A Song of the Angels' Souls

62. Serbuan



62. Serbuan

0Ione melompat keluar, langsung menghantami punggung Zita dengan serulingnya. Zita berputar, hendak membalas. Namun, Ione keburu mundur. Kemudian, serbuan anak panah pun merajami tubuh Zita.     
0

"Ahahahaha!!! Bagas, beri aku gempa!" seru Zita, meringkuk untuk melindungi dirinya dari hujan panah.     

Tepat setelah Bagas memencet salah satu tanda di lengan, Zita memukul jalanan aspal. Ione, Rava, dan Stefan pun langsung kehilangan keseimbangan.     

"Ugh!" Kacia yang sedang berada di salah satu atap pun tumbang. Tubuhnya pun melorot dari genteng.     

"Kau di sana rupanya!" Zita melompat ke arah Kacia.     

Kacia menembakkan satu anak panah. Tubuh Zita pun terpelanting jauh begitu terkena ledakan panah tersebut. Bidadari berbusana kuning itu pun mendarat di salah satu halaman rumah, menghantam pot-pot tanaman yang tertata di sana sampai hancur.     

"Bagas! Terbangkan!" Zita berteriak lagi. Perisai di tangannya pun lepas, langsung mengejar Kacia yang baru mendarat di aspal.     

Kacia pun berlari ke sana ke mari untuk menhindari perisai. Sementara itu, Ione sudah mendatangi ZIta dan memberikan kombinasi serangan seruling. Tak lama kemudian, Lyra yang baru muncul pun bergabung. Menggunakan kekuatan penambah kecepatannya, Lyra memberikan sabetan-sabetan yang jauh lebih banyak dari biasanya.     

"Ahahahaha!!! Ahahahaha!!!"" Meski hampir tak bisa menghindar atau menangkis, Zita masih saja tertawa-tawa. Sampai akhirnya, dia berhasil menjambak rambut dua lawannya itu. Tanpa ampun, bidadari sinting itu menghantamkan kepala Lyra dan Ione keras-keras.     

Melihat Kacia yang melompat dan melesatkan anak panah, Zita pun menggunakan Lyra dan Ione sebagai tameng.     

Begitu mendarat ke aspal kembali, Kacia tersentak hebat. Zita melempar tubuh Ione dan Lyra yang sudah terjerat rangkaian pitanya ke jalanan.     

"Ugh! Ternyata di sini tidak nyaman ya, Kacia. Barangkali ada yang senang sekali dibegiinikan, tapi aku jelas tidak suka," gerutu Ione, menggeliat-geliat di jeratan pita itu.     

Lyra yang ikut terjerat bersama Ione pun menghela napas, terlihat sangat tidak nyaman dengan posisinya sekarang. "Bisa-bisanya kamu masih becanda?"     

"M-maaf, aku menembakannya di saat yang tidak tepat," rintih Kacia dengan bibir bergetar dan mata yang sudah dilapisi cairan bening.     

Mengintip dari pagar salah satu rumah, Rava mengepalkan kedua tangannya. Gara-gara kurang fokus, dirinya salah membaca situasi. Seharusnya, dirinya mengaktifkan panah penjerat itu kalau posisi Zita sudah jauh dari bidadari lain.     

"Yah, kamu bertahan saja dulu sampai kami bebas, Kacia. Kamu pernah bilang, jeratan ini tak bisa dilepaskan, bahkan oleh dirimu sendiri, kan?" desah ione, terdengar pasrah. Dia sudah berhenti berontak.     

Zita berjalan terhuyung mendatangi Kacia. Kepalanya menunduk, mulutnya masih mengeluarkan tawa, walau kali ini terdengar lebih lirih.     

Awalnya Kacia mematung, tetapi itu terjadi sebentar saja. Ia menarik napas panjang dan membulatkan tekad, kemudian memasang kuda-kuda. Ya, sesuai kata Ione, paling tidak dia harus bertahan sebelum yang lain bisa membantunya lagi.     

Rava terkesiap. Hanya sekejap saja, Kacia sudah kembali fokus, padahal keadaan benar-benar tidak menguntungkan. Rava merasa dirinya tak akan bisa seperti itu kalau dihadapkan dalam situasi yang sama. Sekali lagi, kekaguman Rava kepada para bidadari itu pun makin bertambah.     

Kacia sedikit melirik ke belakang. Perisai Zita tergeletak cukup jauh. Bidadari sinting itu tidak akan maksimal dalam bertarung.     

"Ahahahaha!!!" Zita pun menerjang maju, langsung melancarkan bogem mentah, tetapi Kacia bisa menangkisnya dengan busur.     

Pertarungan sengit pun terjadi. Zita terus melancarkan pukulan dengan membabi buta. Kacia tak hanya menghindar dan menangkis, tetapi juga bisa balas menyerang. Berkali-kali dia berhasil menghajar Zita dengan busurnya.     

"Arrggggghhhh!" Zita meloncat mundur sambil memandangi satu anak panah yang menancap di pundak kirinya. Darah segar mulai mengucur dari sana.     

Kacia menancapkan anak panah itu, tepat ketika energi pelindung Zita telah habis.     

"Hebat! Ternyata kamu bisa sehebat ini! Aku suka! Aku suka! Aku sukaaaa!!!" Begitu mendongak, dia melihat serbuan anak panah yang datang padanya. "Argggghhhhh!!!"     

Zita tak sempat menghindar. Anak-anak panah keburu menusuk beberapa bagian tubuhnya, dari mulai lengan, perut, sampai pahanya, tetapi tidak ada yang mengenai bagian vital.     

Kacia menyadari sesuatu. Sedari tadi, serangan Zita hampir tidak ada yang setajam biasanya. Bahkan hanya satu yang efektif, yakni ketika bidadari gila itu saling membenturkan kepala Lyra dan Ione. Selebihnya? Zita bertarung dengan serampangan dan tampak selalu hilang keseimbangan. Apakah ini karena kedua telinganya yang terluka parah? Barangkali, luka di telinganya itu juga yang membuat perisai energi di tubuhnya jadi lebih cepat habis.     

"A-aku tidak akan mati di sini ...." Napas Zita mulai terdengar berat. Meski tubuhnya mulai berlumur darah, ia berjalan tertatih. Anehnya, kini pipinya dihiasi rona merah. Senyum luar biasa lebar juga terentang di bibirnya. Dia tidak terlihat seperti orang yang baru saja dihujami panah. "Aku tidak akan mati di sini, s-sebelum aku mengalahkan Varya .... Ahnnn ...."     

Kacia terus memanah tubuh Zita. Zita memang sempat ambruk, tetapi dia berhasil bangkit, walau dengan susah-payah.     

"Panah jantung atau kepalanya, Kacia!!!" pekik Lyra, yang masih terjerat pita bersama Ione.     

Getaran hebat mulai menjalar di tubuh Kacia. Air matanya pun mengalir setetes demi setetes. Ia tak mengerti. Mengapa? Mengapa dia tidak bisa melakukannya? Mengapa dirinya tidak bisa memanfaatkan kesempatan emas ini? Mengapa dia malah mengarahkan panahnya ke bagian yang tidak mematikan?     

"Arrrrggggghhhh!!!" Kacia berteriak, kembali membidik dada kiri Zita. Akan tetapi, beberapa saat berlalu, dia tak kunjung menarik busur.     

Melihat hal itu, Rava merasakan seluruh sendi-sendi tubuhnya menegang. Degup jantungnya pun menjadi begitu liar. Dia ingin berteriak kepada Kacia, tetapi tahu itu tak ada gunanya. Lagipula, siapa dirinya, mendesak seorang bidadari yang bisa bertempur seperti Kacia?     

Rava mulai menoleh ke sana ke mari dengan panik, sebelum akhirnya menemukan satu bongkah batu besar, tak jauh dari tempatnya berada.     

"Mas Stefan, aku mau pergi sebentar!" Tanpa pikir panjang lagi, ia mengambil batu seukuran kepala orang dewasa itu, kemudian melesat keluar dari pagar.     

"Eh? Kamu mau ke mana, Rav!?" tanya Stefan, setengah berseru     

Kacia pun tersentak hebat menyadari kedatangan tuannya.     

Sekonyong-konyong, Rava menghantam bagian belakang kepala Zita dengan batu itu. Zita terhuyung ke depan, nyaris tersungkur. Namun, dia lagi-lagi bisa bertahan, padahal bagian belakang kepala bocor berlumur darah. Hanya selang beberapa detik, Ia kembali berjalan, sampai akhirnya melewati Kacia yang masih saja gemetaran.     

Rava pun cuma bisa mematung. Tubuhnya juga bergetar hebat. Helaan napasnya begitu tak terkendali. Seolah-olah, dia baru saja berlari jauh.     

"Kacia!!! Tunggu apa lagi!? Bunuh dia!" Lyra kembali memekik.     

Kacia berputar, kembali memanah Zita. Beberapa panah memang menghujam punggung Zita yang terbuka, tetapi lagi-lagi tak ada yang mengenai bagian vital.     

Sampai akhirnya, Zita meraih perisainya. Alih-alih menyerang, dia malah menghantam-hantamkan kepalanya ke perisai itu. Hanya perlu waktu beberapa detik sampai wajahnya dipenuhi warna merah darah. "Ahahahaha!!! Maaf, tapi sekarang aku tidak bisa bermain dengan kalian!"     

Seperti sebuah keajaiban, gerakan Zita nyaris kembali seperti biasanya. Ia berlari, menyahut Bagas, dan melompat dari tempat itu, membelah gelapnya malam.     

Kacia pun bersimpuh dengan air mata yang turun semakin deras. Rava masih mematung dengan wajah tegang, tak tahu harus merespon seperti apa. Jeratan di tubuh Lyra dan Ione pun akhirnya terlepas. Mereka segera menghampiri dua orang itu.     

Ione berjongkok di sebelah Kacia, langsung memeluk bidadari bertubuh mungil itu. "Tidak apa-apa, Kacia."     

Kacia pun mengerang lirih, seperti sedang menahan sakit.     

Lyra hanya bisa memandang arah Zita kabur tadi. Zita sendiri sudah tak kelihatan. Lyra pun mengusap wajahnya, lantas memandang Rava, yang masih saja terpaku di tempatnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.