A Song of the Angels' Souls

77. Apa yang Dibutuhkan



77. Apa yang Dibutuhkan

0Sudah beberapa menit berlalu sejak Rava tiba di rumah kontrakan, tetapi pemuda itu belum juga mengetuk pintu. Sejak berangkat dari rumah persembunyian istri Bagas sampai sekarang, dia belum juga menemukan alasan yang tepat untuk menjelaskan semuanya kepada sang ibunda.     
0

Rava sudah berpikir untuk pergi terlebih dahulu, tepat ketika pintu itu akhirnya terbuka. Rava tersentak begitu mendapati sang ibunda yang melihatnya dengan tatapan tajam.     

"Masuk," perintah sang Ibunda. Ketika Rava akhirnya memasuki rumah, wanita itu menunjuk salah satu sofa di ruang tamu. "Duduk."     

Rava hanya bisa menurut. Ia pun duduk di sana. Pikirannya masih saja bekerja keras merangkai kata-kata yang tepat.     

"Jadi, apa kamu bisa menjelaskan apa yang terjadi?" desah ibu Rava, duduk di hadapan anaknya itu. "Kalian menghilang nggak bilang-bilang, sampai nggak jualan pula. Padahal, ibu udah bikin banyak makanan. Yang titip juga bingung gara-gara lapak kita tutup. Pak Herman memang muncul dan akhirnya membayar semuanya. Dia bilang ada yang pesan banyak. Tapi, ibu kan malah curiga jadinya."     

Rava hanya bisa membuang mukanya. Dia lebih merasakan nada kekhawatiran, daripada amarah dalam nada bicara sang ibunda. Haruskah dia bercerita yang sebenarnya? Akan tetapi, apakah pihak penyelenggara pemilihan ratu itu akan mengizinkannya? Salah-salah, nyawa ibunya malah terancam.     

"Ibu juga sebenarnya sudah sangat curiga, Rav. Dari kalian yang kadang hilang dari kamar di malam hari, asal-usul Lyra juga kalau dipikir-pikir terlalu mengada-ngada .... Terus, Ibu juga nggak tahu, sebenarnya Kacia itu dari mana. Motormu juga katanya rusak dan ditinggal di bengkel, tapi kenapa sampai sekarang belum balik, dan kamu malah pake motor pinjaman dari Stefan? Terus .... Ah, sebenarnya masih banyak lagi. Awalnya Ibu memilih diam, karena menganggap kamu dan lainnya itu sudah dewasa, nggak perlu ditanya ini-itu. Tapi, Ibu juga lama-lama jadi khawatir," cerocos ibu Rava, lalu menarik napas panjang. "Jadi, tolong ceritakan, sebenarnya ada apa, Rav?"     

"Lebih baik kamu ceritakan semuanya saja, Rava." Tiba-tiba, satu sosok Piv bertengger di pundak Rava. "Dugaan kami, karena sehari-hari banyak bidadari yang berada di dekat ibumu, kekuatan manipulasi yang kami gunakan jadi tidak maksimal. Mungkin karena kekuatan manipulasi itu terganggu oleh aliran energi kehidupan dari tuan ke bidadari yang terjadi lebih dari satu."     

Saking terkejutnya, Rava sampai cuma bisa melongo. Makhluk aneh itu ada di sini? Muncul di hadapan ibunya? Yang benar saja.     

Ibu Rava lebih parah. Matanya melotot begitu lebar, sampai terlihat seperti akan copot dari tempatnya. Dagunya juga turun maksimal. Saking terbukanya mulut sang ibunda, beliau jadi terlihat seperti bisa menelan bola tenis.     

"Tenang saja, Rava. Pihak atas sudah mengizinkan, kok. Kasihan ibumu, nanti malah semakin berpengaruh ke pikirannya." Piv melompat ke meja tamu, bertukar pandang dengan ibu Rava. "Perkenalkan, saya Piv, makhluk dari dunia lain."     

"Uuuwaaaaa!!!" jerit ibu Rava, meloncat dari sofa.     

"Tenang, Bu! Aku bisa jelasin semuanya!" Rava segera bangkit. Meski ingin menenangkan ibunya, pemuda itu malah terdengar panik.     

***     

Selama Rava berbicara panjang lebar, ibundanya cuma mendengarkan. Sesekali, beliau menarik napas, mengelus dada, atau melongo. Rava bercerita banyak, tetapi dia tetap meninggalkan beberapa bagian. Misalnya tentang kekejaman yang penuh, Rava tidak membeberkannya secara detail.     

Rava juga tak bercerita tentang dirinya sudah tidak bisa menggambar lagi. Tentu saja itu dilakukannya agar sang ibunda tidak semakin khawatir.     

"Bidadari yang turun ke bumi untuk bertarung, ya?" desah ibu Rava, sedikit memijati keningnya. "Jujur saja, Rav. Ceritamu itu lebih terdengar seperti dongeng di telinga Ibu."     

"Aku pun masih belum bisa memercayai semua ini sepenuhnya," balas Rava dengan bibir bergetar. "Tapi, kenyataannya, semua ini memang terjadi."     

Ibu Rava menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Pasti apa yang kalian lakukan ini berbahaya sekali. Melawan monster-monster itu Ibu yakin nggak mudah. Mereka itu perempuan-perempuan luar biasa."     

"Ibu percaya kata-kataku?" Rava tercengang.     

Ibu Rava mengangkat bahu dan memajang senyum samar. "Kamu kelihatan nggak sedang mengada-ngada. Kamu memang suka nonton kartun, tapi semua itu terlalu fantastis buat dipikirkan oleh kamu, sampai diceritakan sama Ibu pula."     

"Gitu ya, Bu." Rava mengusap wajahnya dengan kedua tangan, kemudian menarik napas dalam-dalam. "Bu, aku tahu kalau Ibu ini bakalan khawatir. Aku tahu ini semua berbahaya. Aku sangat mengerti risikonya. Tapi, aku tidak bisa berhenti sekarang, Bu ...."     

Rava tercekat hebat. Bayangan mengenai potongan-potongan tubuh manusia yang bergelimpangan di jalanan tadi kembali melintasi kepalanya.     

Pemuda itu menatap lekat-lekat mata ibunya, kemudian berbicara dengan suara yang nyaris parau, "Kalau aku berhenti sekarang, mungkin akan lebih banyak orang yang mati."     

Mata ibu Rava seketika memejam. Rava tak bisa membaca ekspresi orangtuanya itu. Waktu berlalu cukup lama dalam keheningan, sebelum akhirnya sang ibunda membuka mata dan merentangkan senyum samarnya kembali.     

"Kamu melakukan semua ini demi kebaikan, kan?" Akhirnya beliau berbicara. "Kalau kamu yakin, lakukan saja."     

Rava terhenyak mendengar hal itu. "Ibu nggak khawatir?"     

"Khawatir sih pasti." Meski senyumnya melebar, suara sang ibunda mulai bergetar. "Tapi, kalau Ibu ngelarang, memangnya kamu mau nurut?"     

"Ah ...." Rava menunduk dalam-dalam. Benar sekali, walaupun sang ibunda mati-matian melarang, Rava yakin dirinya akan tetap nekat membantu para bidadari.     

Ibu Rava sedikit mencondongkan tubuhnya kepada putranya itu. "Lagipula, setelah bertemu mereka, kamu jadi kelihatan lebih baik."     

"Maksudnya, Bu?" Rava mengangkat wajahnya kembali. Keningnya mengerut.     

"Nanti kamu juga ngerti." Ibu Rava bangkit dari sofa, meregangkan tubuhnya yang agak kaku karena terlalu lama duduk. "Mereka udah pada makan belum, ya?"     

Rava menggeleng pelan. "Nggak tahu sih, Bu. Emangnya kenapa?"     

"Kamu tanya gih ke mereka. Suruh mereka datang ke sini. Toh, udah nggak ada yang perlu disembunyiin lagi. Kalau mereka belum makan, Ibu mau masak."     

***     

Bidadari-bidadari dan para tuannya duduk di karpet ruang tengah rumah kontrakan. Perabotan sudah dipinggirkan supaya suasana bisa lebih lega. Aroma gurih menggugah selera samar-samar mulai tercium dari dapur. Meski Lyra dan Kacia sudah menawarkan diri untuk membantu, tetapi ibu Rava bersikeras untuk memasak sendiri karena mereka masih terluka parah.     

"Kamu yakin sekali ngajak aku sama Lois ke markas kamu ini, Stef?" gumam Marcel, memangkukan kepalanya dengan tangan.     

Stefan merekahkan senyum lebar. "Setelah apa yang kita lalui bersama, aku yakin Lois sama Kakak nggak akan ngapa-ngapain, kok."     

Marcel melirik bidadarinya yang menunduk dalam-dalam, lantas menghela napas begitu panjang.     

"Duh, maaf banget, kalian udah nunggu lama, ya?" Ibunda Rava pun datang sambil membawa wadah besar yang berisi nasi berwarna kecokelatan. "Harus masak nasi yang banyak dulu soalnya."     

Sementara ibu Rava menaruh wadah itu ke tengah-tengah karpet, Rava membawa beberapa gelas plastik dan ceret air. Kacia pun berinisiatif membantu dengan mengambilkan peralatan makan.     

"Yuk, dimakan. Seadanya aja. Cuma pakai bahan yang ada di di kulkas." ucap ibu Rava, akhirnya duduk.     

Satu-persatu dari mereka pun mulai mengambil nasi goreng dengan potongan sosis itu, sementara Stefan dibantu Ione untuk melakukannya. Mendapati Kacia juga mengambilkan untuk Rava, Lyra tanpa sengaja berdecak tanpa suara. Ione, satu-satunya yang menyadari hal itu, berusaha menahan tawa.     

"Eh, itu .... Mbaknya .... Siapa namanya? Lois? Lois kok nggak makan?" tanya ibu Rava lembut     

Marcel mengamati wajah bidadarinya itu sejenak. "Aah .... Mungkin nanti, Bu. Kejadian hari ini ... Yah, begitulah."     

Mulut ibu Rava hanya membentuk 'ooh' tanpa suara.     

"Sebelum makan, lebih baik kita berdoa dulu," ucap ibu Rava setelah semuanya mengambil makanan. "Aah .... Kalian percaya Tuhan atau tidak?"     

"Sebagian besar dari penduduk dunia kami memercayai kekuatan besar di atas sana, Bu," timpal Kacia.     

"Ayo, Rava yang mimpin." Ibu Rava pun kembali tersenyum.     

Rava langsung melongo, tak mengerti mengapa harus dirinya yang dipilih. Awalnya, dia ingin menolak, tetapi dari dalam hatinya muncul sebuah dorongan untuk melakukannya. Dia sendiri tak tahu mengapa itu bisa terjadi.     

"Errr .... Berdoa menurut kepercayaan masing-masing," ucap Rava dengan nada kaku. Seumur hidupnya, dia tak pernah memimpin doa. "Jangan lupa berdoa semoga ke depannya kita akan bisa melalui semua ini dengan lebih baik."     

Setelah berdoa, mereka mulai makan. Awalnya, suara denting peralatan makan terdengar pelan saja. Namun, lama-lama iramanya terdengar lebih cepat. Ibu Rava pun tersenyum puas melihat mereka makan dengan lahap.     

Melihat Lois yang masih saja menunduk dalam diam, Lyra menghela napas pelan. Ia pun berpindah ke samping saudara angkatnya dan mengambil nasi goreng lagi. Sekonyong-konyong, ia memasukkan satu sendok makanan itu ke mulut Lois.     

Lois pun tersentak, melotot kepada Lyra dengan mulut penuh.     

"Mama kamu pasti sedih kalau mendengar kamu tidak mau makan," kata Lyra dengan ekspresi tajamnya yang biasa.     

Setelah nasinya habis, Rava memandang berkeliling, kemudian sedikit mencondongkan tubuhnya kepada sang ibunda.     

"Makasih, Bu. Mungkin ini yang mereka butuhkan," bisiknya.     

Ya, setelah melalui peristiwa yang begitu melelahkan dan menguras emosi, barangkali suasana hangat seperti ini bisa sedikit mengangkat mental mereka.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.