A Song of the Angels' Souls

74. Kehormatan 5



74. Kehormatan 5

0Setelah Lyra melompat turun ke jalanan, Marcel melemparkan jaketnya kepada Rava yang masih bertelanjang dada.     
0

"Maaf nanya begini, tapi apa kamu nggak menaruh rasa ke salah satu dari mereka?" tanya Marcel.     

Jantung Rava seketika terhentak hebat. Kacia yang sedang mengamati keadaan dan berada agak jauh dari mereka pun berjengit, memicu Candra dan Gilang mengerutkan kening.     

"M-maksud Mas Marcel g-gimana?" Rava gelagapan, tak menduga kalau akan ditanya seperti itu.     

"Kamu udah dewasa. Kamu harusnya udah tahu arti perkataanku," timpal Marcel, memandang ke pertarungan di jalanan, sama sekali tak menatap Rava.     

Kerongkongan Rava seperti tersumbat, membuatnya tak bisa berkata-kata. Dirinya? Menaruh rasa ke salah satu dari dua bidadarinya? Dirinya? Seseorang yang biasa-biasa saja dan kurang bisa diandalkan? Rava menggelengkan kepalanya. Tidak. Siapa dirinya sampai mengharapkan salah satu dari mereka menjadi kekasihnya?     

"Kamu cuma nggak menyadarinya, Rava." Stefan memberikan senyum samar. "Tanyakan ke hatimu sendiri."     

"Kusarankan, jangan jadi budak cinta seperti adikku ini. Kalau kamu nggak mau sengsara," sahut Marcel sinis.     

Candra menepuk pundak Rava, sedikit terkekeh. "Kamu masih polos sekali, ya."     

"Ugh!" Tiba-tiba saja, Marcel berlutut sembari mencengkeram keningnya.     

"Eh? Mas nggak apa-apa!?" tanya Rava, buru-buru berjongkok di samping pria itu.     

Stefan cuma bisa celingukan. "Mas Marcel kenapa?"     

"Cuma migrain biasa, kok." Meski masih meringis nyeri, Marcel memaksakan dirinya untuk bangkit. "Jangan terlalu dipikirin."     

***     

Monster-monster itu terus berdatangan, walau sekarang jumlahnya mulai jarang-jarang. Gerakan para bidadari pun semakin melambat dan tubuh mereka sudah penuh darah akibat luka-luka tebasan. Hanya Varya yang terlihat belum kehabisan energi. Setiap serangannya masih mantap menghantam para monster.     

Lois tersandung salah satu mayat monster dan jatuh tersungkur. Lyra yang tubuhnya penuh bebatan kain pun hanya melihat saudari angkatnya itu susah payah berdiri, sama sekali tak bergerak membantunya.     

"Tampar aku, Lyra," racau Lois dengan suara tak bertenaga seperti orang mabuk.     

"Huh? Aku tidak tahu kamu suka yang begitu," timpal Lyra, mengamati keadaan. Di sekitar mereka tidak ada monster.     

"Sudah, tampar saja!!! Ugh!!!"     

Bukannya tamparan, Lois malah menerima bogem mentah dari Lyra.     

"Hei! Aku cuma ingin semangatku kembali lagi dengan ditampar!" hardik Lois sambil mengelus pipinya yang lebam. "Kenapa kamu memukulku! Kamu ...."     

Lois terkesiap saat menyadari kedua tangan Lyra sudah diikat ke pegangan pedang dengan menggunakan kain. Pantas saja, tadi Lyra tidak menolong Lois untuk bangkit.     

Lyra mengamati kedua pedangnya itu secara bergantian. "Maaf, aku sedang dalam kondisi tidak bisa menampar. Tanganku sudah kebas, jadi kuikat begini biar pedangku tidak lepas."     

"Begitu, ya." Lois tertawa getir. Menemukan satu monster berlari mendekati Lyra dari belakang, ia pun berteriak, "Awas!"     

Tepat ketika Lyra memutar tubuhnya ke belakang, Varya memberikan tendangan melompat kepada monster itu. Si monster pun langsung terhempas. Tanpa ampun, Varya menginjaki kepala si monster dengan begitu brutal. Dia terus melakukannya sampai monster itu tak bergerak lagi. Kepala monster itu hancur lebur dan menimbulkan genangan cairan hitam.     

"Kalian jangan lengah begitu!" seru Varya tegas. "Kita ada di medan perang! Jangan mengobrol sampai melupakan keadaan sekitar!"     

"Maaf, Nona!" Lois menaruh tangan kirinya di dada dan membungkuk dalam-dalam. Sementara itu, Lyra mengamati Varya dengan ekspresinya yang biasa.     

Varya tak peduli dan lanjut menyerang para monster. Lois langsung terjun ke pertarungan dan tak lama kemudian Lyra menyusulnya.     

"Kurang ajar! Kenapa mereka bisa keluar dari bangunan itu!" umpat Ione yang baru saja menghajar salah satu monster, menunjuk ke segerombolan monster yang keluar dari sebuah pintu gerbang bangunan besar. "Mereka sebenarnya melakukan apa di dalam sana!? Arisan antar keluarga manusia belalang!?"     

"Arisan? Apa itu ada hubungannya dengan ari-ari?" ceplos Lyra yang baru menjejeri Ione.     

"Ari-ari tidak ada hubungannya dengan arisan," timpal Ione sambil menggaruk rambutnya. "Arisan itu .... Ah, susah sekali menjelaskannya karena tidak ada yang mirip di dunia kita."     

"Sampai kapan kita akan bertarung?" keluh Medora sambil memegangi kedua lututnya, terdengar begitu lelah.     

Varya pun berjalan mendatangi gerombolan monster itu. Satu bongkahan kecil luruh dari topengnya yang sudah retak. "Kalau merasa sudah tidak sanggup lagi, lebih baik kalian mundur. Aku tidak sedang menyindir atau bagaimana. Aku tidak akan memaksa. Tidak semua orang punya mental yang sama."     

Tanpa menunjukkan keraguan, Lois pun berjalan menyusul atasannya itu. Ione dan Lyra saling bertukar pandang sejenak, kemudian membuntut di belakang Lois. Medora mendesah lemah, awalnya berdiri diam, sebelum akhirnya mengikuti mereka semua.     

Varya mengubah langkahnya menjadi lari, langsung diikuti oleh bidadari yang lain. Ia pun memberikan pukulan melompat ke monster terdepan. Begitu monster itu terhempas, dia pun menyerang monster lainnya. Lois, Medora, Ione, dan Lyra pun turut menyerang.     

Varya terus saja memberikan kombinasi serangan terbaiknya. Sebagai pemimpin, dia tidak boleh terlihat lemah, bisa-bisa semangat bawahannya akan pupus. Ia harus bertahan, terus bertarung sampai titik darah penghabisan.     

Sayangnya, kondisi tubuhnya tidak bisa berbohong. Otot-ototnya seolah memekik, memintanya untuk berhenti saja. Luka-luka di tubuhnya juga membuatnya kesulitan bergerak. Belum lagi napasnya. Sekarang, napasnya sudah mulai ngos-ngosan seperti bidadari yang lain.     

Barangkali sejak tadi dialah yang bertarung paling intens.     

Dan akhirnya, Varya terhuyung ke belakang setelah salah satu monster menyambar wajahnya, memaksa topengnya terbelah dua dan jatuh, membuat wajahnya yang luar biasa rupawan itu terlihat jelas, menimbulkan luka tipis yang memanjang dari bawah mata kiri ke pipi kanan.     

Ia pun jatuh terduduk.     

Monster itu sudah akan membacok Varya. Namun, menendang lutut sang monster. Monster itu pun jatuh menindih Varya. Dengan gerakan rumit, Varya berpindah ke atas punggung si monster, kemudian mencekik musuhnya itu dari belakang.     

Detik-detik yang digunakan Varya untuk mencekik monster itu sekaligus dimanfaatkannya untuk beristirahat. Untung saja monster-monster lain sedang sibuk menghadapi para bidadari. Varya jadi tidak terganggu.     

Setelah si monster tak bernapas lagi, Varya memaksa dirinya untuk bangkit. Ya, ini semua belum selesai.     

Saat akan bertarung kembali, ia mendapati seorang anak kecil yang membeku tak jauh dari situ, secara ajaib tidak terkena huru-hara yang ada. Umurnya mungkin tak lebih dari lima tahun, terlihat dari ukuran tubuhnya yang masih sangat cilik. Memakai baju warna-warni, anak itu tampak sedang tertawa cerita, berjalan dengan digandeng seseorang.     

Namun, sosok yang menggandeng anak itu sudah tidak ada. Anak itu hanya menggenggam potongan tangan.     

Varya menyahut anak itu, kemudian membawanya bergabung bersama para tuan di atap gedung.     

"Jaga dia," pinta Varya, melepaskan potongan tangan itu dari genggaman si anak kecil dan membuangnya.     

Para tuan yang terkesiap pun tak sempat menanggapi. Varya keburu melompat pergi. Ya, dia tidak boleh terlalu lama meninggalkan rekan seperjuangannya. Bisa-bisa mereka merasa ditinggalkan dan memilih untuk menyerah.     

Begitu mendarat di jalanan aspal, Varya menoleh sejenak ke atap gedung yang ditempati para tuan.     

Ia lalu berlari ke medan pertempuran. Bagaimana dirinya bisa lupa? Bisa-bisanya dia terganggu oleh perkataan orang sinting seperti Zita? Ya, seharusnya dia melupakan tujuan dasar dirinya bertarung. Dia bertarung demi kebajikan. Salah satunya dengan menyelamatkan nyawa seseorang seperti tadi. Bahkan memenangkan pemilihan ratu ini pun dia lakukan untuk kebajikan.     

"Maaf, aku harus menyelamatkan seseorang terlebih dahulu!" seru Varya, langsung membantu Lois yang dikepung beberapa monster. "Kamu tahu, Lois!? Barangkali perkataan ZIta itu ada benarnya!"     

"M-maksud, Nona?" Lois yang baru saja memberikan menusuk dada salah satu monster pun tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.     

"Aku menikmatinya! Aku senang kalau diriku bisa menyelamatkan orang! Aku senang kalau monster-monster ini mati, sehingga tidak bisa mengganggu orang-orang lagi!"     

Ekspresi keterkejutan Lois langsung berubah menjadi senyuman lebar.     

Para bidadari terus saja bertarung. Mereka mati-matian bertahan. Seperti Varya, bidadari-bidadari itu merasa harus terus bertarung, atau monster-monster itu akan menjatuhkan korban lebih banyak.     

Varya menduduki perut salah satu monster yang tumbang. Kemudian, dia memukuli wajah si monster dengan brutalnya, sama seperti ketika dirinya menghabisi ZIta. Namun, karena struktur tengkorak monster itu jauh lebih lemah dari milik bidadari, hanya dalam waktu singkat, si monster sudah tak bergerak lagi.     

Varya mengatur napasnya, menatap wajah si monster yang sudah tak berbentuk. Pandangannya mulai mengabur, tetapi sekali lagi dia tak boleh berdiam terlalu lama. Oleh karena itu, dia kembali memaksa dirinya untuk bangkit, walau dengan sendi-sendi yang terasa seperti akan lepas.     

Sebuah tangan berlapis logam yang dingin pun menangkap lengan Varya. Medora tampak membantu bidadari bertopeng itu untuk bangkit.     

"Terimakasih, Medora .... Ugh!" Menyadari Medora mencengkram lengannya dengan cakar, Varya pun menendang perut bawahannya itu. Medora pun terjungkal, tetapi langsung bisa bangkit dan melompat mundur.     

"Apa yang kamu lakukan?" geram Varya, memandangi lima buah luka hujaman cakar di lengannya itu. Luka yang selain dihinggapi nyeri, juga terasa bak disundut bara api.     

Setiap senti otot wajah Varya tampak menegang. Matanya terlihat membelalak sangat lebar. Napasnya pun begitu liar, terdengar seperti dari mulut binatang buas yang sedang mengincar mangsa.     

"Maaf, Nona." Anehnya, Medora malah menatap Varya dengan mata sayu, seperti hendak menangis. Bahkan matanya itu juga sudah dihiasi lapisan cairan bening. "Mungkin, di keprajuritan dulu, anak buah Anda rela mati demi Anda. Sayangnya, saya bukan anak buah yang seperti itu."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.