A Song of the Angels' Souls

66. Pikiran



66. Pikiran

0"Bu, apa kalau pahlawan seperti Tante Var pasti akan membunuh sekejam itu," celetuk Gilang yang sedang mengerjakan pr-nya di meja belajar.     
0

Medora mengusap lembut kepala tuannya. Wanita itu kesulitan memberi jawaban. Dengan pengalaman masa hidup yang masih sangat sedikit, Gilang pasti belum terlalu sanggup memproses apa yang terjadi.     

Namun tetap saja, Medora merasa pertanyaan itu menjengkelkan. Dia jadi harus berpikir keras untuk menjawabnya.     

"Bu, Dor?" Gilang menautkan kedua alisnya. "Kok, diem aja?"     

"Ibu sendiri nggak setuju dia melakukan perbuatan sekejam itu." Medora menggeleng pelan.     

"Makanya, Bu! Bilang kepada tante Var agar jangan membunuh lagi!" Mata Gilang menunjukkan permohonan yang amat sangat.     

Helaan napas panjang pun meluncur dari mulut Medora. Dia tak habis pikir, sudah sampai di sini, kenapa tuannya ini masih memikirkan untuk tidak membunuh? "Maksudnya, Ibu ini nggak setuju dengan cara tante Var melakukan pembunuhan itu .... Kamu tahu, kan? Zita itu sangat jahat, dia harus tetapi dibasmi. Tapi, sekali lagi, menurut Ibu tante Var melakukan sesuatu yang berlebihan."     

Gilang menatap bukunya lagi. Matanya mengerjap-ngerjap, sudah mulai basah. "Jadi, mungkin nanti Bu Dor juga mungkin akan membunuh?"     

Medora kembali mengusap kepala bocah cilik tersebut. "Yang seperti itu jangan kamu pikirkan terlebih dahulu. Sekarang, kamu fokus kepada pr-mu aja."     

Menghapus air matanya, Gilang mengambil pensil dan mulai mengerjakan soal di buku tulisnya. "Aku masih nggak ngerti .... Kenapa bidadari-bidadari itu harus bunuh-bunuhan?"     

Medora mati-matian menahan emosinya. Dia sudah menerangkannya berkali-kali, tapi kenapa otak bocah ini tidak mau menerimanya?     

Terus mengusap kepala tuannya itu, Medora hanya tersenyum seperti biasa, memutuskan untuk tak menjelaskan lagi. Percuma saja.     

***     

Varya membungkuk dan menempelkan kedua tangannya ke tembok. Tubuh telanjangnya bergerak-gerak liar, seiring dengan Candra yang melakukan hal tak senonoh di belakangnya. Namun, kali ini Varya tidak berpura-pura. Ia tidak mendesah-desah atau memberikan gestur penuh kenikmatan. Tidak. Matanya terhujam ke tembok kuning di hadapannya itu.     

Benarkah dirinya menikmati semua itu, seperti kata Zita? Dia menikmati saat-saat melukai musuhnya? Menyukai ketika membunuhnya?     

Tiba-tiba Varya menegakkan badannya. Candra yang tidak siap pun jatuh terduduk dibuatnya.     

"Hei, kamu ngapain, sih!" gerutu Candra, memegangi pantatnya yang baru membentur kerasnya dinding keramik.     

"Keluarlah," ucap Varya, pendek dan dingin. "Aku sedang tidak ingin melakukan ini."     

"Kenapa?" Candra bangkit, langsung memeluk Varya dari belakang, mulai membaui bidadarinya itu. "Kamu tidak suka posisinya? Tenang saja, aku mau kok melakukannya dengan posisi berbeda."     

"Keluar," tegas Varya, dengan suara dingin.     

Candra melepaskan pelukannya, merentangkan tangan dengan wajah kecewa. "Tidak bisa begini, dong. Kamu kan sudah janji, aku bisa meminta ini kapan pun. Tega sekali kamu melakukan ini kepada tuanmu."     

Varya memandang wajah tuannya itu dengan mata tajam. "Keluar, atau aku harus memaksamu dengan tanganku? Kamu kan masih bisa meminta ini besok."     

Candra sedikit tersentak. Ia buru-buru mengambil kimono tidurnya, kemudian berjalan pergi sambil bersungut-sungut. Terdengar bunyi pintu yang dibanting keras saat dirinya keluar dari kamar tersebut.     

Kedua tangan Varya terkepal erat. Dia sedang tak memedulikan tuannya. Ia fokus mengusir perkataan Zita yang laknat itu.     

Tidak. Dia tidak menikmatinya.     

Varya mengenakan kimononya, kemudian naik ke tempat tidur, bersila dan memejamkan mata. Ia pun melemaskan sendi-sendinya, menaruh tangan di lutut, lantas mengatur napasnya yang sudah mulai liar.     

Dia melakukan semua ini demi prajurit-prajurit di negaranya, agar mereka bisa sejahtera dan tidak menjadi korban kezaliman atasan. Lebih luas lagi, ia ingin membuat rakyat dunianya tetap dalam kehidupan yang baik. Waktu masih menjadi prajurit pun, apa yang dilakukannya adalah demi kemaslahatan rakyat.     

Dia bukan orang sinting yang bertarung, menyakiti, dan membunuh, hanya untuk memuaskan hasratnya saja.     

Dia bukan Zita.     

Beberapa menit bermeditasi, urat-urat di wajah Varya justru menegang. Dia tidak bisa mempertahankan posisinya. Berkali-kali kepalanya mengedik. Perkataan Zita itu seperti merajami kepalanya dari berbagai arah.     

Akhirnya, bidadari itu membuka matanya, menggigit bibir dan mengepalkan kedua tangannya kembali. Kenapa? Kenapa omongan orang sinting bisa mengganggunya sampai seperti ini?     

Ia pun turun dari kasur, langsung menyambar ponselnya dari meja di dekat tempat tidur.     

***     

Lois menaruh jari-jemarinya di pagar loteng kamarnya, memejamkan mata untuk menikmati angin malam yang sejuk.     

"Maaf, mengganggu malam-malam begini." Suara Varya terdengar dari belakang Lois.     

Lois pun menoleh kepada atasannya itu, yang kini duduk di pagar loteng. Serta-merta, Lois merasa seluruh tubuhnya bak dialiri hawa dingin. Bukan karena kemunculan Varya yang tiba-tiba. Bukan juga gara-gara aura mengerikan yang biasa diberikan bidadari berkulit seputih pualam itu. Bukan. Lois terkesiap karena wajah Varya yang tak memakai topeng.     

Selama ini, Lois hanya pernah mendengar kecantikan wajah Varya yang begitu tersohor. Namun, Lois tak menyangka kalau atasannya itu akan secantik ini. Atau lebih tepatnya, dia tak pernah mengira akan ada makhluk yang bisa serupawan ini.     

Melihat rona merah samar di wajah Lois, Varya sedikit tertawa. "Sekali lagi, maaf sudah mengganggumu malam-malam begini."     

"Aah ...." Lois sedikit salah tingkah, tak pernah menyangka kalau wajah seorang wanita bisa membuat letupan di jantungnya. "Tidak masalah, Nona. Jadi, apa yang ingin Anda bicarakan?"     

Alih-alih langsung menjawab, Varya justru terdiam. Pandangannya tertuju ke arah lain. Sesekali tubuhnya berkedik tanda tak nyaman. Lois hampir tak percaya penglihatannya. Varya, yang terlihat tanpa cela sebagai prajurit itu, bisa merasakan gelisah juga?     

Bodoh. Lois tertawa dalam hati. Tentu saja. Varya jelas bukanlah dewa yang maha sempurna.     

"Ketika aku memukuli Zita tadi, apakah aku terlihat menikmatinya, Lois?" ucap Varya, kemudian berbicara lagi sebelum Lois bisa menjawab. "Dan tolong jawab dengan jujur."     

Sekarang giliran Lois yang terdiam. Dalam hatinya muncul konflik untuk mengatakan yang sebenarnya atau tidak. Namun, pada akhirnya dia mengikuti permintaan sang atasan. Ia berkata jujur. "Saya tidak tahu."     

"Kenapa?"     

"Karena Anda memakai topeng."     

***     

Bagas terduduk lemas di sofa rumahnya. Untuk kesekian kalinya, dia menyeka air mata. Tanpa adanya istri dan anaknya, rumah itu terasa begitu sepi. Bagas sudah pergi ke lapak jualan Rava, tetapi di sana dirinya tak menemukan siapa pun. Ponselnya entah ada di mana, sepertinya terjatuh ketika Zita membopongnya kabur dari Lyra dan kawan-kawan. Jadi, dia tidak bisa menghubungi mereka untuk bertanya tentag lokasi istri dan anaknya.     

Pria itu menghela napas. Tidak masalah. Dia tinggal menunggu sebentar lagi. Besok, dia akan kembali ke lapak Rava untuk bertanya. Mereka itu jelas orang baik. Buktinya, mereka tidak mau membunuh. Keluarganya pasti aman di tangan mereka.     

Zita sudah tiada. Mereka tidak perlu melalui kehidupan seperti di neraka lagi.     

Namun, tetap saja Bagas tidak bisa menghalau gelisahnya. Dia bangkit dan berjalan mondar-mandir. Dia ingin segera melihat Dini dan Erin, memastikan mereka aman.     

Langkahnya terhenti ketika satu sosok Piv tahu-tahu sudah berdiri di atas meja tamu.     

"Tugas kamu sebagai tuan belum selesai, Bagas," ujar makhluk tersebut.     

Kening Bagas mengerut. "Hah? Apa maksudnya?"     

"Pihak atas memutuskan. Zita masih diperlukan dalam pemilihan ratu ini. Maka dari itu, dia akan dihidupkan kembali."     

Seketika saja, sendi-sendi di tubuh Bagas seolah membeku. Matanya membelalak secara perlahan. Dengan tubuh mulai bergetar dan air mata meleleh, dia menggeleng-gelengkan kepala. "Nggak .... Bohong .... Zita sudah mati .... Aku melihat mayatnya."     

"Aku tidak berbohong. Asal masih dalam batas waktu tertentu, seorang bidadari bisa dihidupkan kembali oleh pihak atas."     

"Jangan!!!" Bagas langsung bersujud di hadapan makhluk kecil itu. Air matanya semakin berurai. Suaranya kini begitu parau. "Aku mohon! Sudah cukup! Biarkan dia tetap mati! Aku nggak mau keluargaku menderita lagi! Aku nggak mau dia melakukan itu lagi kepadaku!"     

"Keputusan pihak atas tidak dapat diganggu gugat."     

"Kenapaaaa!!!???" raung Bagas, meremas tubuh Piv. "Kenapa!? Seharusnya pihak atas senang kalau penjahat gila itu mati!!!"     

"Sekali lagi, keputusan pihak atas itu sudah bulat," jawab Piv dengan nada biasa, seolah berita yang dibawanya ini bukanlah sesuatu yang penting. "Untuk alasannya, kamu tidak perlu tahu. Kamu hanya perlu mendampinginya lagi, nanti."     

Bagas kembali membeku. Tangannya bergetar hebat, membuat Piv jatuh ke lantai. Perlahan, dia memegangi kepalanya, membiarkan tetesan-tetesan air matanya jatuh ke lantai. Dengan mata begitu membelalak sampai terlihat seperti akan terlepas dari tempatnya, dia meraung kembali, "Uuuuwaaaaaaaa!!!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.