A Song of the Angels' Souls

Tenggelam



Tenggelam

0"Ahahahaha!!!" Zita kembali mengangkat perisainya tinggi-tinggi, lantas menghujamkannya ke bawah.     
0

Dan begitu perisainya masuk ke sungai, dia membelalak lebar-lebar. Senjatanya itu hanya menghantam air dan menimbulkan riak keras saja. Perisainya juga tak menimbulkan suara benturan seperti tadi. Yang terdengar hanyalah kecipakan biasa.     

"Hei!!! Kita masih belum selesai bermain!!!" Zita celingukan, tetapi tak bisa melihat Lois di manapun. "Kamu pergi ke mana!? Heiiii!!! Kemarilah! Aku masih belum puas!"     

Masih tak menemukan lawannya itu di manapun, Zita meremas kepalanya erat-erat, matanya membuka semakin lebar, giginya menggigit bibir kuat-kuat sampai mengucurkan darah.     

"Arrrrgggggghhhhhh!!!"     

***     

Lois bisa mendengar suara teriakan mengerikan Zita itu di kejauhan Dikelilingi pepohonan, sang bidadari tengkurap di tanah dengan napas berat. Tadi Marcel mengaktifkan kekuatan berpindah tempat miliknya. Bidadari itu jadi bisa menghindar dari kegilaan Zita. Sedikit saja terlambat, dia pasti sudah dihabisi.     

Lebam sudah menghiasi tubuh Lois dari kepala sampai kaki. Tangan kirinya juga menekuk ke arah yang salah. Kondisi ini barangkali adalah yang paling menyakitkan dalam hidupnya. Namun, itu semua masih belum sebanding dengan rasa panas tak terkira yang menyengat punggungnya. Ya, tepatnya di area yang tadi dicakar Medora.     

Sebesar apa pun hasratnya untuk berteriak, dia tak bisa melakukannya. Bibir dan lidahnya kebas, terasa seperti bukan miliknya. Sendi-sendi di tubuhnya juga seperti menjadi begitu keras, tak bisa digerakkan satu senti pun.     

Ada sesuatu di cakar-cakar milik Medora yang tadi melukai punggungnya. Kekuatan yang mungkin berfungsi seperti racun, membuat syaraf-syarafnya tidak berfungsi sebagaimana mestinya.     

"Anda hebat sekali, masih bisa kabur dengan kondisi seperti itu."     

Lois mengenal suara tersebut. Itu suara Medora, diikuti derap langkah pelan, terdengar seperti dari jauh di telinga Lois.     

"Sayangnya, kekuatan melumpuhkan saya itu tidak akan membuat Anda kehilangan nyawa, Nona. Saya kira, Zita tadi akan melanjutkan eksekusinya kepada Anda."     

Lois masih terdiam di tempatnya. Bahkan menggerakkan leher untuk mengecek apakah itu benar-benar Medora saja tidak bisa dilakukannya.     

Pandangan Lois mulai mengabur dan panas. Cairan bening mulai meleleh dari matanya itu. Dia merasa bukan siapa-siapa, meski statusnya adalah bangsawan. Dia merasa tak pernah melakukan sesuatu yang patut diberi penghargaan. Barangkali, kematian dirinya juga tak akan mengubah apa pun.     

Namun, dia tak tahu apa yang akan terjadi setelah dirinya mati. Rasa ketidak-tahuan itu yang kini membuat jantungnya berdebar tak terkendali, memicu hawa dingin seolah menjalar ke setiap pembuluh darah di tubuhnya. Sebentar lagi, setiap organ di tubuhnya akan berhenti total.     

Menakutkan.     

"Arghhh!!!" Pekikan Medora menggema, disusul oleh denting senjata yang beradu. "Sepertinya kalian ini teman Nona Lois."     

"Kami tidak berniat membunuhmu!" Sekarang yang terdengar adalah suara Ione. "Tunggu!"     

Telinga Lois bisa menangkap bunyi gemresak daun pepohonan. Sepertinya, Medora sedang kabur, melompat dari satu ranting pohon ke ranting pohon lainnya.     

"Halo, Nona."     

Dan itu suara Lyra. Lois tak mengerti mengapa hatinya justru merasakan kelegaan tak terkira, padahal saudari angkatnya itu sudah menjadi musuhnya.     

"Kondisimu buruk sekali."     

Lois bisa melihat sepatu putih dengan aksen oranye yang dipakai Lyra. Lois ingin menyapa dan sedikit becanda, tetapi tentu saja dia tak bisa melakukannya. Yang ada, kelopak matanya justru mulai memberat, kemudian mulai menutup secara otomatis. Terus menutup, sampai yang bisa dilihatnya hanyalah kegelapan pekat.     

***     

Lois merasakan tubuhnya masih sangat berat begitu dirinya sanggup membuka mata. Bagian dadanya yang telanjang sudah bisa merasakan lembut dan empuk yang cukup familier. Karena pandangannya belum terlalu jelas, dia tak bisa benar-benar memastikan di mana dirinya, tetapi sepertinya ini adalah kamarnya sendiri.     

"Barangkali ini karma," celetuk Lyra yang duduk di samping tempat tidur.     

Lois yang tubuhnya hanya tertutupi beberapa perban dan kain tipis di bagian pantat pun terkekeh pelan. "Sepertinya begitu. Gara-gara melukai temanmu yang bernama Kacia itu, aku jadi begini."     

"Syukurlah, kamu sudah sadar." Marcel mendatangi dipan Lois. Pria itu bernapas lega dan memijati keningnya. "Begitu Zita muncul, aku sengaja manggil Stefan dan teman-temannya."     

"Terimakasih, Marcel. Padahal, hubungan kamu dan Stefan sedang tidak baik, tetapi kamu mengesampingkan hal itu terlebih dahulu. Entah apa yang terjadi kalau Lyra tidak menolongku."     

Marcel sedikit menarik napas. "Akhir-akhir ini banyak pembunuhan brutal. Aku menduga, itu dilakukan oleh Zita. Apa yang dia lakukan bisa menarik perhatian masyarakat. Kita harus segera membasmi bidadari gila itu."     

Lois mengembangkan senyum lemah. "Aku juga mengapresiasi kamu yang berani mengaktifkan kekuatan berpindah tempatku. Risikonya, Zita akan menyakiti kamu, kan?"     

"Untungnya, dia cuma marah-marah nggak jelas. Waktu aku kabur, dia nggak ngejar." Marcel mengangkat bahu.     

"Kamu sudah bisa tersenyum. Sepertinya kondisimu sudah segar bugar. Aku pulang dulu saja." Lyra bangkit dari kursinya.     

"Kamu tidak mau tahu bidadari yang nyaris membunuhku? Yang memakai baju sobek-sobek itu ...," tutur Lois ketika Lyra sudah mulai berjalan.     

Lyra berhenti, masih membelakangi Lois. "Memangnya dia siapa?"     

"Aku cuma mau bilang, jangan percaya padanya. Dia mengajakku bergabung dengannya. Awalnya aku menolak. Tetapi, ketika Zita muncul, aku setuju untuk bekerjasama dengannya. Aku bilang, itu untuk sementara saja. Setelah itu, aku dan dia akan kembali menjadi lawan," lanjut Lois. Ia berhenti sejenak, menggerak-gerakan bibirnya yang masih agak kebas. "Terus, waktu kami bertarung melawan Zita, dia malah mencakarku dari belakang. Nah, cakarannya itu seperti punya efek melumpuhkan, makanya aku jadi begini."     

Akhirnya, Lyra berbalik menatap Lois. "Sepertinya, ini memang benar-benar karma."     

"Sepertinya begitu." Lois kembali tersenyum lemah.     

"Terimakasih atas infonya." Lyra sudah memutar kenop pintu. "Walaupun sekarang kita musuh, aku tetap mengapresiasinya, Lois."     

"Apa benar kita ini musuh?"     

Lyra membeku sejenak. "Ingat, alasanku tidak membunuhmu saat ini adalah karena aku memang tidak bisa melakukannya. Dengan kondisi sekarang, kamu adalah sasaran empuk."     

Lois melebarkan senyumnya, tepat ketika Lyra membuka pintu. Lois bisa melihat teman-teman Lyra ternyata sedang menunggu di luar.     

"Kamu mau makan apa?" tanya Marcel ketika pintu kamar itu ditutup dari luar. "Mau bubur atau apa? Kamu pingsan cukup lama. Waktu tadi berangkat bertarung juga, kamu kan belum makan."     

Lois kembali menggerak-gerakkan bibirnya. "Terimakasih, tapi nanti saja, Marcel. Mulutku masih kebas dan kaku. Sepertinya bakal sulit untuk menelan makanan."     

"Baiklah." Marcel menduduki kursi yang tadi ditempati Lyra.     

"Aah ...." Lois sedikit berdehem. "Maaf, tapi aku sedang ingin sendiri, Marcel."     

"Tapi, pemulihanmu ...."     

"Aku mohon."     

Melihat ekspresi permohonan yang tidak pernah diperlihatkan Lois, Marcel mengangkat bahu dan bangkit dari kursi. "Oke, kalau ada apa-apa panggil aja, ya."     

"Ngomong-ngomong, apa kamu tahu rasanya berada di ambang kematian, Marcel?" tanya Lois saat Marcel sudah berjalan menuju pintu kamar.     

Marcel menghentikan langkahnya. "Kenapa kamu tanya begitu? Sekarang pun, aku juga berada di ambang kematian, kan?"     

"Ah, benar juga. Maaf, aku cuma .... Tadi, waktu Lyra belum datang, aku merasa hampir mati, jadi sekarang .... Ah, aku kesulitan menjelaskannya."     

"Kamu tidak akan mati." Marcel memutar kenop pintu. "Aku masih membutuhkanmu."     

Begitu Marcel keluar dari kamar, Lois mengamati telapak tangannya, yang terus saja bergetar tak terkendali.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.