A Song of the Angels' Souls

59. Kembali



59. Kembali

0"Maaf udah ngerepotin ya, Rav," ucap Stefan yang sedang dituntun Herman memasuki rumah kontrakan. "Seperti yang aku bilang tadi, tuan Varya itu ternyata rekan bisnis ayahku, jadi dia tahu rumahku dan rumah kakakku. Aku terpaksa sembunyi dulu di sini."     
0

"Eh, biar saya saja, Mas Rava," cegah Herman.     

"Nggak apa-apa kok, Pak." Rava membawa dua koper besar milik Stefan memasuki rumah.     

"Eh, mata Nak Stefan kenapa?" tanya ibu Rava yang baru menghampiri mereka. Ia sempat terhenyak saat mendapati perban yang kini membebat kedua mata Stefan.     

"Kena infeksi, Bu." Stefan memajang senyum ramah. "Maaf ya, Bu. Saya ganggu Ibu di sini. Ada sesuatu di rumah saya, jadi saya ngungsi dulu."     

"Loh, kok minta maaf? Yang nyewa rumah ini kan Nak Stefan sendiri. Jadi, Nak Stefan bebas aja datang ke sini." Ibu Rava balas tersenyum.     

Herman, Rava, dan Stefan pun masuk ke salah satu kamar. Rava menaruh koper Stefan ke sudut ruangan, sementara Herman mendudukkan Stefan ke pinggiran dipan.     

"Aku masih butuh banyak penyesuaian, nih," celetuk Stefan.     

"Nggak ada apa-apa lagi?" tanya Rava lirih. "Kalau ada perlu sesuatu, tinggal panggil aku atau yang lainnya."     

"Kamu ingin mengatakan sesuatu, Rav?" tanya Stefan, tersenyum lagi. "Nada bicara kamu agak berbeda dari biasanya."     

Rava ingin bertanya mengapa Stefan bisa terlihat santai, padahal jelas-jelas sudah kehilangan penglihatan. Kehidupannya pasti sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Selain itu, masih banyak hal-hal lain yang ingin ditanyakan oleh Rava. Bukannya menyampaikannya, Rava malah berucap, "Mau ngomong sebanyak apa pun, nggak akan mengubah apa-apa, Mas."     

"Yah, emang bener, sih."     

Saat akan beranjak dari tempat itu, Rava melihat satu sosok Piv yang berdiri di dekat pintu. Perlahan, sosok itu mulai menggelembung.     

Sudah bisa menduga apa yang akan terjadi, Rava bergegas melesat keluar, langsung menghampiri Lyra yang sedang menonton televisi di ruang tengah. Dia perlu bidadari lain. Dia tak tahu apa yang harus dilakukan nantinya.     

"Lyra, kayaknya Ione mau keluar dari .... Kayaknya dia mau dateng!" bisik Rava, tak mau ibunya mendengar.     

Serta-merta Lyra melompat dari sofa dan berlari ke kamar Stefan. Rava pun melesat ke dapur, langsung menemukan ibunya yang sudah mematung saat memotong sesuatu di talenan. Sementara itu, Kacia yang juga ada di sana sudah memandang berkeliling dengan waspada.     

"Ione, Kacia! Ione!" Akhirnya Rava bisa berteriak.     

"Biar aku yang mengawasi keadaan sekitar! Siapa tahu ada monster!" ceplos Lyra yang tahu-tahu berdiri di belakang Rava.     

Rava tersentak hebat. "Hei! Bikin kaget aja!"     

"Kalau begitu aku ambil pakaian buat Ione, nanti kembali lagi!" balas Kacia, langsung berlari.     

Sempat celingukan karena bingung mau melakukan apa, Rava akhirnya kembali ke kamar Stefan. Piv sudah semakin menggelembung. Herman juga tampak membeku di salah satu sudut kamar, dengan posisi tengah membuka koper, sementara Stefan sendiri tetap duduk di pinggiran dipan. Wajah pemuda itu terlihat menegang.     

"Ibuku juga jadi membeku. Lyra lagi meriksa keadaan sekitar. Takutnya ini bukan cuma gara-gara Piv, tapi monster lain juga," terang Rava.     

"Sebenarnya, apa yang terjadi, Rav? Aku cuma denger kamu tiba-tiba lari, sama pak Herman nggak merespon waktu ditanya."     

Rava mengusap wajahnya. Dia lupa kalau Stefan sudah tak bisa melihat apa yang sedang terjadi. "Ini, ada satu Piv yang lagi menggelembung. Aku menduga kalau Ione bakal dateng sebentar lagi."     

"Benarkah!? Ione mau datang!?" Stefan langsung berdiri.     

"Baru dugaan sih, Mas."     

Stefan kembali duduk dengan gerakan lesu, mulai memijati keningnya.     

Beberapa menit kemudian, Kacia datang dengan kimono mandi, baju ganti, serta beberapa lembar handuk.     

"Buat apa handuk sebanyak itu?" Dahi Rava mengernyit.     

"Nanti kamu juga tahu," timpal Kacia, menaruh barang-barang itu ke dipan, kemudian mengamati Piv dengan saksama.     

Rava sampai harus mundur karena Piv menggelembung begitu besar. Kemudian, sosok bertanduk itu pun membuka mulutnya.     

"Uwaaaa!!!" Rava terhenyak hebat ketika tubuh telanjang Ione meluncur begitu saja dari mulut Piv ke lantai.     

Serta-merta, dengan menggunakan handuk, Kacia membersihkan tubuh bidadari itu dari lendir berwarna transparan yang mengilat dan tampak lengket.     

"Ada, apa!? Apa Ione sudah keluar!?" tanya Stefan kencang. "Ione!? Kamu dengar aku!?     

"Uwaaaa!!!" Rava berteriak lagi begitu Piv-Piv lain berdatangan, mulai menggerombol di kamar itu.     

"Pergi kalian! Aku bisa membersihkan tubuhnya dan tidak membutuhkan bantuan kalian!" seru Kacia, mengibas-ngibaskan handuknya untuk mengusir makhluk-makhluk tersebut. "Husss! Pergiiii!!!"     

Rava langsung melongo, memandangi para Piv yang mulai mundur teratur. Ucapan Kacia seperti menganggap bahwa para Piv itu akan membersihkan lendir di tubuh Ione. Bagaimana caranya? Dengan bulu mereka, atau dengan metode yang lain?     

Ione terbatuk, mulai bangkit dengan tubuh bergetar. "Terimakasih, berlumur lendir seperti ini saja rasanya sudah sangat menjijikan. Aku tidak mau dijilati lagi seperti waktu pertama kali datang ke dunia ini. Geli sekali dan bikin merinding."     

Kacia langsung menggigil layaknya orang kedinginan. Rava pun memutuskan untuk tak bertanya lebih lanjut. Itu topik yang membuat dirinya sangat tidak nyaman.     

"Ione!? Kamukah itu!?" tanya Stefan. "Tolong jawab aku, Yon."     

Mulai membersihkan tubuhnya sendiri dengan handuk, Ione menatap Stefan. Awalnya, bidadari itu membisu tanpa ekspresi, sebelum akhirnya memajang wajah sendu.     

"Itukah yang kamu korbankan, Stefan? Matamu? Hanya demi menyelamatkanku?" desis sang bidadari, akhirnya bisa berdiri tegak. "Kenapa, Stefan? Kenapa?"     

Rava langsung membuang mukanya, yang mulai terasa panas. Melihat tubuh telanjang seorang wanita belumlah menjadi sesuatu yang lumrah bagi pemuda itu. Untungnya, Kacia berinisiatif memakaikan kimono mandi kepada Ione.     

Senyum samar pun terbentuk di bibir Stefan. "Apakah pertanyaan kamu itu perlu kujawab, Yon? Kamu seharusnya tahu mengapa aku melakukan ini."     

Air mata Ione pun mulai jatuh setetes demi setetes. Ia pun memeluk erat tubuh pemuda itu. Stefan pun balas memeluk sang bidadari.     

"Syukurlah, kamu sudah bisa kembali," lirih Stefan, masih saja tersenyum.     

"Bodoh!" Suara Ione mulai parau karena tangisnya. "Baru pernah kutemui lelaki sebodoh dirimu, Stefan. Kamu ini rajanya orang bodoh. Kamu tidak bisa lagi melihat tubuh indahku! Kamu tidak bisa lagi melihat wajahku! K-kamu .... Kamu ...."     

Stefan mengusap lembut punggung Kacia. Air mata pemuda itu pun ikut mengalir. "Tapi, sekarang aku masih bisa merasakan hangatnya tubuh kamu, aku juga bisa mendengar suara kamu, Yon. Semua itu sudah sangat cukup bagiku."     

Kacia menelan ludah, kemudian berbicara dengan nada canggung, "Ione, k-kalau masih mau membersihkan diri, handuknya ada di kasur. Sudah kusiapkan baju ganti juga. Kalau kamu mau mandi air hangat, nanti kusiapkan .... Aku pamit dulu."     

"Ah, terimakasih banyak, Kacia. Terimakasih banyak juga Rava," ujar Ione yang masih memeluk Stefan. Bidadari itu terus menghapusi air matanya.     

"Sebelumnya, Kacia," panggil Rava kepada Kacia yang sudah mau keluar dari tempat itu. "Apa nggak sebaiknya pak Herman dipindah dulu?"     

"Ah, iya." Kacia pun mengangkat tubuh Herman dan membawanya keluar. Pemandangan yang ajaib memang, tetapi Rava merasa sekarang Stefan dan Ione tak mau diganggu. Bisa heboh kalau Herman tiba-tiba tersadar.     

Ketika akan menutup pintu kamar itu dari luar, sekilas Rava bisa melihat dua sejoli itu saling menautkan bibir.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.