A Song of the Angels' Souls

70. Kehormatan



70. Kehormatan

0"Boleh saya bertanya sesuatu, Nona?" Lois menelan ludah, berdiri di dekat sebuah bangunan mangkrak yang belum jadi. "Tapi, mungkin pertanyaan ini akan terdengar agak aneh."     
0

"Kamu mau bertanya apa, Lois?" sahut Varya yang duduk di sebuah bongkahan beton besar, tengah memandangi hamparan rumput liar di hadapannya.     

Lois mendekati pimpinannya itu. "Saya yakin, Anda pasti bisa melawan mereka sendirian, tetapi mengapa Anda mengajak kami?"     

"Kamu malas bertarung?"     

"Bukan begitu, Nona ...." Lois sedikit salah tingkah. "Saya hanya ...."     

"Aku tahu, kok. Aku cuma becanda." Mulut Varya mengeluarkan tawa sekilas. "Sederhana saja, itu karena kalian sudah bersumpah setia kepadaku. Kalian ini sudah menjadi rekan seperjuanganku."     

Lois sedikit membungkukkan kepalanya. "Saya merasa sangat terhormat mendengar hal ini dari Anda."     

Tak jauh dari tempat itu, Medora berjongkok di hadapan Gilang yang terlihat sedang menahan tangis.     

"Apa Bu Dor, Tante Varya, dan Kak Lois beneran mau bunuh bidadari-bidadari itu? Kenapa sih, kalian nggak kerjasama aja ngelawan monster?"     

"Nanti kalau sudah besar juga kamu akan mengerti, Gilang. Semua ini memang harus dilakukan," terang Varya sebelum Medora membuka mulut. "Aah, aku masih tidak habis pikir anak kecil bisa diikutkan dalam pertarungan seperti ini. Artinya, memang ada yang salah dengan pemerintahan kita."     

"Dan saya yakin, Anda akan bisa membetulkan segala yang salah itu," sahut Lois, lantas menoleh ke arah lain. "Ah, itu mereka."     

Varya bangkit dari duduknya. Lois dan Medora pun mendekat kepadanya, sementara para tuan mulai mengambil jarak dengan para bidadari. Dari kejauhan, Lyra, Kacia, dan Ione tampak berjalan mendekat.     

"Kukira, kita sudah cukup akrab, Lois. Aku kaget sekali waktu kamu bergabung dengan Nona Varya," desah Ione, kemudian menunjuk Medora seraya menatap Varya. "Dan asal tahu saja, Nona. Dia itu tidak bisa dipercaya."     

"Dia sudah bersumpah setia kepadaku. Kurasa dia juga tahu akibatnya kalau sampai mengkianati diriku. Berkhianat itu jahat. Dia sudah melihat apa yang kulakukan terhadap orang jahat," balas Varya dengan nada tenang.     

Medora memajang senyum pamungkasnya. "Seharusnya kalian melihat apa yang terjadi kepada Zita. Aku tidak mau mati mengenaskan seperti itu. Di tangan orang yang sangat kuhormati pula."     

"Zita sudah mati?" Kacia sedikit tersentak mendengar hal itu.     

Candra pun menunjukkan satu tanda baru di lengan, sebagai bukti bahwa Zita memang sudah dibunuh.     

"Yah, paling tidak, satu masalah selesai." Ione menghela napas lega. "Tapi, itu belum membuat semuanya jadi beres. Dengar, lebih baik kita berdamai saja dan melakukan usulku itu."     

"Rencana bodohmu itu tidak akan pernah berhasil, Ione." Varya tertawa sinis, kemudian menatap mata Lyra. "Dan kamu. Aku dengar, kamu adalah saudara angkat Lois. Mengapa tidak bergabung dengannya bersamaku? Aku berjanji akan membuat kaummu menjadi lebih sejahtera kalau diriku menjadi ratu."     

"Kalau bergabung dengan Anda, nantinya saya akan dibunuh agar Anda bisa benar-benar menjadi ratu, kan?" Lyra menjawab dengan ekspresi tajam seperti biasanya. "Terimakasih atas tawarannya, tapi saya tidak bisa menerimanya."     

Lois mengusap wajahnya. "Nona Varya ini adalah yang terbaik di antara yang terbaik, Lyra. Semua ...."     

"Aku kaget mau bekerjasama dengannya, Lois. Aku tidak tahu kalau kamu bisa memberikan nyawamu begitu saja seperti itu. Memangnya kamu benar-benar mau mati?" potong Lyra cepat.     

"Nona Varya berjanji kalau tinggal kami yang bertahan, maka dia akan membujuk pihak atas," imbuh Medora.     

"Ya, sudah. Kita bergabung jadi saja saja kalau begitu, apa susahnya ...." Ione tercekat saat melihat Varya membisu seribu bahasa. "Aah, Anda tidak akan melakukannya kan, Nona? Anda tidak percaya pihak atas bisa dibujuk. Nantinya, Anda tetap akan membunuh Lois dan Medora, kan? Huh, aku tidak menyangka kebohongan kejam seperti itu bisa diucapkan oleh Anda, wahai sang pahlawan penakluk naga. Saya penasaran, apa yang akan dirasakan penggemar Anda kalau mendengar hal ini?"     

Dengan bibir bergetar, Kacia maju dua langkah. "Apa kalian benar-benar paham akan risikonya, Lois, Medora?"     

Melihat kedua bidadari itu membuang muka dengan wajah sendu, Kacia sedikit membelalakkan matanya. "Tidak! Kalian tidak punya kewajiban untuk mati demi seseorang! Kalian masih punya mimpi dan keinginan! Kalian ...."     

"Mereka rela mati bukan demi diriku, tetapi demi negara," potong Varya cepat, lantas menghela napas. "Ya, mereka akan mati di tanganku nantinya. Kalian juga akan mati kalau bergabung denganku. Namun, kematian kalian nanti sangatlah berarti. Kalian akan kuangkat sebagai pahlawan dan akan dikenang seumur hidup!"     

"Akan dikenang seumur hidup?" Lyra pun menunduk dalam-dalam, sedikit tertawa getir. "Di desaku, ada seseorang yang dianggap sebagai pahlawan. Dia menghadiri undangan untuk negosiasi dengan pemerintah. Tapi, apa yang terjadi? Dia malah ditangkap dan dieksekusi. Undangan itu tipuan belaka! Semua orang juga tahu undangan itu bohong, tetapi dia tetap berangkat! Alasannya adalah, sebagai perwakilan kaum kami, dia akan menunjukkan iktikad baik kepada pemerintah! Menunjukkan bahwa kaum kami bukan ancaman!"     

"Itu cerita tentang ayahmu, kan?" sahut Varya, suaranya kini ikut bergetar.     

"Mati ya mati. Aku, ibuku, dan adikku mengutuk kebodohan ayahku itu." Air mata Lyra mulai bercucuran. Ekspresinya sudah tidak tajam lagi seperti biasanya. "Dia meninggalkan kami dalam keadaan yang begitu susah. Ibuku kesulitan menghidupi kami. Ayahku memang dianggap pahlawan kaum kami, tetapi aku dan keluargaku tidak menganggapnya begitu. Beliau hanya mati sia-sia."     

"Tapi, perbuatan ayah kamu itu memberikan inspirasi kepada kaummu ...."     

"Inspirasi apa!? Inspirasi untuk mati!? Banyak orang-orang kaumku yang jadi nekat untuk balas dendam! Mereka mengibarkan bendera perang, hanya untuk dibantai oleh pemerintah! Oleh para prajurit! Oleh orang-orang seperti Anda!"     

Kesenyapan pun mendatangi tempat itu. Baik para bidadari maupun tuannya memilih untuk menutup rapat mulutnya. Rava merasa sekujur tubuhnya bak dialiri air es, memicu bulu kuduknya meremang hebat. Ia bisa melihat campuran kemarahan, kesedihan, dan rasa sakit di ekspresi Lyra sekarang.     

Varya mengulurkan sebelah tangannya. "Pemerintahan kita memang busuk-sebusuk-busuknya. Tapi, aku berjanji akan memperbaikinya. Maka dari itu, bergabunglah denganku. Bantulah aku menjadi ratu."     

"Sejak zaman dahulu kala, kaum kami sudah mendengar janji-janji seperti itu, tetapi tidak ada yang berhasil merealisasikannya. Ya, periode ratu yang sekarang memang membuat kehidupan kami sedikit lebih baik, tapi itu masih sangat jauh dari ideal." Menyeka air mata, Lyra pun mengaktifkan senjatanya. "Sudah saatnya kaum bermata iblis memegang kendali, membuat perubahan dengan tangannya sendiri!"     

Varya memasang kuda-kuda bertarung. "Pada akhirnya, tujuanmu adalah membunuh semua bidadari di bumi ini demi menjadi ratu. Sama saja denganku, kan? Jadi, sedari tadi, buat apa kita berdebat?"     

"Aku tidak melakukan manipulasi menjijikan agar rekanku menyerahkan lehernya sendiri!"     

Medora dan Lois pun ikut mengaktifkan senjatanya, sekaligus memasang kuda-kuda.     

"Hei, hei, sudah kubilang, kita datang ke sini untuk bernegosiasi, bukan untuk bertarung," keluh Ione, memijati keningnya. "Kalian seperti kaum bar-bar saja, sedikit-sedikit ingin bertarung."     

"Apakah Nona Varya ini terlihat bisa diajak bernegosiasi?" tanya Lyra sinis. Ekspresi wajahnya kembali tajam.     

Kacia merapatkan bibirnya, kemudian ikut memasang kuda-kuda, bersiap membidik dengan panahnya. "Kalaupun kita tidak mau bertarung, mereka tetap akan mengejar kita. Paling tidak, kita harus bertarung demi membuka peluang untuk kabur."     

"Atau kita bertarung saja habis-habisan untuk melawan mereka," sahut Ione yang sudah memegang seruling, terdengar begitu jengkel. "Kita buat mereka tidak bisa bergerak. Lalu, kita kurung dan ikat mereka sekencang-kencangnya. Setelah itu, aku akan terus menjejali mereka dengan semua alasan mengapa kita ini seharusnya tidak saling membunuh. Aku juga akan meyakinkan mereka tentang ideku untuk membujuk pihak atas. Aku akan terus berbicara ke telinga mereka. Mau berhari-hari, berbulan-bulan, atau bahkan sampai pita suaraku putus, aku tidak peduli! Aku akan membuat mereka percaya denganku!"     

"Kamu tahu, Ione." Varya sedikit tertawa sinis. "Kamu itu adalah perwujudan dari ironi itu sendiri."     

"Berisik, dasar nenek tua kelebihan otot tapi mukanya seperti bayi imut-imut!" hardik Ione tanpa ampun. "Gara-gara orang dengan idealisme seperti kamu, semuanya jadi kacau!"     

Serta-merta semua yang ada di situ memandang kepada Varya. Rava pun meringis kaku. Mau di situasi apa pun, celaan super absurd dari Ione itu tetaplah kelewatan menurut Rava.     

Varya sedikit menggeram. Lehernya begitu menegang, sampai menonjolkan rangkaian pembuluh darah. "Wow. Ternyata mulutmu itu sampah, ya."     

"Kamu boleh marah kepadanya, Ione. Tapi, sekarang dia itu lawanku," desis Lyra.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.