A Song of the Angels' Souls

75. Kehormatan 6



75. Kehormatan 6

0Gilang berdiri gemetaran. Jarinya masih menyentuh satu tanda di lengannya. Ujung mata bocah itu sudah dihiasi tetesan cairan bening. Orang-orang dewasa yang ada di sekitarnya memberikan pandangan penuh tanya bercampur keterkejutan.     
0

"K-kata bu Dor, k-kalau bu D-dor melambaikan tangan sekali, itu artinya aku harus ngaktifin jurus cakar b-beracun," ucap bocah cilik itu terbata.     

Tiba-tiba saja, Candra menarik kerah baju Gilang. Tubuh Gilang sampai terangkat karena tarikan itu. Air matanya langsung tumpah. Wajah Candra memerah dan menunjukkan murka yang luar biasa.     

"Kamu tahu akibat dari kelakuanmu, hah!?" bentak Candra di depan muka Gilang. "Dasar bocah ingusan!"     

Mata Gilang langsung membelalak ketakutan. Rava pun segera mengambil-alih anak itu, sementara Marcel mendorong Candra menjauh.     

"Dia masih kecil, Pak!" seru Rava lantang. "Dia belum tahu apa-apa!"     

Candra meremas kepalanya. Napasnya mulai tak terkendali. Kakinya mondar-mandir tak tentu arah.     

Kacia berjongkok di hadapan Gilang yang kini terduduk. Air mata bocah cilik itu turun semakin deras.     

"Kamu tidak apa-apa?" tanya bidadari itu lembut. "Ada yang sakit?"     

Gilang menghapusi air matanya. "A-aku nggak tahu kalau bu Dor mau ngelakuin itu. Kukira b-bu Dor udah temenan sama t-tante Var ...."     

Bocah cilik itu tercekat, tak bisa melanjutkan kata-katanya. Kacia pun langsung memeluknya tanpa bertanya lagi. Pandangan bidadari itu bertemu dengan mata Rava. Rava cuma bisa mengusap wajahnya, tak tahu harus bertindak seperti apa dalam situasi seperti ini.     

Sementara itu, Stefan hanya terpaku di tempatnya, mendengarkan.     

***     

"Ini balasanmu atas kepercayaan yang kuberikan, hah!?" Varya memegangi lengannya yang dilukai Medora itu. Sendi-sendinya terasa seperti mengeras dan tubuhnya bak dibebani batu besar, yang semakin berat setiap detiknya.     

Medora memajang senyum getir dan merentangkan kedua tangannya. "Anda sudah hidup sebagai prajurit selama bertahun-tahun! Bisa-bisanya Anda naif seperti ini!? Anda menganggap saya bisa menjadi pengikut setia Anda hanya dengan bercerita tentang masa lalu saya yang menolong anjing!? Yang benar saja! Di mata saya, Anda ini cuma penghalang saya untuk mencapai tujuan saya sendiri!"     

Bukannya menyerang Medora, Varya malah menengok ke arah lain. Satu sosok monster tengah berlari ke arahnya. Sedikit melirik Medora, bidadari berbusana serba putih itu pun mendesis, "Aku akan mengurusimu nanti."     

"Huh, bahkan di saat seperti ini masih berperilaku seperti pahlawan," decak Medora, menunduk dalam-dalam. "Menjijikan."     

Varya mulai bertarung kembali. Namun, kecepatan gerakannya jelas berkurang jauh. Tubuhnya berkali-kali ditebas monster itu. Meski begitu, dia tetap memberikan kombinasi serangannya.     

"Arggghhh!!!" Varya membenturkan kepalanya kepada monster itu. Dirinya dan si monster pun langsung terhuyung ke belakang.     

Tiba-tiba saja, dia melihat mata pedang bercahaya merah yang memanjang ke arahnya. Dia pun berusaha menghindarinya.     

Crasssss!!!     

Terlambat, karena tubuhnya sudah terlalu kaku, Varya kurang sigap mengelak. Mata pedang itu menyerempet plat besi dari armor yang melindungi perutnya. Darah pun langsung memancur. Mata pedang itu berhasil menembus plat besi armor Varya, sekaligus menyobek perut sang bidadari.     

Varya terbatuk hebat, memuncratkan darah dari mulutnya. Dia sudah akan tumbang ke belakang, tetapi secara ajaib berhasil mempertahankan keseimbangannya. Dengan mulut penuh darah dan pandangan mata semakin bengis, ia menengok ke arah kedatangan mata pedang yang memanjang itu.     

"Maaf, Nona Varya," desis Lois dengan suara parau. Masih dengan tangan yang mengacungkan rapier, ia terisak sendu. Kedua pipinya sudah begitu basah oleh linangan air mata. "Keberadaan Anda sangat membahayakan keselamatan saudari saya. Cepat atau lambat, Anda pasti akan membunuhnya."     

Varya ingin berteriak kesakitan, mengumpat, juga mengutuk. Namun, lidahnya seolah kehabisan energi. Karena itulah, ia memilih untuk fokus kepada satu monster yang tersisa di hadapannya. Ia pun berjalan maju, meski darah di perutnya sudah banyak menetes-netes.     

Monster itu mengayunkan tangan sabitnya. Varya tak sempat mengelak. Ujung tajam tangan sabit itu pun menembus bahu Varya. Varya membuka mulutnya lebar-lebar, jelas sekali kesakitan, tetapi suaranya masih saja tak bisa keluar.     

Satu tangan si monster yang lain sudah menuju ke pinggang Varya. Namun, kali ini Varya bisa menangkapnya. Bidadari itu juga mulai mengangkat tangan si monster yang menancap di bahunya.     

Medora dan Varya terkesiap. Seharusnya, Varya sudah tumbang dengan luka seperti itu.     

Dengan muka yang makin terlihat bengis, Varya mengarahkan dua tangan sabit tersebut ke leher si monster itu sendiri. Sang monster pun terpaksa berlutut, tak kuasa menahan tenaga Varya. Perlahan tapi pasti, ujung tajam itu menghujam leher sang monster, mengalirkan cairan hitam menjijikan. Begitu tangan sabit itu menancap cukup dalam, Varya meninju muka si monster dengan sisa-sisa tenaganya. Monster itu pun langsung tergeletak, tak memberi perlawanan lagi.     

Setelah itu, Varya terpaku di tempatnya.     

"Apa di sini juga sudah tidak ada monster ...." Ione yang baru datang bersama Lyra pun tercekat saat mendapati kondisi Varya.     

Perlahan, Lyra pun menghampiri bidadari berbusana putih itu. Beberapa detik memeriksa, Lyra pun menggeleng pelan. "Dia sudah meninggal."     

Masih mencucurkan air matanya, Lois pun membelalak lebar-lebar. Ia berjalan lunglai menghampiri atasannya yang secara ajaib masih bisa berdiri itu. Mata Varya memang sudah tidak memperlihatkan cahaya kehidupan. Bibirnya yang sedikit terbuka itu juga sudah mulai memucat.     

"Apa yang kamu harapkan, Lois?" isak Medora, membelakangi yang lain. "Kamu yang memberinya luka fatal, kan?"     

Lois pun jatuh berlutut. Tangis kerasnya pun pecah. Lyra pun turut berlutut, lantas memeluk saudari angkatnya itu.     

"Dia itu panutanku .... Tapi, dengan tanganku ini, aku membunuhnya ...." Suara Lois terdengar seperti rintihan.     

Medora pun melompat pergi dari tempat itu tanpa ada yang mencegah. Ia pun menyahut Gilang yang ada di atas gedung, kemudian bertolak tanpa mengatakan apa pun lagi.     

Ione pun mendekati Lois dan Lyra, kemudian berkata lirih. "Ayo, kita pergi dari sini ...."     

Ucapan Ione terpotong oleh ratusan suara derap langkah yang terdengar sayup-sayup. Dirinya, bersama Lois dan Lyra pun menoleh ke ujung jalan. Mata mereka pun membelalak nyaris bersamaan.     

Gerombolan monster bertangan sabit terlihat lagi di kejauhan.     

Ione menundukkan kepalanya dalam-dalam. Kedua tangannya terkepal begitu erat. "Kita tidak akan sanggup bertarung lagi. Lebih baik kita mundur."     

"Dan membiarkan mereka mendatangi pemukiman manusia?" timpal Lyra dingin.     

"Kalaupun kita bertahan, paling juga kita akan mati." Ione memegangi keningnya. Suaranya terdengar begitu bergetar.     

"Ayo," ajak Lyra kepada saudari angkatnya.     

Masih bercucuran air mata, Lois memandang Varya untuk yang terakhir kali selama beberapa detik, sebelum akhirnya meloncat bersama Lyra dan Lois. Bahkan sampai sekarang, mayat bidadari berbusana putih itu masih belum tumbang.     

"Kenapa Varya masih ada di sana?" tanya Candra, tepat ketika Ione tiba. Tangan pria itu menunjuk kepada Varya.     

Bukannya menjawab, Ione malah berkata kepada yang lain, "Kita pergi dari sini."     

Tak ada yang menimpali, apalagi memprotes. Meski jantungnya bagai tersentak hebat, Rava tak bisa membantah. Ya, dia memang bisa melihat kedatangan rombongan monster itu di kejauhan, tetapi luka bidadari sudah terlalu parah.     

Tak ada lagi yang bisa dilakukan.     

"Hei, kenapa Varya masih ada di sana!?" hardik Candra kepada Lyra dan Lois yang datang nyaris bersamaan.     

Lois menghapusi air matanya, menggeleng pelan kepada pria itu.     

Napas Candra pun memberat. "Apa maksudmu!? Dia masih berdiri di sana!"     

Suasana hening. Para bidadari tak ada yang menjawab. Suara yang terdengar hanyalah ratusan derap langkah para monster dari kejauhan.     

Candra mendengus keras, mendekati pagar besi, kemudian berteriak kencang, "Varya, kemarilah!!! Kita pergi dari sini!!!"     

Tentu saja tak ada jawaban. Varya masih mematung di tempatnya. Dari kejauhan membelakangi tuannya itu.     

"Dia sudah mati, aku yang membunuhnya!!!" jerit Lois, kembali tersedu. "Kalau tidak percaya, lihat saja lengan Marcel!!!"     

Candra langsung menengok ke lengan Marcel. Marcel pun turut mengamati bagian tubuhnya itu. Benar saja, ada empat tanda baru berwarna putih di bawah tanda-tanda sebelumnya. Artinya, Lois tinggal memilih kekuatan apa yang akan diambilnya dari Varya yang sudah mati.     

Candra menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia sedikit terhuyung ke belakang. Kemudian, dia pun berlari menuju pintu masuk bangunan, jelas sekali akan menghampiri bidadarinya. Namun, Lois keburu menangkapnya.     

"Lepaskan!!! Varya belum mati!!! Aku tidak bisa hidup tanpa Varya!!! Dia yang mengisi hari-hariku!!!" Candra berontak. Air matanya mulai turun deras. "Dia yang bisa membuatku bertahan!!!"     

Lyra memukul tengkuk pria itu. Candra pun langsung tumbang tak sadarkan diri.     

Melihat hal itu, Marcel pun tertawa getir. "Kamu tahu, Stef? Kamu itu mirip sekali dengannya. Dia itu sudah diperbudak cinta t*i kucing seperti kamu."     

Stefan memilih untuk menutup rapat mulutnya.     

"Mereka semakin dekat!" Kacia melongok ke jalanan. Ratusan monster sudah semakin mendekat.     

"Kita pergi sekarang!" seru Ione lantang, memberi isyarat agar yang lain berkumpul, kemudian menuntun Stefan mendekati Lois.     

Semuanya pun memegang pundak Lois. Rava membawa anak kecil yang tadi diselamatkan Varya. Pemuda itu lalu menempelkan tangan si anak yang berlumur darah ke tubuh Lois. Hal yang hampir sama pun Kacia lakukan kepada Candra.     

Marcel memencet salah satu tanda di lengannya, mengaktifkan kekuatan berpindah tempat Lois, sementara derap langkah para monster makin keras menggema.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.