A Song of the Angels' Souls

42. Dia



42. Dia

0Meski matanya sudah terbuka, Stefan tetap berbaring di tempat tidurnya. Ia memandangi wajah Ione yang ada di sampingnya. Bidadari itu masih terpejam, tetapi pundaknya yang terbuka tampak sedikit bergerak. Tak berapa lama, ia pun tersenyum, akhirnya membuka mata.     
0

"Selamat pagi, Ione," sapa Stefan, lantas mengecup sekilas bibir bidadarinya itu.     

Ione mengubah posisinya dari tengkurap menjadi telentang. Ia mempertahankan selimutnya agar tetap menutupi tubuhnya yang telanjang. Kemudian, bidadari itu merapatkan dirinya kepada Stefan, yang langsung merangkulnya.     

"Tadi malam itu pengalaman yang baru bagiku. Dan ternyata sangat menyenangkan," ceplos Stefan.     

Ione langsung terkekeh. "Aku sudah takut karena kamu menjauhiku, tetapi setelah aku mendorongmu melakukan 'itu,' akhirnya sekarang kamu mau berbicara kepadaku juga."     

Serta-merta Stefan melepaskan rangkulannya, kemudian duduk di pinggiran dipan. Ione pun mengamati punggung Stefan yang terbuka seluruhnya.     

"Apakah kamu masih berpikir kalau di hati Zita sekalipun itu masih ada secercah cahaya? Kamu masih berpikir dia tetap harus diberi kesempatan?" lanjut Ione, menggeleng-gelengkan kepalanya. "Barangkali kamu benar, tapi berapa lagi orang yang harus mati sebelum Zita sadar?"     

Stefan beranjak dari dipan, buru-buru memakai kimono tidur.     

Ione ikut bangkit, tak mau repot-repot menutupi tubuh telanjangnya dengan apa pun. "Sampai kapan kamu mau begini, Stefan? Sudah berapa hari berlalu sejak aku dan yang lain sepakat membunuh ZIta? Aku sudah sangat bersabar menghadapi kelakuanmu! Lois sudah hampir sembuh! Sebentar lagi, dia akan membantu kita menghabisi Zita! Ini sudah tidak bisa ditunda lagi! Zita harus mati! Aku memerlukan kamu sebagai partner untuk fokus kepada misi ini ...."     

"Lebih baik kamu bersiap-siap," potong Stefan cepat, tanpa memandang bidadarinya sama sekali. "Habis ini, kita balik ke rumah kontrakan ...."     

"Jangan mengalihkan pembicaraan!" Ione balas menyela. Nada bicaranya terdengar sangat ketus. "Aku perlu jawaban kamu sekarang! Apakah kamu siap untuk membantuku, Lyra, Kacia, Lois, kakakmu, dan Rava dalam misi membunuh Zita!?"     

"Iya, aku siap!!!" pekik Stefan keras, kemudian terengah-engah memandang Ione dan terduduk kembali di kasur. "Puas!?"     

Masih dengan tubuh telanjangnya, Ione pun ikut duduk, kemudian memeluk tubuh tuannya itu erat-erat. Stefan mematung dan memandang lurus ke depan, tak balas memeluk sang bidadari.     

"Maaf, barangkali aku telah menghancurkan apa yang menjadi prinsipmu, Stefan." Suara Ione mulai terdengar parau. "Sekali lagi maaf. Aku tidak akan melakukan pembelaan. Aku cuma ingin minta maaf."     

Akhirnya, Stefan pun menggenggam erat tangan bidadarinya itu.     

***     

Perjalanan Stefan dan Ione ke rumah kontrakan Rava dilalui dalam sepi. Stefan fokus mengemudikan mobil, sementara Ione terus saja memainkan ponselnya.     

"Ngomong-ngomong, Rava sama Kacia menurutmu gimana? Akhir-akhir ini mereka jadi sering ngobrol," celetuk Stefan akhirnya, memecah keheningan.     

Ione pun terkekeh. "Menurutku, mereka sangat cocok, tapi kasihan Lyra juga, sih."     

"Aku heran dengan Rava, padahal kesempatan membuat harem sudah di depan mata, tapi kenapa menyia-nyiakannya?"     

Ione memandang tuannya dengan mulut melongo dan alis mengerut. Stefan pun terkekeh, memicu Ione untuk tertawa. Mereka pun akhirnya tertawa bersama-sama.     

Stefan menghela napas. "Maaf, ya. Akhir-akhir ini aku udah ...."     

"Sudahlah," potong Ione dengan nada ringan. "Untuk sekarang, yang penting kamu sudah mau membantu. Masalah yang lain kita bahas nanti."     

"Fair enough." Stefan mengangkat bahu. "Tapi, aku ...."     

Omongan Stefan terpotong oleh dering ponselnya. Setelah sejenak berbicara dengan seseorang yang meneleponnya, ia menoleh kepada Ione sambil menelan ludah.     

"Itu dari orang yang kusuruh buat ngelacak Ursa sama Yohan. Ternyata, mereka itu udah menghilang selama beberapa hari ini," terang Stefan.     

"Apa?" Ione tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. "Apa mungkin ...."     

Ione berbhenti berucap karena Stefan tiba-tiba menginjak pedal rem, membuat keduanya. terhentak ke depan. Ione pun langsung menyipitkan matanya. Yang menghadang mobil Stefan adalah seorang bidadari dengan baju tempur abu-abu yang sobek di sana-sini. Bidadari itu baru saja mendarat di aspal, entah melompat dari mana, langsung memberikan senyum ramah nan teduh.     

"Dasar Piv, pasti dia sembarangan memberitahu lokasi kita," gerutu Ione, lantas turun dari mobil.     

Stefan pun ikut turun. Tangannya sudah mengeluarkan ponsel, bersiap menghubungi rekan-rekannya.     

"Selamat pagi," sapa Ione. "Ada yang bisa kami bantu?"     

Tak! Tak!     

Ponsel di tangan Ione dan Stefan langsung terlempar begitu terkena lemparan batu Medora. Stefan buru-buru memeriksa ponselnya yang baru mendarat di aspal itu. Percuma, layar benda tersebut sudah mati total. Waktu Stefan mencoba menyalakannya lagi, alat komunikasi itu juga tak memberi respon.     

"Huh, aku benar-benar tidak menduga gerakan itu." Ione memandangi tangannya, yang tadi masih menggenggam ponsel, tetapi sekarang tidak. Kemudian, matanya pun melirik Medora. "Kamu kejam sekali wahai bidadari cantik berbusana abu-abu, padahal aku sudah menyimpan banyak foto pria-pria kekar di sana."     

"Maaf." Medora memasang kuda-kuda rendah andalannya.     

"Sebelumnya ...." Ione mengaktifkan senjata dan busana tempurnya. "Aku cuma mau bilang, aku ini tidak mau bertarung ...."     

Ione tak sempat menyelesaikan kalimatnya karena Medora keburu maju menyerang. Ione pun harus menangkisi kombinasi serangan cakar yang datang padanya. Dia memang belum terdesak, tetapi di saat yang sama dia juga belum bisa membalas serangan Medora.     

Sementara itu, Stefan menengok ke sana ke mari, mencari tuan Medora. "Nama kamu Gilang, kan!? Keluarlah, Gilang! Aku nggak akan ngapa-ngapain kamu, kok!"     

"Nggak!"     

Stefan langsung tahu asal suara anak kecil itu, yakni dari balik sebuah tiang listrik. Sepertinya, Gilang belum terlalu mengerti fungsinya bersembunyi.     

Memajang senyum ramah, Stefan berjalan pelan mendekati si bocah cilik. Menyadari hal itu, Medora hendak menghampiri tuannya, tetapi dia keburu dihadang Ione, yang sekarang balas memberikan kombinasi serangan.     

"J-jangan deket-deket!" Gilang merapatkan dirinya ke tiang listrik. Bocah cilik itu mengintip dengan wajah takut-takut.     

Stefan mengangkat kedua tangannya, kemudian bersimpuh di aspal, sementara para bidadari masih bertarung.     

"Kami sebenarnya nggak ingin menyakiti bidadari lain kok, Lang," tutur pemuda itu lembut. "Kami malah ingin bekerjasama ...."     

"Bohong!" pekik Gilang, keluar dari persembunyiannya. "Bu Dor bilang, kalian ini semuanya penipu! Cuma bu Dor yang membela kebenaran! Kalian cuma mau membunuh bu Dor!"     

Tepat ketika Gilang memencet salah satu tanda di lengannya, Stefan pun melakukan hal yang sama.     

Ione melompat mundur dan mulai meniup serulingnya, sementara Medora mengambil ancang-ancang. Ione terus melompat-lompat ke belakang, dan tentu saja Medora mengejarnya.     

Dan akhirnya, Medora melancarkan jurus seribu cakarannya. Akan tetapi, Medora sudah selesai meniup seruling. Cakaran-cakaran itu hanya mengenai pelindung cahaya berbentuk gelembung raksasa berwarna ungu transparan yang mengelilingi tubuh Ione.     

"Ugh!" Ione jatuh berguling di gelembungnya sendiri itu. Karena terbentuk ketika dirinya melompat, gelembung itu jadi berbentuk bulat sepenuhnya, berbeda dengan yang dulu melindungi Kacia dan Rava. Waktu itu, sebagian gelembung itu terlihat seperti tertanam di tanah, sehingga tidak bisa bergerak ke sana ke mari seperti sekarang.     

Setelah beberapa detik mencoba, akhirnya Ione bisa berdiri dan menjaga keseimbangan. "Mumpung kamu sedang tidak bisa menyerangku, sekarang aku akan menjelaskan sesuatu ...."     

Medora mendekatkan wajahnya ke gelembung itu, kemudian berbisik, "Aku tahu, tujuan kamu itu sebenarnya mulia sekali. Aku mungkin akan bergabung kalau saja bidadari bernama Lois itu tidak ikut dengan kalian. Kemungkinan besar, Lois dendam padaku karena aku pernah jahat padanya. Aku takut dia membunuhku."     

"Aku akan berusaha membujuk Lois ...."     

"Berbeda denganmu, aku ingin memenangi pemilihan ini. Aku tidak mau jadi miskin lagi. Aku dulu miskin sekali. Makan saja susah," potong Medora, kembali berbisik dan tersenyum, lantas melirik ke arah lain. "Jadi, pada akhirnya, kalaupun aku bergabung, kalian tetap akan kukhianati."     

Mengerutkan kening, Ione menoleh ke arah pandangan Medora tertuju. Di kejauhan, ada tower seluler yang tingginya kurang lebih hampir lima puluh meter.     

Ione memandang kepada Medora kembali, menelan ludah dan menggeleng-gelengkan kepala.     

"Maaf." Medora semakin memekarkan senyuman teduhnya.     

"Stefan! Aktifkan nomor satu! Uwaaaaa!"     

Gelembung energi itu ditendang keras-keras, membuatnya bergulir kencang. Tubuh Ione pun jadi terlontar ke sana ke mari di dalam gelembung itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.