A Song of the Angels' Souls

78. Kemunculan



78. Kemunculan

0"Tanda barunya di sini, Stef," desah Ione yang duduk di ruang tamu rumah persembunyian istri Bagas, menyentuh tanda baru berwarna ungu di lengan Stefan.     
0

Stefan sedikit meraba bagian yang disentuh Ione. "Kamu masih nggak mau ngasih tahu ini fungsinya buat apa?"     

"Lain kali saja, deh." Ione menggenggam erat kedua tangan Stefan. "Aku cuma ... Yah, aku cuma merasa sekarang bukan saat yang tepat untuk menjelaskannya."     

"Wah, aku kan jadi penasaran banget." Stefan tersenyum penuh arti. "Emangnya kenapa, sih?"     

"Kamu kok malah tanya lagi, sih?" gerutu Ione, tetapi terdengar tidak serius. "Intinya, aku berharap kemampuan itu malah disegel saja terus."     

"Oke, oke." Stefan mengangkat kedua tangannya.     

"Ngomong-ngomong, kamu tidak berpikir untuk memindahkan bu Dini dan anaknya ke tempat Rava? Yah, untuk mempermudah pengawasan saja. Toh, sekarang ibu Rava sudah tahu semua. Dia tidak akan kebingungan kalau tiba-tiba bu Dini bergabung."     

Stefan menautkan jari-jemarinya. "Masih kupertimbangkan. Aku mikirin mental Erin, anaknya bu Dini itu. Kurasa, sebisa mungkin interaksinya dengan bidadari lain dibatasi. Dia punya trauma berat terhadap makhluk bernama 'bidadari.' Kalau ke tempat Rava, paling nggak dia bakal ketemu kamu, Kacia, sama Lyra."     

"Aah, masuk akal, sih."     

"Permisi." Dini muncul dari ruang tengah. Wajah istri Bagas itu diselimuti kecemasan. "Errr .... Maaf, saya nggak bermaksud gimana-gimana .... Tapi, apa belum ada kabar dari suami saya?"     

"Aah ...." Stefan memajang senyum lebar. "Sebenarnya, kami sudah punya titik terang, Bu. Kami sudah menemukan jejak Zita di daerah selatan kota ini. Doakan saja Bu, semoga sebentar lagi kami bisa menemukan suami Ibu."     

Dini sudah membuka mulut. Gesturnya jelas sekali menunjukkan kalau dirinya ingin tahu lebih jauh, mungkin ingin mendesak Stefan agar memberikan informasi yang lebih jelas. Namun, dia memilih untuk menahan diri, menunduk dan berkata lirih, "Oh, begitu, ya? Ya, sudah. Terimakasih."     

Wanita itu berjalan lunglai meninggalkan ruang tamu.     

"Kamu tidak menceritakan yang sebenarnya kalau Zita sudah mati?" bisik Ione setelah Dini sudah tak kelihatan.     

Stefan terdiam untuk beberapa detik. "Kita belum tahu posisi pak Bagas di mana. Harusnya, dia sudah mengontak kita sejak Zita tewas. Aku nggak mau bu Dini berpikir yang tidak-tidak."     

***     

Bagas meringkuk di pojokan sebuah kamar kecil yang cat temboknya sudah mengelupas di sana-sini. Pandangannya yang kosong terhujam lurus ke depan. Mulutnya yang pucat dan kering tampak sedikit terbuka.     

Kapan semua ini berakhir? Kapan dia bertemu anak istrinya lagi? Kapan kehidupannya yang tenang itu akan kembali?     

Semua pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalanya. Air matanya sudah kering sekarang.     

Satu sosok Piv yang entah datang dari mana menghampiri Bagas dengan langkah sempoyongan. Akan tetapi, Bagas tetap pada posisinya, sama sekali tidak bereaksi.     

Perlahan-lahan, sosok makhluk bertanduk itu mulai menggelembung. Perlu waktu cukup lama sampai tubuhnya yang bulat itu menjadi sangat besar, hampir berukuran setengah orang dewasa. Kemudian, ia membuka mulutnya dengan lebar yang tidak masuk akal, memuntahkan satu sosok wanita berkulit putih dan berambut oranye. Sosok wanita itu pun meluncur ke lantai keramik dengan tubuh penuh lendir bening.     

Bagas masih membeku di tempatnya, kelihatan tak peduli. Bahkan ketika banyak sekali sosok Piv yang muncul ke kamar itu, Bagas masih belum bergerak sedikit pun. Seolah-olah, Piv-Piv yang masuk dari ventilasi, jendela, sampai melewati bagian bawah pintu dengan menggepengkan diri itu adalah sesuatu yang biasa saja.     

Sementara tubuhnya mulai dijilati para Piv, Zita mengambil posisi duduk. Wajahnya yang merona merah itu menunjukkan gairah yang tak terkira. Bahkan mungkin saking bergairahnya, air matanya sampai menetes.     

"Aah, Varya ....," desah Zita, menjulurkan kedua tangannya ke atas, seperti sedang menggapai sesuatu yang terlihat. "Aku kembali, Varya .... Aku akan membalas cintamu .... Ahnnn ...."     

Masih tak memedulikan para Piv yang menjilati tubuhnya dari ujung kepala sampai ujung kaki, Zita mulai menggeranyangi tubuhnya sendiri. Mulutnya terus mendesah-desah layaknya orang yang sedang bercumbu. Lama-kelamaan, rona merah di wajahnya semakin jelas. Jari-jemarinya bergerak ke bagian bawah tubuhnya.     

Meski di hadapannya ada adegan luar biasa absurd seperti itu, Bagas masih saja mematung di tempatnya.     

Brakkkk!!!     

Mendadak, pintu kamar kos itu menjeblak terbuka. Kali ini, Bagas melompat dari tempatnya dengan mata membelalak. Piv-Piv yang ada di situ pun berlarian kabur, masih menyisakan sedikit lendir di tubuh Zita.     

"Selamat siang! Bagaimana kabarmu!?" seru seorang bidadari berkulit cerah dan berbaju tempur biru muda yang baru saja mendobrak pintu tersebut. Nada bicaranya begitu angkuh. "Namaku Etria, mari kita bertarung dengan adil! Jadi .... Ada apa ini!!!???"     

Bidadari dengan rambut berwarna pirang gelap yang dikucir sebelah itu memelototi Zita yang duduk telanjang di lantai. Zita masih saja 'bermain' dengan dirinya sendiri, seakan tak tahu kedatangan Etria.     

"Ahn .... Ahn .... Ahnnn ...."     

"Buset, bidadari bisa m*sturb*si juga." Seorang pria dengan wajah mirip orang India pun melongok dari belakang punggung Etria. "Et, kamu juga bisa begitu?"     

"Kenapa kamu bertanya seperti itu, sih? Dasar jorok!" Etria memasang wajah jijik. "Itu pertanyaan yang tidak pantas ditanyain ke perempuan, tahu!"     

"Tapi, temen cewekku nanya tentang on*n* ke aku, dan aku ngerasa biasa aja." Pria yang wajahnya penuh jambang tipis itu pun mengangkat bahu. Gerakannya tampak terlalu berlebihan, kelihatan sekali kalau dia sedang becanda.     

Mendengus kesal, Etria mendatangi Zita yang masih saja belum memedulikannya.     

"Aah ...." Pria yang mengikuti Etria itu pun melambaikan tangannya kepada Bagas. "Salam kenal. Nama saya Suyitno, Mas. Mas namanya siapa?"     

"Suyitno?" Bagas menelengkan kepalanya, tampak tercengang. "Kamu Robin, kan? Robin Hanggara yang sering muncul di film tv itu?"     

Pria bernama Robin itu cuma memiringkan bibirnya, kembali mengangkat bahu.     

Etria pun berjongkok, mencolek bahu Zita yang terbuka. "Haloooo, aku ingin bertarung denganmu. Aku juga ingin menjadi ratu! Haloooo ...."     

Duk! Etria langsung terjengkang karena hidungnya disikut keras oleh Zita.     

"Woi! Kenapa kamu menyerangku tiba-tiba!?" gerutu Etria sambil memegangi hidungnya.     

"Ahahahaha!!!" Tawa keras Zita menggema di kamar sempit itu. Ia pun bangkit dan memutar tubuhnya, langsung mempertunjukkan ekspresi sintingnya yang khas. "Kebetulan sekali! Kamu bisa jadi pemanasan sebelum aku bermain dengan Varya!"     

"Uwow!!!" Robin langsung mundur, mengangkat kedua tangan, dan memejamkan mata sambil membuang muka. "Suruh dia pakai baju dulu, Et. Tubuh wanita nggak selayaknya dipertontonkan di tempat umum kayak begitu."     

Meski berkata seperti itu, Robin tetap membuka sedikit kelopak matanya untuk mengecek tubuh telanjang Zita.     

Etria pun bangkit, melompat mundur untuk keluar dari kamar. Begitu tiba di halaman berpaving kompleks kos-kosan tersebut, bidadari itu mengeluarkan cahaya biru muda dari kedua tangannya. Cahaya itu pun lalu bermaterialisasi menjadi palu dengan ukuran nyaris sebesar kepala manusia, dengan gagang yang sangat panjang layaknya tongkat.     

Zita ikut melompat keluar, sekaligus mengaktifkan perisainya. Ia pun mengamati tubuhnya sendiri yang masih belum ditutupi selembar benang pun. "Aah .... Tubuhku masih kaku. Aku juga belum bisa mengeluarkan energiku secara maksimal, jadi aku .... Argh! Kenapa pusing-pusing! Yang penting aku bisa bermain! Ahahahaha!!!"     

"Kamu mau berantem dengan kondisi kayak gitu!?" Begitu mendapati Zita memasang kuda-kuda dengan kondisi bugil, Robin menutupi kedua matanya dengan tangan. Namun, tetap saja dia mengintip lewat sela-sela jarinya. "Et, beneran deh, suruh dia pake apa, kek! Daun pisang atau terpal, gitu! Aku emang pengagum tubuh wanita, tapi nggak gini juga!"     

Tak memedulikan tuannya, Etria mengangkat palunya tinggi-tinggi. Dia samasekali tidak kesusahan melakukan hal itu, padahal palunya terlihat berat dan tubuhnya tak terlalu berotot, bahkan terkesan cukup ramping.     

"Mari kita bertarung dengan adil!" seru Etria dengan nada angkuh, kemudian melompat kepada Zita sambil mengayunkan palunya. "Heaaaa!!!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.