A Song of the Angels' Souls

49. Jeda



49. Jeda

0Seperti biasanya, Lyra membantu ibu Rava untuk membuat makanan kecil. Kali ini, dengan duduk di tikar, ia berkutat dengan adonan nasi, kentang bumbu pedas, dan daun pisang. Ia tengah membuat arem-arem. Namun, ada yang berbeda kali ini. Tidak ada Kacia dan Rava yang ikut membantu.     
0

"Kamu beneran nggak mau ikut yang lainnya jalan-jalan ke mall?" tanya ibu Rava lembut. "Hari ini kan libur jualan. Pesanannya juga cuma dikit. Kamu bisa bersenang-senang sampai sore."     

Lyra tetap fokus berkutat dengan bungkusan daun pisang dan adonan nasi, tentu saja dengan tangan yang begitu cekatan. "Saya cuma tidak tertarik, Bu."     

"Apa ada yang mengganggu pikiran kamu, Lyra?" Ibu Rava sedikit tersenyum, menghentikan pekerjaannya.     

Tangan Lyra ikut berhenti membungkus, tapi itu cuma beberapa detik saja. "Tidak, Bu."     

"Walaupun ekspresi kamu begitu-begitu saja, Ibu bisa melihat sesuatu yang lain dari kamu. Biasanya, walaupun bungkus makanannya cepet banget, gerakan kamu itu terkesan lembut, Lyra." Ibu Rava lantas menunjuk kepada satu nampan berisi sekumpulan arem-arem yang sudah selesai dibungkus. "Hasilnya juga, biasanya apa pun hasil buatan kamu selalu rapi. Tapi lihatlah sekarang .... Yah, nggak bisa dibilang berantakan, sih. Cuma .... Potongan daun pisangnya nggak serajin biasanya, tusukan lidinya juga agak miring-miring gitu."     

Lagi-lagi Lyra menghentikan kegiatannya. Isi dadanya seperti agak menggelegak. Sebegitu berpengaruhnya kah Rava kepada dirinya? Sampai dampaknya kelihatan seperti ini?"     

"Dan sebenarnya ibu udah menyadari hal ini beberapa hari terakhir. Paling kelihatan pas kamu pulang malem banget itu," lanjut ibu Rava. "Sebenarnya, ibu mau bahas ini dari kemarin-kemarin, tapi waktunya belum tepat. SIapa tahu kamu nggak mau ini dibahan di dekat orang lain ...."     

"Saya baik-baik saja kok, Bu." Lyra menghela napas, kembali melanjutkan pekerjaannya. Kali ini dia memastikan arem-aremnya lebih sempurna.     

"Ibu cuma khawatir sama kamu. Kamu, sama Stefan, Ione, dan Kacia itu .... Gimana yang bilangnya, lebih membuat hidup Rava lebih berwarna, gitu. Yah, dia sempet down dan nggak mau gambar sih, tapi sekarang kelihatan dia baik-baik saja. Bahkan dia jadi mau main keluar, loh!"     

Lyra menaruh arem-arem terakhirnya ke nampan. "Mungkin kehidupan Rava benar jadi lebih berwarna, tapi itu bukan karena saya, Bu. Itu karena yang lain ...."     

Lyra bangkit, hampir mengucapkan kalimat 'terutama karena Kacia,' tetapi dia berhasil menahan diri. Memikirkan hal itu saja membuat perutnya seolah bergejolak.     

Ibu Rava menangkap tangan bidadari itu. "Nggak Lyra, kamu itu punya andil besar."     

Mulut Lyra menutup rapat. Seperti yang sudah-sudah, ekspresi bidadari nan rupawan itu tidak berubah sama sekali. Matanya tajam tertuju kepada senyum ibu Rava.     

"Terus, Ibu juga minta tolong, jaga Rava baik-baik. Ibu nggak ingin dia terpuruk lagi."     

Melihat mata ibu Rava yang diselimuti cairan bening, Lyra sedikit membuka mulutnya, tak mengerti arti dari ekspresi ibunda tuannya itu. Beliau tampak sedih, tetapi mengapa mulutnya masih menyunggingkan senyum?     

"Ah, Ibu mau mengukus ini dulu." Ibu Rava menyeka sedikit air matanya, kemudian meraih nampan arem-arem dan pergi meninggalkan Lyra.     

Lyra terus memandang ibunda tuannya itu menjauh. Sebegitu rapuhkah Rava sampai sang ibunda begitu mengkhawatirkannya?     

Tidak. Lyra mengingat momen-momen Rava bersama dirinya. Rava enggan bertarung karena kalau dirinya mati, ibunya akan sedih. Perekonomian ibunya juga akan terganggu. Pemuda itu juga begitu memikirkan orang lain, Lyra tahu sejak melihat wajah Rava ketika menemukan korban-korban kedatangan monster. Rava pasti berpikir: andai saja dirinya punya kekuatan untuk menolong. Bahkan pemuda itu sampai mengorbankan bagian dirinya yang paling berharga demi menyelamatkan orang lain. Itu sesuatu yang tidak dibantah. Kemudian, Rava yang biasanya pendiam, kikuk, dan tidak bisa diandalkan, memperlihatkan tekad kuat untuk menyelamatkan Kacia. Bahkan dia sampai menyerang tuan Kacia demi bisa membebaskan bidadari mungil itu.     

Dan Lyra tahu, itu semua belum bisa menggambarkan Rava secara utuh.     

Lyra memegangi dadanya, tempat jantungnya—yang degupnya mulai merangkak naik—bersemayam. Barangkali, Rava bukanlah pria biasa-biasa saja seperti yang dia kira selama ini.     

***     

Di depan gerbang mall yang megah itu, Ione merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. "Aku bebas!"     

Beberapa orang yang sedang hilir-mudik di dekat gerbang pun memerhatikan kelakuan heboh Ione. Rava sampai merasa agak canggung walau bukan dia yang melakukannya.     

"Semangat banget kamu." Stefan terkekeh.     

"Sayangnya, kita nggak bisa ke pantai." Ione berkacak pinggang. "Padahal, aku ingin melihat pria-pria kekar di sana."     

"Yah, mau bagaimana lagi. Pantai terdekat lagi ditutup untuk alasan yang nggak jelas. Kalau pergi ke pantai yang jauh, kita bisa repot kalau ada apa-apa di sini," desah Stefan, mengangkat bahu. "Lagian, pria-pria kekar di pantai itu cuma ada di film-film. Kalau pantai di sini ya paling ketemunya mas-mas buncit."     

"Tapi, Mall juga oke, kok! Pokoknya, aku mau belanja sampai puas!"     

Begitu memasuki pusat perbelanjaan itu, Kacia mengedarkan pandangan. "Aku baru pernah masuk ke tempat seperti ini, tetapi di duniaku ada sih yang mirip. Seperti ini, toko-toko dipusatkan di satu tempat."     

"Aah, kalau tempat di dunia kita itu sangat membosankan. Tidak ada yang jual baju bagus. Kalau mau baju bagus, kita harus pesan di tempat lain. Di sana juga tidak ada tempat makan, tempat permainan, ataupun bioskop! Beda dengan di sini, semuanya lengkap."     

"Bioskop?" Kacia menelengkan kepala.     

"Tempat kita menonton film dengan layar raksasa!"     

Melihat wajah Kacia yang masih menunjukkan kebingungan, Rava pun menahan tawa. Ternyata masih banyak yang belum Kacia ketahui tentang bumi.     

"Sebenernya, aku juga baru pertama kali ke sini, Kacia," celetuk Rava.     

"Haaaah!?" Stefan dan Ione tercengang bersamaan.     

Rava langsung meringis kaku. "Y-yah, itu .... Soalnya aku beli apa-apa online."     

Jangankan jalan-jalan ke mall, pergi keluar saja jarang. Gara-gara kedatangan para bidadari dan segala kejadian yang mengikuti mereka inilah, Rava jadi sering meninggalkan rumah. Itu pun bukan untuk bersenang-senang.     

Stefan membungkuk, mendekatkan mulutnya ke telinga Ione, lantas berbisik, "Ini nggak akan menghalangi rencana kita, kan?"     

"Tentu saja, walaupun kelihatannya begitu, Rava itu sudah besar. Dia pasti tahu apa yang seharusnya dilakukan. Sekalian juga dia latihan menghadapi situasi seperti itu." Ione balas berbisik. "Biar tidak jadi pemalu terus."     

Kacia dan Rava sama-sama mengerutkan kening melihat kelakuan kedua orang itu.     

"Aku dan Stefan mau pergi belanja! Daripada nanti bosan, kalian jalan-jalan berdua saja dulu!" Ione merangkul tangan Stefan dan menariknya pergi.     

"E-eeeh!?" Rava berusaha menyusul, tetapi Ione pergi dengan langkah begitu cepat. Stefan pun cuma melambaikan tangan, tak menunjukkan tanda-tanda melawan.     

Rava mematung dengan mulut menganga untuk beberapa detik, sebelum bergerak kaku untuk menghadap Kacia, yang kini menunduk dan memainkan roknya. Rona merah mulai menghiasi wajah bidadari mungil itu.     

"Errr .... Jadi, kita mau ngapain?" Rava mengumpat dalam hati. Bukan hanya kepada Stefan dan Ione yang membuatnya kebingungan, tetapi juga terhadap dirinya sendiri. Bisa-bisanya dia bertanya seperti itu kepada Kacia? Jelas-jelas Kacia tidak tahu apa yang ada di mall itu. "Ah, kayaknya d-di atas ada foodcourt ... Kayak tempat makan gitu, kita ke sana aja."     

Kacia mengangguk. Dia dan Rava pun akhirnya melangkah berjejeran. Rava mengusapi wajahnya, yang terasa agak panas dan berwarna merah. Ia benar-benar tak sanggup menatap Kacia. Kacia pun sama-sama tak bisa memandang atau berbicara kepada Rava.     

Setelah Rava mengecek lokasi di papan penunjuk, mereka pergi ke lantai teratas dengan lift. Saat berjalan menuju foodcourt, Rava berhenti di depan sebuah poster film.     

"Dia mirip seperti gambar kamu yang pernah kamu tunjukkan kepadaku," celetuk Kacia, menunjuk satu karakter perempuan dengan rambut hijau di poster.     

"Ah, aku menggambarnya sebagai fanart .... Semacam apresiasi untuk pembuat aslinya," jawab Rava, masih saja mengamati poster film animasi Jepang itu. Dulu dia menantikan film ini. Namun, setelah tidak bisa menggambar lagi, Rava berusaha melupakannya. Bahkan menonton anime yang lain pun ia enggan. Gambar-gambar bergerak itu hanya akan membuatnya teringat saat-saat dirinya masih bisa menggambar.     

"Ini yang Ione sebut sebagai film itu? Ini semacam tanyangan hiburan? Ditayangkan di bioskop seperti yang Ione bilang tadi?" tanya Kacia.     

Rava menelan ludah. Kedua tangannya terkepal erat. Pertanyaan muncul di kepalanya. Mau sampai kapan? Kondisi hidupnya sedang amburadul dengan kedatangan para bidadari dan tetek-bengeknya. Sesekali, dia butuh hiburan. Kenapa dia harus melarang diri sendiri untuk menikmati apa yang biasa disukainya?     

"Errr .... Aku ingin nonton ini Kacia. Tapi, barangkali orang kebanyakan nggak akan bisa menikmatinya. Kalau kamu lapar, kita pergi ke foodcourt aja. Aku bisa nonton lain kali lewat streaming." Tipikal Rava. Suara pemuda itu semakin lama semakin lirih. Dia tak yakin apakah mengajak Kacia menonton film yang bisa dibilang untuk 'kalangan tertentu' ini adalah sesuatu yang tepat.     

Kacia sedikit terkekeh melihat ekspresi Rava. "Yuk, aku juga penasaran bioskop itu seperti apa."     

Rava pun meringis, kembali berjalan bersama bidadarinya itu untuk memasuki bioskop. Baru saja akan membeli tiket, dia berpapasan dengan seorang pria super gemuk yang menenteng berbagai macam makanan, dari onion ring sampai pop corn.     

"Rudi? Sendirian aja?" sapa Rava.     

Dengan pandangan mata kosongnya, Rudi pun memandang Rava dan Kacia secara bergantian. Rava langsung sadar kalau kata-katanya pasti salah di telinga temannya yang dulu menawarinya pekerjaan itu.     

"Teman kamu, Rav?" tanya Kacia, yang berdiri sangat dekat dengan Rava.     

Rudi mendengus keras, lantas ngeloyor begitu saja, tak mau repot-repot membalas sapaan Rava.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.