monster.     

Tubuh Etria mulai gemetaran. Mulutnya sudah membuka untuk membantah, tetapi kerongkongannya seolah tersumbat.     

"Tenang saja. Setelah ini akan kutraktir kue sus yang banyak," ucap Ione.     

Lois pun menusukkan rapier-nya lagi, secara diagonal ke luka di kepala sang monster. Untuk kesekian kalinya, monster itu melepaskan gelungannya, bangkit dan menghentak-hentakkan kakinya. Beberapa detik setelahnya, ia mulai menyerang membabi-buta, tetapi kakinya kini diam. Kacia dan Lois pun mulai menyerang untuk mengalihkan perhatian.     

Tiba-tiba saja, Etria diangkat ke bahu Lyra dan Ione. Saking gemetarannya, Etria sudah tidak berontak, pikirannya kini berkabut. Ia hanya bisa pasrah saat tubuhnya dibawa berlari kencang. Kemudian, Ione dan Lyra melompat, melesakkan tubuh bidadari malang itu ke luka terbesar di perut sang monster.     

Namun, karena sang monster tidak benar-benar diam, Ione dan Lyra jadi tak maksimal melakukan hal itu. Pantat montok Etria masih menyembul dan kakinya berkelojotan liar.     

"Biar aku saja!" seru Lois, lantas melompat dan menendang pantat Etria itu dengan kedua kakinya. Tubuh Etria pun akhirnya masuk seluruhnya ke perut si monster.     

Rava cuma bisa melongo melihat adegan absurd yang seperti berasal dari komik itu.     

"Iiiiii!!!" Monster itu tampak sangat kesakitan. Kalau sebelumnya dia masih mengincar para bidadari, sekarang gerakannya sangat tidak terarah. Para bidadari pun mundur dan hanya mengamati dari jauh.     

"Sepertinya berhasil," celetuk Ione.     

Lois meringis dan mengatupkan kedua tangannya. "Aku tahu ini jahat, tetapi napas kita sudah habis. Bunuh diri kalau masuk ke sana."     

Lyra hanya terdiam, mengamati dengan saksama. Sementara itu, Kacia merapatkan tubuhnya, terlihat seperti orang kedinginan. Mungkin dia tak bisa membayangkan kalau dirinya berada dalam posisi Etria.     

Menit-menit berlalu, gerakan sang monster mulai melambat. Suaranya pun perlahan-lahan melenyap. Sampai akhirnya, ia pun rubuh dengan debam keras. Para bidadari pun bergegas menghampirinya. Ione mendatangi kepala si monster untuk memeriksa napasnya, sementara Lyra dan Lois naik ke perut monster itu.     

"Buka lebih lebar, Lyra!" perintah Lois, sudah berjongkok mengamati luka yang menjadi tempat Etria masuk.     

Lyra pun menggunakan pedangnya untuk menyobek luka itu agar lebih menganga. Setelah itu, Lois memasukkan setengah tubuhnya untuk mencari Etria. Hanya perlu beberapa detik, akhirnya dia berhasil menangkap kaki bidadari malang itu.     

"Bantu aku!" seru Lois. Suaranya agak menggema karena kepalanya ada di dalam perut monster.     

Kacia dan Lyra pun bergegas membantu Lois menarik kaki Etria. Rava sampai menggigil saat Etria akhirnya bisa keluar. Tubuh Etria begitu legam terlumuri cairan hitam dari tubuh si monster.     

Lois pun melompat turun dan menaruh tubuh Etria ke aspal. Lois tak memedulikan tubuhnya sendiri yang juga banyak diselimuti cairan hitam karena dia sendiri masuk ke perut monster, walau cuma sebagian.     

Etria duduk dengan napas ngos-ngosan, lantas memandang Lois, lagil-lagi dengan mata berkaca dan bibir bawah yang ditarik ke belakang.     

"Uwaaaaa!!!" Kali ini, bidadari malang itu akhirnya menangis sekeras-kerasnya.     

***     

Setibanya di rumah kontrakan, Etria meringkuk di pojok kamarnya, menghadap tembok, tak mau berbicara sama sekali. Para bidadari lain dan tuannya pun bersimpuh di belakang sang bidadari malang.     

"Sekali lagi, aku minta maaf sebesar-besarnya. Ini ideku. Aku sudah memikirkan banyak kemungkinan, tetapi menurutku hanya itu yang paling efektif," ucap Ione dengan nada hati-hati.     

Lois menepuk lembut pundak muridnya itu. "Pokoknya, kamu yang paling berjasa. Peran kamu paling besar. Kamulah yang mengalahkan monster itu. Kami hanya membuka jalan saja."     

"Kalian tidak tahu bau di dalam perut monster j*h*nam itu. Kalau darahnya hanya berbau amis samar-samar, di dalam tubuhnya benar-benar buruk. Baunya seperti bau muntahan bercampur bangkai bercampur kotoran manusia bercampur kencing bercampur bau ketiak .... Sampai sekarang aku masih bisa menciumnya .... Belum lagi tekstur yang kurasakan. Organ-organnya begitu licin dan .... Aku tidak bisa menjelaskannya .... Pokoknya sangat menjijikan dan jahat .... Kehormatanku seperti direnggut ...." Akhirnya Etria menyerocos panjang. Suaranya agak parau, bernada kelam, dan seperti menguarkan aura kegelapan. "Sepertinya, semua itu akan menghantuiku seumur hidup."     

Bukannya makin mengerti, Rava malah tambah tidak bisa membayangkan kalau dirinya ada di posisi Etria.     

"Apa yang harus kami lakukan untuk mendapat maaf darimu?" tanya Ione.     

"Tadi kamu bilang akan membelikanku kue sus .... Aku mau minta yang banyak sekali .... Dan kalian tidak boleh memintanya."     

Ione menepukkan tangannya satu kali. "Akan segera kusiapkan!"     

"Aku juga ingin berenang di kolam renang. Aku ingin menggunakan air sebanyak-banyaknya untuk menyucikan diriku."     

"Kebetulan sekali besok ayahku ke luar negeri. Kamu bisa menggunakan kolam renang di rumahnya sampai puas," timpal Stefan.     

Cukup lama bersama Stefan, Rava sampai lupa kalau rekannya itu adalah anak dari salah satu orang terkaya di negeri ini.     

"Dan aku ingin baju renang yang bagus .... yang seperti di film-film .... Apa namanya? Kalian menyebutnya bikini?" lanjut Etria.     

Stefan mendesah kecewa. "Itu juga bisa diatur."     

Rava tahu, Stefan ingin melihat tubuh indah para bidadari yang hanya dibalut bikini.     

"Sekarang, tinggalkan aku sendiri," desis Etria, masih dengan nada kegelapannya.     

Tak ada yang protes, mereka langsung keluar setelah mengucapkan selamat malam kepada Etria.     

Lois menutup pintu kamar Etria dari luar. "Kacia, Lyra, kita harus menentukan posisi tidur di kamar Rava."     

Hawa dingin seolah menjalar dari tengkuk Rava ke seluruh tubuh. Inilah yang membuatnya jantungan. Tubuh para bidadari lebam-lebam, mereka jadi harus ada di dekat Rava untuk menyembuhkan diri. Dengan tubuh nyaris telanjang.     

"Yah, terpaksa satu dari kita harus melintang, walaupun itu akan membuat penyembuhannya tidak maksimal. Dia akan kalah dengan dua lainnya yang berbaring sejajar dengan tuannya," timpal Lyra, berkacak pinggang.     

Kacia hanya mendengarkan dengan raut muka khawatir.     

"Aku baru tahu ada metode bumi untuk menyelesaikan hal seperti ini. Namanya suit," jelas Lois.     

Sementara Lois menjelaskan apa itu suit, Rava memegangi jantungnya. Dia masih belum juga terbiasa dengan situasi itu. Dua bidadari tanpa busana saja sudah membuatnya selalu berdebar, apalagi tiga sekaligus? Rava berharap jantungnya kuat.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.