A Song of the Angels' Souls

73. Kehormatan 4



73. Kehormatan 4

0"Rava, aktifkan nomor tiga," pinta Kacia, mulai membidik ke langit. "Lalu, kalian mundurlah sebentar."     
0

Meski tak tahu maksud bidadarinya, Rava membantu Stefan mundur. Marcel pun ikut membantu adiknya itu.     

"Kamu kelihatan kayak orang bego pakai kacamata hitam begitu," cela Marcel.     

Stefan cuma memberi sedikit cengiran. Ketika jarak para tuan dan Kacia sudah cukup jauh, Rava menekan tanda merah muda terakhir di lengannya.     

"Aaarggggggggghhhhh!!!" Tanpa sebab yang jelas, angin kencang berhembus di sekeliling tubuh Kacia, membuat gaun tempur dan rambut cherry tuanya berkibar-kibar. Saking kencangnya angin itu, para tuan sampai terkena dampaknya. Rambut dan baju mereka pun turut bergelebar-gelebar.     

Rava mengangkat lengan untuk melindungi wajahnya dari angin. Namun, dia tetap bisa melihat anak panah Kacia yang mengeluarkan cahaya merah muda terang. Bidadari itu juga masih berteriak. Ekspresi di wajahnya begitu tajam, sangatlah tegas. Rava tak pernah melihat air muka seperti itu di wajah Kacia. Biasanya, raut yang diperlihatkan Kacia adalah lembut dan menyejukkan.     

"Heaaaaaa!!!" Akhirnya, Kacia melesatkan anak panahnya. Benda itu jadi terlihat seperti bintang jatuh, tetapi menuju ke atas, bukan ke bawah.     

Duarrrr!!!     

Anak panah itu meledak di udara, menurunkan ratusan pita bercahaya yang menukik tajam dan cepat. Monster-monster pun tumbang begitu terhujam pita-pita tersebut.     

"Aku belum pernah lihat yang seperti itu," ujar Medora takjub. "Indah sekali."     

Ione bertepuk tangan ringan, tersenyum penuh arti. "Ternyata, teman mungil kita itu punya yang seperti ini juga. Hebat sekali."     

"Jadi, selama ini dia tidak maksimal menggunakan kekuatannya?" sambung Lois, terus saja mengamati hujan pita bercahaya merah muda yang tampak seperti hasil karya seniman.     

"Mungkin, dia menahan diri karena daya rusak yang bisa ditimbulkannya," sahut Lyra.     

"Ini ...." Varya membuat gestur seperti akan meraih bola cahaya merah muda raksasa yang melayang di udara. Bola cahaya itu tak kunjung berhenti membuat hujan pita. "Aku cuma pernah mendengarnya lewat cerita .... Aku baru tahu ini nyata .... Aah, sekali lagi, kalian jangan lengah. Lihatlah, musuh kita masih banyak."     

Ya, monster yang tumbang memang tidak sedikit, tetapi yang muncul di belakang mereka pun jumlahnya tidak kalah dengan sebelumnya.     

"Bersiaplah!" seru Varya saat bola cahaya Kacia itu mulai meredup dan hujan pitanya sudah jauh berkurang.     

Bidadari yang lain pun memasang kuda-kuda.     

Begitu bola cahaya raksasa tersebut lenyap dan para monster sudah cukup dekat, Varya pun berkata lirih, tetapi tegas, "Maju."     

Para bidadari melesat ke arah para monster, langsung menggunakan senjatanya masing-masing. Sementara itu, Kacia masih berdiri di atas gedung, sudah menarik busurnya, hendak melesatkan anak panah lagi.     

"Ugh!" Akan tetapi, bidadari bertubuh mungil itu malah jatuh berlutut. Keringat berkilau membasahi seluruh tubuhnya dan rona pucat mulai menghiasi wajahnya.     

"Kacia!" Rava mendatangi bidadarinya itu. "Kamu nggak apa-apa!?"     

"Apa yang kulakukan tadi cukup menguras tenagaku." Kacia sedikit terbatuk. Napasnya mulai agak terputus. "A-aku cuma butuh istirahat sebentar."     

Brakkk! Brakkk!     

Semua yang ada di sana pun menoleh ke pintu masuk atap gedung. Pintu itu terlihat bergerak-gerak, seperti ada yang menggedor-gedornya dari dalam. Serta-merta Kacia pun memaksa dirinya untuk bangkit berdiri.     

Marcel pun menarik adiknya untuk mundur. Meski degup jantungnya meliar, Rava berinisiatif mengangkat Gilang agar ikut menjauh. Begitupun Candra, yang mulai menjaga jarak dari pintu.     

Hanya Kacia yang mendekati pintu tersebut. Walau langkahnya agak terhuyung, dia tetap menarik busurnya kembali.     

"Lyraaaa! Tolong kamiii!!!" teriak Rava sekuat tenaga.     

Brakkkkk!!!     

"Uwaaaaaa!!!" Gilang pun memekik ketakutan.     

Satu tangan berbentuk sabit pun menghancurkan kenop itu dari dalam. Kemudian, satu monster mendobraknya sampai rubuh.     

Untungnya, Lyra sudah mendarat di sana.     

"Biar Lyra saja yang ke sana!" seru Varya sambil memukul salah satu monster, menyadari perhatian Medora dan Ione teralih ke atap gedung. "Kita harus terus menghadapi monster-monster ini!"     

Sedikit berdecak, Medora pun kembali membantu Varya mengalahkan para monster. Ione menarik napas, sebelum akhirnya menghajar para monster lagi.     

Lyra memberikan kombinasi sabetan kepada monster di atap itu. Mendengar derap-derap yang terdengar seperti berasal dari beberapa monster yang menaiki tangga untuk menuju ke atap, Lyra pun memilih bertahan tempatnya sekarang.     

"Apa kondisimu benar-benar sudah pulih?" tanya Lyra kepada Kacia yang sudah mengambil pose untuk memanah. "Apa yang kamu lakukan tadi pasti sangat menguras energimu, kan?"     

"B-belum," jawab Kacia sambil mengatur napasnya. "Tapi, paling tidak aku bisa membantumu dari jauh."     

Tak berkata apa-apa lagi, Lyra pun maju untuk menghadapi gelombang monster yang sudah datang ke atap.     

"Aktifkan pedang cahaya, Rava!" pekik Lyra. Begitu kemampuannya itu diaktifkan, pedang Lyra pun menyala terang. Ketika diayunkan, pedang itu menyebarkan potongan-potongan cahaya berbentuk kelopak bunga ke udara.     

Kalau sebelumnya Lyra perlu menyarangkan dua sampai tiga sabetan untuk merubuhkan monster, kali ini dia cuma butuh satu serangan.     

Rava paham mengapa Lyra akhirnya meminta kemampuan itu diaktifkan sekarang, padahal bidadarinya itu bilang ingin menyimpannya kalau-kalau para monster ini mempunyai pemimpin dengan kekuatan lebih besar. Meski jumlah monster-monster itu tak sebanyak di jalanan dan dia juga dibantu Kacia dari jauh, Lyra jelas kewalahan. Napasnya sudah mulai habis, keringatnya banyak bercucuran, gerakannya melambat, dan tubuhnya beberapa kali ditebas para monster, walau belum ada yang berhasil melukainya dengan fatat.     

Melihat bidadarinya berlumur darah seperti itu, lagi-lagi Rava merasa tidak berguna.     

"Arrrggggghhh!" Lyra terdesak mundur. Gerakannya tak seperti biasanya, yang terlihat selalu indah. Ayunan pedangnya mulai tak bertenaga, tetapi karena cahaya di pedangnya belum mati, ia masih bisa melawan.     

"Ini beda sama pas kita melawan monster raksasa waktu itu," ujar Marcel dengan bibir bergetar, mengamati Lois yang juga mulai kewalahan. "Waktu itu, para bidadari masih bisa mengambil jeda istirahat. Mereka tidak terlalu dituntut harus terus mengadapi serangan yang datang. Berbeda sekali dengan sekarang. Tadi, mereka memang bisa istirahat sebelum gelombang kedua monste-monster itu datang, tetapi itu jelas masih kurang. Seharusnya, sekarang mereka istirahat lagi untuk mengambil napas."     

Rava menggigit ujung bibirnya sampai mengucurkan darah. Benarkah tidak ada yang bisa dilakukannya?     

Lyra tumbang, tersandung oleh salah satu mayat monster, padahal masih ada satu monster yang mendatanginya.     

"Arrrrrggggghhhh!!!" Kacia berteriak sambil melompat, menghujam kedua mata monster itu dengan anak panah.     

Monster itu pun rubuh. Tanpa ampun, Kacia terus menusuki wajah sang monster, memuncratkan cairan hitam ke mana-mana.     

Begitu monster itu tak bisa bergerak lagi, Kacia beringsut menjauh, langsung merebahkan diri, tak peduli dengan mayat-mayat monster di sekitarnya. Napas bidadari bertubuh mungil itu benar-benar sudah habis.     

"A-apakah itu yang t-terakhir?" Berpegangan ke pagar besi, Lyra berusaha bangkit, tetapi energi di kakinya seolah lenyap, membuatnya tumbang kembali. Matanya pun tertuju kepada Rava, yang tengah memeriksa Kacia.     

Rava sedikit mengangkat tubuh Kacia agar bersandar di lengannya. "Kamu nggak apa-apa, Kacia?"     

Mata Rava benar-benar sudah memanas dan basah, tak sanggup melihat kondisi mengenaskan bidadarinya itu.     

"Aku masih lebih baik daripada Lyra," jawab Kacia, memajang senyum tipis, melirik rekan bidadarinya itu. "Lebih baik kamu memeriksanya juga."     

"Aku baik-baik saja," lenguh Lyra, akhirnya bisa berdiri dengan bantuan pagar besi. Pandangannya tertuju kepada pertarungan yang masih berlangsung di jalanan. "Rava, balut lukaku! Aku harus bertarung lagi!"     

"Kamu gila, ya!?" bentak Rava keras. "Kondisi kamu itu udah ancur-ancuran begitu! Kamu udah hampir sekarat, Lyra!"     

"Kalau monster-monster itu dibiarkan, berapa banyak lagi korban yang akan jatuh!?"     

"Benar sekali, Rava." Kacia memaksakan dirinya untuk bangkit, kendati tubuhnya bergetar hebat. "Aku juga harus bertarung."     

"Hei!" Rava tak kuasa mencegah bidadarinya itu.     

"Tanganku sudah tidak bisa membidik lagi." Kacia menunjukkan jari-jemari tangan kanannya yang bergetar hebat dan mengucurkan darah.     

"Apa kamu ingin turun juga ke jalanan juga?" timpal Lyra, berusaha mengatur napasnya. "Lebih baik kamu di sini saja. Siapa tahu monster-monster itu akan datang lagi. Kondisimu terlihat lebih baik daripada aku, jadi bisa menjaga mereka dengan lebih maksimal."     

Para tuan hanya terdiam seribu bahasa, memandangi dua bidadari yang berdiri berdampingan itu.     

Akhirnya, setelah menarik napas panjang dan memantapkan hatinya, Rava melepas jaket dan kausnya, kemudian berjongkok untuk menyobek pakaiannya itu menjadi bagian-bagian yang lebih kecil.     

Ketika akan membalut luka Lyra, Rava tercenung karena mendapati dua bidadarinya itu malah memandangi tubuh kurusnya. Dan lebih anehnya lagi, wajah mereka dihiasi rona merah. Mulut mereka juga sedikit membuka, seolah mereka tengah melihat sesuatu yang menakjubkan.     

"K-kenapa kalian ngeliat aku kayak begitu?" gerutu Rava, menutupi dadanya yang telanjang dengan kedua tangan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.