A Song of the Angels' Souls

53. Ione



53. Ione

0Karena pundaknya ditarik oleh Varya, pegangan Ione kepada Lois pun terlepas. Ione langsung menjaga jarak, melirik ke lokasi seharusnya Zita tadi berada. Di sana, sang bidadari gila itu sudah tak terlihat sama sekali.     
0

"Prioritas Anda salah besar, Nona Varya. Seharusnya, Anda menghabisi bidadari sinting itu dulu. Dia itu yang paling berbahaya di antara bidadari lain," ujar Ione, sedikit tersenyum getir.     

Varya sedikit menelengkan kepala. "Kamu merendah, ya?"     

Tawa kecil pun meluncur dari mulut Ione. "Merendah? Saya cuma orang biasa yang tidak punya tujuan hidup. Buat apa merendah? Tidak ada yang bisa dibanggakan dari diri saya, Nona Varya."     

"Aku tahu siapa kamu." Varya mulai berjalan mendekat, memaksa Ione untuk memasang kuda-kuda waspada. "Entah kamu memang sengaja menahan diri, atau memang hubunganmu dengan mereka-mereka itu membuatmu menjadi tumpul. Namun, aku merasa kekuatanmu yang sebenarnya akan bangkit cepat atau lambat, dan itu bakal sangat merepotkan."     

Ione memijati tengkuknya yang seperti dihantam hawa dingin. "Saya tidak mengerti ucapan Anda, Nona Varya."     

Varya berhenti, sedikit tertawa angkuh, kemudian menunjuk Ione.     

"Kamu itu lebih berbahaya daripada Zita. Maka dari itu, kamu ada dalam urutan teratas dari daftar targetku," tegas sang bidadari bertopeng.     

Pandangan Ione langsung menajam. Senyum dan tawanya lenyap seketika. Varya pun melesat maju. Ione bergeser menghindar, tetapi Varya lebih cepat dan bisa mengikuti gerakan sang musuh. Sikutan bidadari berbusana putih itu pun mendarat keras ke wajah Ione.     

***     

"Ione ...," desis Stefan, yang kini naik di punggung Lyra. Sejak tadi berangkat untuk menuju stadion kembali, napasnya begitu berat dan keringat dingin terus mengalir di sekujur tubuhnya.     

"Dia sangat berarti buat kamu, eh?" tanya Marcel yang menunggangi punggung Lois, berbicara dengan nada sinis.     

Rava memandangi wajah Stefan, yang menunjukkan kecemasan luar biasa.     

"Kamu juga khawatir dengan Ione kan, Rava?" ujar Kacia yang menggendong tuannya itu, melompat dari atap rumah satu ke atap rumah lainnya bersama Lyra dan Lois. "Tenang saja, kita sudah membuat rencana yang aku yakin bisa menahan seorang Varya sekalipun."     

Rava bisa mendeteksi nada tidak percaya diri dalam ucapan Kacia itu. Tentu saja, setelah melihat kemampuan bertarung yang sungguh luar biasa dari Varya, hati para bidadari pasti bergetar hebat. Sebagus apa pun rencana yang dibuat, mereka jelas berpikir kalau kemungkinan berhasilnya kecil.     

Lois terlihat agak menjaga jarak dari yang lainnya. "Ngomong-ngomong, kenapa kamu mau ikut menyelamatkan Ione, Marcel? Biasanya kan kamu tidak peduli dengan bidadari lain?"     

Marcel sedikit menghela napas. "Paling nggak, buat sekarang, keberadaan Ione itu diperlukan untuk mengalahkan Zita dan Varya. Kita harus bekerjasama dengan sebanyak mungkin orang ...."     

"Atau kamu mengerti perasaan adik kamu? Kamu mengerti, Stefan akan terpukul kalau terjadi sesuatu kepada Ione. Bagaimanapun, rasa cintamu kepada Anggun begitu besar, mungkin sebesar rasa cinta Stefan kepada Ione."     

"Aku nggak mau bahas ini lagi," desah Marcel. "Lebih baik kita fokus ke misi saja."     

Lois mengangkat bahu. "Baiklah."     

Selanjutnya, perjalanan dilalui dalam diam. Suara yang terdengar hanyalah desau angin karena mereka terus melaju ke depan. Sampai akhirnya, rombongan itu tiba di tempat tujuan, sebuah stadion kecil yang dindingnya tak terlalu tinggi.     

Para bidadari menggunakan pohon-pohon cemara terdekat sebagai pijakan untuk lompat melewati dinding stadion.     

Napas Rava tercekat saat akhirnya bisa melihat Ione.     

Wajah Ione hampir tak berbentuk karena penuh lebam dan luka. Bidadari berbusana ungu itu juga kelihatan sudah tak merespon. Kedua tangannya lunglai ke bawah. Bahkan sebelah kakinya menekuk ke arah yang salah. Ia memang masih bersimpuh, tetapi itu karena Varya menjambak rambutnya yang kini tergerai dan menariknya ke atas.     

Melompat dari sala satu kursi tribun, Kacia melemparkan tiga panah sekaligus. Varya terpaksa menghindar dan melepaskan Ione. Tubuh Ione pun tumbang ke tanah.     

Begitu mendarat di lapangan, bidadari-bidadari yang baru datang pun menurunkan para tuan, kemudian langsung berlari ke arah Varya. Kemungkinan, Varya akan bisa memprediksi kalau Kacia bersembunyi untuk menembakkan panah penjerat. Maka dari itu, atas usul Marcel, mereka memilih konfrontasi langsung seperti ini.     

Varya meladeni serangan tiga bidadari itu. Seperti tadi, dia berhasil menyarangkan kombinasi serangan beladirinya. Namun, kali ini Lois dan Lyra bisa membalas dengan menggoreskan luka, walaupun tidak terlalu dalam.     

Energi pelindung di tubuh Varya jelas sekali telah habis, tetapi dia terlihat tak terpengaruh sama sekali.     

"Ione! Ione! Ioneeee!!!" seru Stefan, bersimpuh dan mengamati kondisi Ione yang mengenaskan. Lebam-lebam tak hanya menghiasi wajah bidadari itu, tetapi juga seluruh tubuhnya. Bahkan Stefan mendapati sebelah tulang siku Ione yang patah dan mencuat keluar dari tempatnya, terus mengalirkan darah segar. "Ioneeeee!!!"     

Stefan mulai mencucurkan air matanya.     

"Dia masih hidup," ucap Marcel yang memeriksa denyut nadi Ione.     

Rava tak ikut bersama dua pria itu. Dia fokus mengamati pertarungan. Jarinya bersiap memencet tanda terakhir di lengannya.     

Bidadari di kubunya makin kewalahan. Namun, itu tak masalah. Tujuan mereka di sini bukanlah untuk mendapatkan kemenangan mutlak.     

Rava terus menunggu, sementara para bidadari terus jual-beli serangan. Sampai akhirnya, dia melihat Kacia sudah berdiri di belakang Varya. Kacia sudah dalam posisi seperti akan mengeluarkan anak panah baru. Saat itulah, Rava menekan tanda di lengannya.     

Satu anak panah muncul dari tangan Kacia. Bidadari mungil itu langsung menusukkannya ke punggung Varya. Kemudian, Kacia, Lyra, dan Lois melompat mundur. Baru saja Varya akan mencabutnya, anak panah itu berubah menjadi rangkaian pita dan langsung menjerat tubuh Varya.     

Lois pun mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, hendak menusukkannya ke leher Varya. Akan tetapi, pedangnya keburu dihalau busur Kacia.     

"Perjanjiannya bukan begini," desis Kacia cepat. "Kita di sini bukan untuk membunuhnya."     

Lois berdecak dan akhirnya ikut berlari meninggalkan Varya. Lyra pun mengangkat tubuh Ione, sekaligus menggendong Stefan.     

Tanpa mengatakan apa pun, Varya terlihat berusaha melepaskan diri.     

Kacia tersentak hebat. Seumur hidupnya, dia baru menemui ada orang yang kelihatan mulai bisa melonggarkan jerat pita itu, meskipun hanya sedikit. "Cepat!!!"     

Akhirnya, ketiga bidadari itu pun melompat kabur dengan para tuan.     

***     

Karena ternyata jaraknya tidak terlalu jauh dari stadion, mereka tiba di rumah Stefan beberapa menit kemudian. Lyra langsung membawa tubuh Ione ke kamar dan membaringkannya ke kasur.     

"Ione? Kamu dengar aku?" bisik Stefan, bersimpuh di lantai dan menggenggam erat tangan bidadarinya itu. Air matanya mengalir semakin deras. "Aku mohon, Yon. Bertahanlah."     

"Dia tidak akan lama bertahan." Tiba-tiba saja, satu sosok Piv melompat ke samping kepala Ione. "Lukanya sudah terlalu parah. Kemampuan regenerasinya tidak akan sempat menyembuhkan tubuhnya. Suatu keajaiban dia masih bisa bertahan melawan Varya."     

Mata Stefan membelalak lebar. "Apa nggak ada yang bisa kita lakukan!?"     

Piv membisu.     

Rava melihat apa yang ada di depannya itu dengan jantung berdebar tak terkendali. Haruskah ada bidadari yang mati lagi? Apa yang terjadi dengan Stefan nantinya? Stefan jelas sekali mencintai Ione.     

Rava merasakan ujung kausnya ditarik. Ternyata yang melakukan itu adalah Kacia. Tubuh mungil bidadari itu bergetar hebat dan ujung matanya sudah dihiasi cairan bening.     

Rava tak bisa membayangkan kalau Lyra atau Kacia ada dalam posisi Ione. Rava sudah cukup mengenal dua bidadarinya itu. Gagasan kalau sewaktu-waktu mereka bisa tak ada lagi di dunia ini bagaikan monster yang meneror hati Rava.     

"Hei!!!" hardik Stefan kepada Piv yang masih saja terdiam. "Apa yang harus kulakukan!?"     

"Pihak atas mempunyai kemampuan menyembuhkan Ione secara total. Tapi, mereka tidak mau melakukannya secara cuma-cuma. Kamu harus mengorbankan salah satu yang paling berharga dari dirimu."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.